A. Pengertian
Pembuktian
Pengertian
pembuktian menurut para ahli:
a) Sudikno
Mertokusumo
Dalam arti yuridis yaitu memberi dasar-dasar yang cukup
kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberikan kepastian
tentang kebenaran peristiwa yang diajukan.
b) Prof. R.
Subekti, ia menjelaskan bahwa membuktikan ialah meyakinkan hakim tentang
kebenaran dalil-dalil yang dikemukakan di muka sidang dalam suatu
persengketaan.
c) M. Yahya
Harahap membagi menjadi dua pengertian, arti pembuktian secara luas dan arti
pembuktian secara sempit.
Arti pembuktian
secara luas adalah kemampuan pengugat atau tergugat dalam memanfaatkan hukum pembuktian
utuk mendukung dan membenarkan hubungan hukum dengan kejadian-kejadian yang
didalilkan atau dibantahkan dalam hubungan hukum yang diperkarakan. Sedangkan
arti pembuktian secara sempit adalah pembukian digunakan hanya sepanjang masih
ada hal-hal yang dibantah atau hal-hal yang masih disengketakan ataupun
sepanjang masih adanya hal-hal yang diperselisihkan antara pihak-pihakl yang
beperkara.
d) Henny Mono,
S.H. menjelaskan bahwa pembuktian itu adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh
pihakyang beperkara dalam suatu sengketa perdata.
Pembuktian
menurut pasal 163 HIR/283 RGB/ 1865 KUH Perdata adalah:
“ setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu
hak, atau guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah suatu hak orang lain,
menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa
tersebut.”
B. Alat Bukti
Alat bukti
adalah alat-alat atau upaya yang bisa dipergunakan oleh pihak-pihak yang
berperkara di muka sidang pengadilan untuk meyakinkan hakim akan kebenaran
tuntutan atau bantahannya.[1]
C. Macam-Macam
Alat Bukti
Beberapa
macam alat bukti:[2]
a) Sumpah
b) Pengakuan
c) Penolakan
sumpah
d) Qasamah
e) Bayyinah
f) Ilmu qadhi
g) Petunjuk-petunjuk
Menurut
Hukum Acara Perdata yang biasa dipergunakan pada pengadilan dalam lingkungan
peradilan agama, ada 7 (tujuh) macam alat-alat bukti yang dapat dijadikan bukti
kebenaran dan ketidakbenaran suatu di pengadilan, yaitu:
1. Alat bukti
surat-surat (tertulis)
Alat bukti
surat adalah segala sesuatu yang memuat tanda bacaan yang di maksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan
buah pikiran seseorang yang di pergunakan sebagai pembuktian.[3]
Al-Qur’an
kepada orang yang beriman untuk menuliskan transaksi yang terjadi di antara
manusia, sebagai mana terdapat dalam Al- Baqarah (3) : 282 berikut :
Wahai orang–orang yang
beriman apabila kamu melakukan utang – piutang untuk waktu yang di
tentukan, hendaklah kamu menuliskannya dan hendaklah seorang penulis di antara
kamu menuliskannya dengan benar, janganlah penulis menolak untuk menulis
sebagaimana Allah telah mengajarkan kepadanya, maka hendaklah orang yang
berhutang itu mendiktekan, dan hendaklah dia bertakwa kepada Allah.
Ayat di
atas dapat disimpulkan bahwa Islam menetapkan perlunya mendokumentasikan
misalnya dalam bentuk tulisan berbagai peristiwa-peristiwa penting yang terjadi
diantara manusia karena itu sangat beralasan kalau tulisan atau surat-surat
dijadikan sebagai salah satu alat bukti.
Surat
sebagai alat bukti tertulis dapat dibedakan dalam 2 jenis yaitu: surat akta
otentik dan surat akta tidak otentik (dibawah tangan)
a. Akta otentik
Akta
otentik adalah akta yang dibuat oleh atau dihadapkan pejabat yang berwenang
untuk itu, menurut ketentuan yang telah ditetapkan sebagai pejabat yang
berwenang dimaksudkan antara lain notaris, jurusita, panitra, dan hakim
pengadilan, pegawai catatan sipil dan lain-lain.[4]
Pada
setiap akta otentik dikenal 3 (tiga)
macam kekuatan bukti, yaitu :
1) Kekuatan bukti
lahir yakni berkenaan dengan syarat-syarat formal suatu akta otentik dipenuhi
atau tidak.
2) Kekuatan bukti
formal yakni berkenaan dengan soal kebenaran peristiwa yang disebutkan dalam
akta otentik.
