Langsung ke konten utama

Unggulan

skenario sidang mediasi

Penetapan Penunjukan Mediator : PENETAPAN Nomor : 001/Pdt.G/2015/PS.SNC. Ketua Majelis Pengadilan Semu Syekh Nurjati Cirebon ; Membaca surat gugatan tertanggal 18 Maret 2015 Nomor : 001/Pdt.G/2015/PS.SNC. dalam perkara antara : ROSINAH BINTI VALENTINO ROSSID , sebagai Penggugat ; Melawan : NAHRUL BIN HAYAT , sebagai Tergugat ; Membaca, Penetapan Ketua Pengadilan Semu Syekh Nurjati Cirebon tertanggal 18 Maret 2015 Nomor : 001/Pdt.G/2015/PS.SNC. tentang Penunjukan Majelis Hakim; Membaca, Penetapan Ketua Majelis Hakim Pengadilan Semu Syekh Nurjati Cirebon tertanggal 18 Maret 2015 Nomor : 001/Pdt.G/2015/PS.SNC. tentang Penetapan Hari Sidang ; Menimbang, bahwa pada hari sidang yang telah ditentukan Penggugat dan Tergugat hadir di persidangan ; Menimbang, bahwa dalam usaha mendamaikan para pihak sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 130 HIR/154 RBg dan Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, Ketua Majlis Hakim menerang...

Wayang Golek


A.   Pengertian Wayang Golek
Sebelum membatasi pada pengertian wayang golek secara khusus, maka perlu dijelaskan terlebih dahulu istilah wayang itu sendiri. Wayang merupakan salah satu puncak seni budaya bangsa Indonesia yang paling menonjol di antara banyak karya budaya lainnya. Budaya wayang sendiri meliputi seni peran, seni suara, seni musik, seni tutur, seni sasra, seni lukis, seni pahat dan juga seni perlambang.
Menurut penelitian ahli sejarah, sebetulnya budaya wayang merupakan budaya asli Indonesia yang sudah ada jauh sebelum agama Hindu masuk ke pulau Jawa. Memang, cerita wayang yang populer saat ini merupakan adaptasi cerita dari karya sasra India, yaitu Ramayana dan Mahabrata. Tetapi sudah mengalami adaptasi untuk menyesuaikan dengan