3) Kekuatan bukti
material yakni berkenaan dengan kebenaran isi akta otentik.[5]
b. Akta tidak
otentik (di bawah tangan)
Akta tidak
otentik atau akta di bawah tangan adalah segala tulisan yang memang sengaja
dibuat untuk dijadikan bukti tetapi tidak dibuat di hadapan atau oleh pejabat
yang berwenang untuk itu dan bentuknya
pun tidaklah terikat kepada bentuk tertentu.
Misalnya:
Surat jual beli tanah, yang dibuat oleh kedua bela pihak, sekalipun di atas
kartu segel dan ditandatangani oleh ketua RT, ketua RW, lurah/kepala desa,
tidak bisa disebut akta otentik karena pejabat
berwenang membuat akta tanah yang disebut PPAT, hanyalah notaris dan
camat.
2. Alat bukti
saksi
Kata saksi
jika dilihat dari pengertian terminologi berarti orang yang mempertunjukkan,
memperlihatkan, sebagai bukti.[6] Sedangkan menurut istilah syara’ ialah orang
yang menyaksikan dengan mata kepala sendiri.[7]
Jadi saksi yang dimaksud dalam hal ini
adalah manusia hidup. Sedangkan menurut Sayid Sabiq dalam kitab sunnah bahwa
yang dimaksud dengan saksi itu adalah memberitahukan seseorang tentang apa yang
disaksikan dan dilihatnya.[8] Maknanya ialah pemberitahuan seseorang tentang
apa yang dia ketahui dengan sebenarnya.
Bila
dimaksudkan bahwa saksi adalah orang
yang betul-betul sebagai saksi
karena menyaksikan sendiri suatu perkara maka dinilai bahwa kesaksian tersebut
adalah merupakan salah satu bukti dalam hukum pembuktian.
Kebanyakan
ahli hukum Islam (Fuqaha) menyamakan kesaksian itu dengan bayyinah, apabila
saksi disamakan dengan bayyinah maka itu berarti pembuktian di muka hakim hanya
dimungkinkan dengan saksi saja.[9]
Dasar
hukum daripada alat bukti saksi dapat dilihat dalam Q.S. al Baqarah (2): 282
“…Dan persaksikanlah
dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki diantaramu). Jika tak ada dua
orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi
yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya.
Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka
dipanggil…”
Dalam
dalam Q.S. an Nisah (4) 135 yaitu :
“Wahai orang-orang
yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi
saksi karena Allah…”
Kesaksian
hanya wajib ditunaikan jika saksi mampu menunaikannya tanpa adanya bahaya yang
menimpanya baik dibadannya, kehormatannya, hartanya, ataupun keluarganya,
berdasarkan firman Allah swt dalam Q.S. al Baqarah (2) 282 yaitu:
“….Janganlah penulis
dan saksi itu mendapat kesulitan …”
Kesimpulannya bahwa setiap saksi yang memberikan kesaksiannya di depan
hakim hendaknya memperoleh jaminan keamanan baik jiwa, harta dan kehormatannya.
Karena setiap kesaksian dipandang wajib bagi setiap orang yang memiliki
pengetahuan akan perkara yang ia ketahui secara pasti tentang kebenaran
tersebut.
Sehingga
dengan adanya kesaksian dari saksi tersebut diharapkan akan terungkapnya suatu
kebenaran diantara pihak-pihak yang berperkara dengan sebab itulah maka berdosa
hukumnya bagi orang yang memenuhi syarat untuk menjadi saksi menolak untuk
tidak memberikan kesaksiannya, berdasarkan firman Allah swt di dalam Al-Qur’an
Q.S. al Baqarah (2) 283 yaitu :
“…dan janganlah kamu
(para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya,
maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
Seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya, tentang kedudukan saksi dalam hukum pembuktian yaitu sebagai alat
bukti, diantara alat bukti lainnya yang dapat diajukan oleh pihak-pihak yang
berperkara. Namun dalam berbagai alasan demi untuk membuktikan suatu kebenaran
antara pihak-pihak yang berperkara, hingga adanya saksi sebagai alat bukti yang
diajukan oleh pihak-pihak yang berperkara, tidak begitu saja diterima sebelum
saksi yang diajukan kemuka pengadilan memenuhi kriteria yang ditetapkan oleh
hukum pembuktian. Dan dalam hal ini yakni hukum pembuktian yang dianut oleh
peradilan khususnya Peradilan Agama yang merupakan pembahasan utama dalam
skripsi ini, dalam kaitannya dengan eksistensi saksi non muslim di mata hukum
Islam.
Untuk
memberitahukan kesaksian yang dapat diterima serta dapat di jadikan pembuktian
kuat wajib memenuhi syarat-syarat tertentu yaitu :
a) Beragam Islam
Saksi dalam hal
ini haruslah beragama Islam karena syarat para fuqaha menetapkan, bahwa dalam
kesaksian ini yang dapat diterima bagi kesaksian seseorang haruslah beragama
Islam.
b) Baliqh
Saksi yang belum
mencapai usia baliqh tidak dapat dijadikan sebagai saksi, terlebih memberikan
kesaksian.
c) Berakal
Persaksian dari
pada saksi dapat dijadikan saksi sebagai pembuktian dalam Peradilan Agama jika
saksi memiliki akal dan jiwa yang sehat sebagai salah satu syarat yang harus
dimiliki oleh saksi dalam suatu persaksian.
d) Merdeka
Merdeka ialah
saksi dalam memberikan kesaksian harus termasuk orang yang merdeka yaitu tidak
sebagai budak atau orang yang tidak
memiliki kebebasan hidup seperti manusia lainnya.
e) Adil[10]
Sifat keadilan
dari saksi dalam memberikan kesaksian sangatlah menentukan dalam penilaian
hakim karenanya sifat adil dalam hal ini ialah menjauhi perbuatan dosa, baik
hati, menjaga kehormatan diri, dan bukan musuh atau lawan dari pihak yang
berperkara.
Syarat-syarat saksi yang dikemukakan di atas adalah merupakan
syarat-syarat yang diperpegangi oleh peradilan agama, namun ada beberapa
tambahan syarat seperti yang dikemukakan oleh Sayyid Sabiq dalam fiqh sunnahnya, dengan dua syarat tambahannya
yaitu mampu berbicara tidak bisa, dan bukan sanak famili atau keluarga terdekat
salah satunya.
Persyaratan yang harus dimiliki oleh saksi atau beberapa orang saksi
seperti yang telah diuraikan di atas merupakan syarat mutlak yang mesti ada
pada saksi, walaupun dalam beberapa hal sebagaimana yang dimaksud oleh Sayyid
Sabiq harus tidak bisu dan khusus yang diatur oleh Peradilan Agama dalam
perkara perdata.[11]
Syarat-syarat saksi yang diuraikan di atas adalah merupakan syarat yang
dikenakan pada seorang saksi sebelum memberikan kesaksian, karena saksi dalam
hal ini merupakan orang yang menyaksikan suatu peristiwa hukum yang sekaligus
sebagai syarat hukum dalam membuktikan kebenaran yang terdapat pada salah satu
pihak yang mengajukan perkaranya di muka sidang, oleh karena itu dapat
dikatakan bahwa syarat-syarat tersebut adalah merupakan ketentuan khusus yang
dianjurkan oleh hukum pad seorang saksi.
Lima
syarat yang dikemukakan di atas ditambah dengan dua syarat oleh Sayyid Sabiq
yaitu beragama Islam, baligh, berakal, merdeka adil tidak bisu dan bukan keluarga
dekat dari pihak-pihak yang berperkara adalah merupakan ketentuan yang wajib
dimiliki oleh seorang saksi.
Pada
prinsipnya, setiap orang dapat menjadi saksi. Namun demikian, untuk memelihara
obyektifitas saksi dan kejujurannya, ada orang tertentu oleh Undang-undang
tidak dapat diperkenankan menjadi saksi sebagai dasar untuk memutus perkara,
karena adanya hubungan tertentu dengan para pihak, atau karena keadaan tertentu
orang tidak boleh di dengar sebagai saksi adalah :
1) Keluarga
sedarah dan keluarga semenda dari salah
satu pihak menurut keturunan yang sah
2) Istri atau
suami dari salah satu pihak meskipun sudah
ada perceraian
3) Anak yang tidak
diketahui benar umurnya sudah 15 tahun
4) Orang gila,
meskipun ia kadang-kadang mempunyai ingatan yang terang.[12]
Sejalan
dengan maksud di atas, nabi saw telah memperingatkan agar tidak mengangkat
saksi orang pengkhianat, orang yang memiliki rasa dengki terhadap saudaranya,
dan pembantu terhadap tuannya. Nabi bersabda :
Tidak boleh diterima kesaksian seorang pengkhianat laki-laki
dan tidak pula pengkhianat perempuan, orang yang memiliki perasaan dengki
terhadap saudaranya, dan tidak diterima kesaksiannya seorang pembantu atas
tuannya.[13]
Selain
itu, ada pula golongan orang yang atas
permintaan mereka sendiri dibebaskan dari kewajiban untuk memberi kesaksian,
mereka yang boleh mengundurkan diri sebagai saksi disebutkan dalam pasal 146 ayat (1) HIR, pasal 114 RBg. dan
pasal 1909 alinea 2 BW, atau disebut dengan sebagai hak ingkar. Mereka itu
adalah :
1) Saudara
laki-laki dan perempuan, ipar laki-laki dan perempuan dari salah satu pihak
2) Keluarga
saudara menurut keturunan yang lurus,
dan saudara laki-laki dan perempuan dari suami
atau isteri salah satu pihak
3) Semua orang
yang karena martabatnya, pekerjaannya atau jabatan yang sah diwajibkan
menyimpan rahasia akan tetapi hanya semata-mata mengetahui pengetahuan yang
diserahkan kepadanya karena martabat, pekerjaan atau jabatannya itu.[14]
Saksi-saksi yang dipanggil ke muka sidang
pengadilan mempunyai kewajiban menurut hukum yaitu :
1) Kewajiban untuk
menghadap atau datang memenuhi panggilan persidangan, yang mana dirinya
dipanggil dengan patut dan sah
2) Kewajiban untuk
bersumpah sebelum memberi keterangan, sumpah ini menurut ketentuan
agamanya dan bagi suatu agama yang tidak
memperkenankan adanya sumpah maka diganti dengan mengucapkan janji
3) Kewajiban untuk
memberikan keterangan yang benar
Dalam
peraturan perundang-undangan tentang hukum acara perdata tidak ada persyaratan
secara mutlak untuk diterima sebagai saksi, baik jenis kelamin, sifat, dan
beberapa jumlah ideal. Perbedaan agama tidak menjadi halangan untuk diterimanya
seseorang menjadi saksi, karena prinsip utama dalam masalah pembuktian adalah
terungkapnya suatu kebenaran suatu peristiwa yang menjadi sengketa antara para
pihak dimuka majelis hakim, dengan hal tersebut keadilan dan kebenaran dapat
ditegakkan.[15]
Hal ini dapat dilihat dari berbagai
keterangan ayat-ayat Al-Qur’an dan beberapa hadits yang menyangkut soal saksi
dan persaksiannya, di sisi lain dapat pula dilihat pendapat-pendapat yang dikeluarkan oleh para ahli hukum Islam atau
fuqaha Islam. Dimana para ahli hukum Islam memberikan suatu dalil yang diambil
dari sumber hukum Islam yaitu Al-Qur’an dan sunnah dan dari sumber hukum Islam
lainnya.
Kesaksian
dan persaksian yang diberikan oleh para saksi harus pula memenuhi kriteria atau
syarat-syarat yang dipakai dan disepakati oleh para ahli hukum Islam, sehingga
kesaksian yang diberikan di muka Pengadilan Agama dapat dijadikan sebagai alat pembuktian
Dalam hal
membuktikan suatu peristiwa yang terjadi antara orang-orang yang berperkara
atau lebih dikenal dengan istilah pihak-pihak yang berperkara maka dalam Hukum Acara perdata
dikenal adanya asas hukum pembuktian yang di dalamnya terdapat saksi sebagai
salah satu unsur pembuktian dan merupakan pelengkap terhadap bukti-bukti lain
yang diajukan oleh penggugat, karena pembuktian itu sendiri sebagaimana yang
dimaksud kitab undang-undang hukum perdata pasal 1856 BW bahwa :
“Setiap orang yang mendalihkan bahwa ia mempunyai sesuatu
hak, atau guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah suatu hak orang lain
atau menunjukkan pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau
peristiwa tersebut.[16]
Ini
merupakan petunjuk bahwa setiap perkara dalam kasus perdata, yang dikemukakan
oleh pihak-pihak yang berperkara diharuskan memberikan pembuktian yang nyata
dan jelas. Sedangkan pembuktian yang dimaksud oleh Prof. R. Subekti, S. H.
dalam bukunya “Hukum Pembuktian” , menjelaskan bahwa pembuktian ialah
meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau
dalil-dalil yang dikemukakan dalam
suatu persengketaan.[17]
Ilustrasi
Asas Pembuktian tersebut dapat digambarkan sebagai berikut :
A (Penggugat) menggugat B (tergugat) agar B membayar utang
kepada A, maka kepada A dibebankan oleh hakim untuk membuktikan adanya hutang B
kepada A, sebab di ketika itu A mengatakan bahwa ia mempunyai hak berupa
piutang dari B. selanjutnya, di muka sidang B membantanh, menurut B adanya
utang di atas kwitansi tersebut bukanlah karena B mempunyai utang kepada A
tetapi adalah karena B dipaksa oleh A
untuk membuatnya maka B dibebankan untuk membuktikan akan kebenaran
bantahan tersebut, karena B ketika itu membantah hak orang lain atasnya.
Mungkin juga B di muka sidang mengatakan bahwa utang tersebut betul ada tetapi
sudah dibayarkannya hanya saja tidak memakai tanda pembayaran/kwitansi dan
kwitansi utang dahulunya tidak diminta kembali dari A. dalam hal ini kepada B
dibebankan oleh hakim untuk membuktikan peristiwa pembayaran tersebut.
Dari
gambaran di atas dapat dilihat bahwa
beban pembuktian sesewaktu kepada penggugat A dan sesewaktu kepada tergugat B,
karena asas pembuktian mengatakan demikian. Dalam Asas Pembuktian mengenal
adanya saksi sebagai alat bukti dalam persidangan, maka pembuktian dengan saksi
merupakan alternatif bagi pihak-pihak yang berperkara untuk mengajukan tuntutan
dan bantahan sekaligus sebagai penguat terhadap beban pembuktian yang diminta
oleh hakim.
Dari
uraian contoh diatas dapat diketahui bahwa pembuktian sangatlah penting dimuka
sidang pengadilan, dan eksistensi saksi dalam suatu Persidangan dinilai sangat
membantu hakim dalam mengambil suatu keputusan, karena kesaksian itu sendiri
sebagaimana Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo maksudkan ialah “kepastian yang
diberikan kepada hakim di persidangan tentang suatu peristiwa yang
dipersengketakan”.[18]
Eksistensi saksi dalam memberikan
kesaksian merupakan alat bukti yang wajar, karena keterangan yang diberikan
kepada hakim dipersidangkan itu berasal dari pihak ketiga yang
melihat/mengetahui sendiri tentang yang bersangkutan. Pada umumnya pihak ketiga
lebih obyektif di dalam memberikan keterangan dari pada pihak yang berperkara,
para pihak yang berperkara pada umumnya akan mencari benarnya sendiri. Oleh
karena itu, dapat dikatakan pula akan betapa pentingnya arti kesaksian sebagai
alat bukti tampak dari kenyataan bahwa banyak dari peristiwa-peristiwa hukum
yang tidak dicatat atau tidak ada alat bukti tertulisnya, sehingga kesaksian
hanya merupakan satu-satunya alat bukti yang masih ada atau tersedia.
Pembuktian
dengan kesaksian merupakan cara pembuktian yang terpenting dalam suatu perkara
yang disidangkan, suatu kesaksian harus mengenai peristiwa-peristiwa yang ia
lihat dengan mata kepala sendiri atau yang dialami oleh seorang saksi. Jadi
tidak dibenarkan bagi saksi memberikan kesaksiannya berdasarkan pendengaran
saja dari orang lain, atau merupakan kesimpulan yang ditarik sendiri dari
peristiwa yang dilihat atau dialaminya, sebab hanya hakim yang berhak menarik kesimpulan dari peristiwa hukum
yang terjadi antara pihak-puak yang berperkara.
Walaupun
eksistensi saksi dalam suatu persidangan dipandang sangat penting, namun ia
tidak bersifat mengikat hakim, tetapi terserah pada hakim untuk menerimanya
atau tidak, artinya hakim leluasa untuk mempercayai atau tidak mempercayai
keterangan saksi.[19]
Alat bukti
persangkaan
Alat bukti
persangkaan (Belanda, Ver Moeden) yang di
dalam Hukum Acara Peradilan Islam disebut al Qarinah menurut bahasa
artinya “istri” atau “hubungan” atau “pertalian”, sedangkan menurut istilah
hukum ialah hal-hal yang mempunyai hubungan atau pertalian yang erat demikian
rupa terhadap sesuatu sehingga memberikan petunjuk.[20]
Eksistensi
saksi dalam persidangan adalah disamping sebagai syarat pembuktian sekaligus
sebagai syarat hukum dimana kesaksian yang diberikan dapat memperjelas
permasalahan yang terjadi antara kedua
belah pihak yang berperkara, dengan adanya asas keadilan sebagai asas terpenting
diharapkan dapat terwujud kepastian hukum yang diberikan melalui proses hukum
di Peradilan sebagai salah satu lembaga yang dapat memberikan keadilan yang
ingin diperoleh setiap orang atau sebagai komunitas manusia yang benar-benar
memiliki tanggung jawab dalam bersosialisasi dengan sesamanya, sehingga
tidak terdapat kesalahan-kesalahan
yang dirasa merugikan semuanya.[21]
Sedangkan
menurut M. Nur Rosaid, S.H. dalam bukunya Hukum Acara Perdata, persangkaan
adalah kesimpulan yang ditarik dari suatu peristiwa yang telah dianggap terbukti,
yang menarik kesimpulan ini adalah hakim atau undang-undang. Satu persangkaan
saja tidak cukup untuk membuktikan sesuatu, jadi harus banyak
persangkaan-persangkaan yang satu sama lain saling berhubungan/saling menutupi.
Oleh karena itu hakim harus berhati-hati dalam
menarik kesimpulan tersebut.[22]
Oleh
karena saksi adalah merupakan orang yang diminta kesaksiannya, maka pihak yang
berperkara apabila dipanggil sebagai saksi tentu memiliki tanggung jawab untuk
memberikan kebenaran sebagai manifestasi dari rasa keadilan bagi setiap orang.
jadi saksi adalah merupakan pihak ketiga
yang diminta keterangannya untuk membuktikan gugatan yang diajukan
kemuka pengadilan.
Oleh
karena persangkaan itu merupakan kesimpulan belaka, maka dalam hal ini yang
dipakai sebagai alat bukti sebetulnya bukan persangkaan itu, melainkan
alat-alat bukti lain, yaitu misalnya kesaksian atau surat-surat, atau pengakuan
salah satu pihak, yang membuktikan bahwa suatu peristiwa adalah terang
ternyata, baru kemudian disimpulkan adanya suatu peristiwa tertentu.
Persangkaan-persangkaan hakim sebagai alat bukti mempunyai kekuatan
bebas, yaitu terserah kepada
kebijaksanaan hakim, seberapa jauh di akan memberi kekuatan bukti kepada
persengketaan-persengketaan yang didapat pada pemeriksaan perkara.
Alat bukti
pengakuan
Pengakuan
atau iqrar yaitu pernyataan dari penggugat atau tergugat atau pihak-pihak lainnya mengenai ada tidaknya sesuatu. Ikrar
adalah pernyataan seseorang tentang dirinya sendiri yang bersifat sepihak dan
tidak memerlukan persetujuan pihak lain. Ikrar atau pengakuan dapat diberikan
di muka hakim di persidangan atau di luar persidangan.
Syarat-syarat pelaku ikrar (pengakuan):
a) Baliqh : dewasa.
b) Aqil
: berakal/waras, tidak gila
c) Rasyid : punya kecakapan bertindak
Jenis-jenis pengakuan:
a) Lisan
b) Isyarat,
kecuali dalam perkara zina
c) Tertulis.[23]
Dasar
hukum pengakuan sebagai alat bukti diatur dalam pasal 174 HIR dan Pasal 311 R.
Bg. Serta pasal 1923-1928 KUH Perdata.[24] Sedangkan dasar pengakuan sebagai
alat bukti menurut Acara Peradilan Islam, antara lain:
a) Al-Qur’an,
surat 4 An Nisa ayat 135 yaitu
Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang
benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap
dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu…..
b) Hadits Riwayat
Bukhary Muslim, dari Abi Hurairah
Sewaktu Rasulullah saw di dalam masjid, telah datang seorang
laki-laki muslim. Ia berseru kepada Rasulullah ya Rasulullah, sesungguhnya saya
telah berzina. Rasulullah berpaling dari padanya orang itu berputar menghadap
kearah Rasulullah dan berkata. Ya Rasulullah, saya telah berzina, Rasulullah
berpaling dari padanya hingga orang itu ulangi yang demikian itu sampai empat
kali. Tatkala orang itu telah saksikan (kesalahan) dirinya empat persaksian
(maksudnya empat kali mengaku), Rasulullah panggil ia dan Rasulullah bertanya.
Apakah anda tidak gila? Orang itu menjawab, tidak. Tanya Rasulullah lagi,
apakah anda sudah kawin? Orang itu menjawab, sudah, maka Rasulullah saw
bersabda bawalah orang ini pergi dan rajamlah ia.[25]
Hadits ini
di samping sebagai dasar pengakuan sebagai alat bukti, juga sebagai dasar bahwa
pengakuan zina dapat menggantikan alat
bukti 4 orang saksi lelaki yang beragama Islam untuk berlakunya pidana
rajam/had zina/qisas.
5. Alat bukti
sumpah
Sumpah
menurut bahasa hukum Islam disebut al amin atau al hiff tetapi kata al yamin
lebih umum dipakai. Sumpah ialah suatu pernyataan yang khidmat yang diberikan
atau diucapkan pada waktu memberi janji atau keterangan dengan mengingat sifat
maha kuasa Tuhan dan percaya bahwa siapa yang memberi keterangan atau janji
yang tidak benar akan dihukum oleh Nya.[26]
Pada
dasarnya, sumpah ini adalah dari pihak yang digugat atau dituntut. Ahli bukti
sumpah ini bermacam-macam sumpah ini ada yang memiliki bentuk tersendiri,
seperti sumpah Li’an (dalam perkara zina) dan sumpah Qasamah (di lapangan
pidana), bagaimanapun juga, selain dari sumpah Li’an dan sumpah pemutus, alat
bukti sumpah tidak bisa berdiri sendiri. Artinya, hakim tidak bisa memutus
hanya semata-mata berdasarkan kepada sumpah tanpa disertai oleh alat bukti
lainnya. Sumpah hanyalah merupakan salah satu alat bukti dapat diandalkan untuk
pengambilan putusan terakhir.
Alat bukti
sumpah ini juga diatur dalam HIR Pasal 135-158, 177) R.Bg. (pasal 182, 185,
314) dan BW (pasal 1929-1945).
Ada 3
macam sumpah sebagai alat bukti, yaitu
a) Sumpah
pelengkap (suppletion)
b) Sumpah pemutus
yang bersifat menentukan (decisior)
c) Sumpah
penaksiran (aestimatoir, schatting seed)[27]
Alat bukti
pemeriksaan setempat
Pemeriksaan di tempat dilakukan dengan pergi ketempat barang yang
menjadi objek perkara, yang tidak dapat dibawa ke persidangan, misalnya keadaan
perkarangan bangunan. Pemeriksaan ditempat dilakukan oleh hakim dengan dibantu
oleh pemitra. Dalam melakukan pemeriksaan setempat, panitra membuat berita
acara yang ditanda tangani oleh hakim
dan panitra yang bersangkutan.[28]
Tujuan
pemeriksaan setempat ialah agar hakim memperoleh gambarkan yang jelas tentang
peristiwa yang menjadi sengketa, maka fungsi pemeriksaan setempat pada
hakekatnya adalah sebagai alat bukti. Jika benda obyek perkara yang akan
diperiksa itu terletak diluar daerah hukum tempat kedudukan pengadilan itu,
maka ketua dapat meminta kepada pengadilan negeri setempat agar melakukan atau
menyuruh melakukan pemeriksaan itu dan mengirimkan secepat-cepatnya berita
acara pemeriksaannya.
Alat bukti
keterangan ahli
Keterangan
dari pihak ketiga untuk memperoleh kejelasan bagi hakim dari suatu peristiwa
yang disengketaan, kecuali dari saksi, juga diperoleh dari keterangan ahli,
yang dalam praktek pengadilan sering juga disebut saksi ahli. Keterangan ahli
adalah keterangan pihak ketiga yang objektif dan bertujuan untuk membantu hakim
dalam pemeriksaan guna menambah pengetahuan hakim sendiri.[29]
Kalau
saksi biasa ia dilarang menilai dan menyimpulkan terhadap apa yang
dialami/dilihat/diketahui/didengarnya tetapi harus menyebutkan “sebab ia tahu”
maka saksi ahli malahan sebaliknya, ia diminta untuk memberikan penilaian atau
kesimpulan menurut bidang keahliannya seobyektif-obyektifnya terhadap suatu
peristiwa yang sedang diperiksa di muka pengadilan.
Keterangan
saksi ahli mungkin diberikan secara
lisan di depan sidang tetapi mungkin pula diberikan secara tertulis yang
kemudian dibacakan di depan sidang.
Karena dibaca di depan sidang maka statusnya sama dengan keterangan lisan di
depan sidang. Hasil pemeriksaan dokter misalnya, biasanya selalu diberikan
dengan tertulis, bahkan diberikan dan ditandatangani oleh tim.
Kesaksian Sebagai Alat Bukti
Saksi
sebagai alat bukti adalah sangat kuat karena saksi itu melihat, mendengar dan
merasa apa yang terjadi (suatu peristiwa), tapi tidaklah semua saksi dapat
diterima dengan begitu saja tanpa adanya seleksi, maka saksi haruslah memenuhi
syarat-syarat sebagai saksi, sebagaimana telah dibahas oleh penulis pada bab
sebelumnya.
Dalam
mempergunakan saksi di muka sidang pengadilan agama hendaknya kita harus
membedakan apakah saksi sebagai syarat hukum ataukah sebagai alat pembuktian.
Sebab fungsi keduanya berbeda.
Misalnya,
2 orang saksi adalah sebagai syarat hukum untuk sahnya perkawinan, namun untuk
membuktikan, adanya perkawinan tidak mesti dengan 2 orang saksi betul,
melainkan dapat dengan cara lain, seperti dengan pengakuan kedua suami isteri
dengan sumpahnya, dengan adanya akta nikah, dengan seseorang saksi ditambah
sumpah dari salah seorang suami isteri dimaksudkan dan lain-lain. Hal-hal di
atas ini diakui sendiri oleh para ahli hukum Islam.[30]
Pengadilan agama dalam hal ini, tentunya
bukan bermaksud mau mengawinkan orang melainkan hanya untuk membuktikan ada
atau tidaknya nikah. Jika saksi sebagai syarat hukum, rasanya kita sepakat bahwa tanpa kesaksian 2 orang saksi yang
beragama Islam perkawinan tidak sah.
Status
saksi ada kalanya ia menempati sebagai syarat hukum dan adakalanya sebagai alat
bukti bahkan ada kalanya ia menempati sebagai syarat hukum sekaligus sebagai syarat pembuktian.
Pada keadaan yang disebutkan terakhir ini kita harus menggunakan saksi disitu
sebagai syarat hukum, sebab syarat pembuktian sudah sekaligus tercakup
(implisit) di dalam syarat hukum, dengan kata lain, segala saksi yang memenuhi
syarat hukum, otomatis memenuhi syarat pembuktian, tetapi tidak sebaliknya.
Oleh
karena itu, para praktisi hukum di pengadilan agama harus membedakan status
saksi antara status saksi sebagai syarat hukum agama Islam dengan status saksi
sebagai alat bukti, untuk dapat mengetahui kedudukan saksi tersebut, tidaklah mungkin
dilakukan oleh praktisi hukum kalau tidak mengetahui sepenuhnya hukum materil
Islam, sedangkan saksi sebagai alat bukti merupakan pembenaran suatu peristiwa
yang berkaitan dengan hukum formal.
[1] Lomba Sultan dan
Halim Talli, Peradilan Islam dalam Lintasan Syari’ah (Makassar : tp. 2001), h.
100.
[2] Lomba Sultan dan Halim Talli, h. 100-101
[3] Ibid.
[4] H. Raihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama (Cet.
VIII; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), h. 148.
[5] Abdul Kadir Muhammad,
h. 120-121.
[6] Anton M. Muliono, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Cet. II;
Jakarta: Balai Pustaka, 1990), h. 779.
[7] H. Roihan A.
Rasyid, h. 152
[8] Sayid Sabiq, Fiqh
al Sunnah, Jilid 3 (Jakarta: al Maktabah al Khadimat al Haditsah, 1989), h.
318.
[9] H. Raihan A Rasyid, h. 152-153
[10] H. Raihan A
Rasyid, h. 166
[11] Sayyid Sabiq.
[12] Abdul Manan
Penerapan Hukum Islam Perdata di Lingkungan
Peradilan Agama (Cet. IV; Jakarta : Kencana, 2006) h. 373.
[13] Lomba Sultan, h.
105-106
[14] Abdul Manan.
[15] Ibid.
[16] R. Subketi dan
R. Tjitrosudibo, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, (Cet. 35; Jakarta: Pradnya
Paramita, 2004), h. 419.
[17] R. Subekti, Hukum Pembuktian (Cet. X; Jakarta: Pradnya
Paramita, 1993), h. 7.
[18] Sudikno
Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia (Ed. IV, Cet. I; Yogyakarta:
Liberty, 1993), h. 136.
[19] R. Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata (Cet. 4; Jakarta:
Intermasa, 1992), h. 181.
[20] H. Raihan A Rasyid op. cit., h. 166.
[21] R. Subekti Hukum Pembuktian, h. 11.
[22] M. Nur Rasaid,
Hukum Acara Perdata (Cet. IV; Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h. 42.
[23] Gemala Dewi, h.
135
[24] Abdul Manan, h.
257
[25] H. Roihan A.
Rasyid, h. 171.
[26] Gemala Dewi, h.
137.
[27] Ibid, 142.
[28] Abdul Kadir
Muhammad, h. 143.
[29] M. Nor Rasaid,
h. 47.
[30]
H. Raihan A
Rasyid, h. 153.
Komentar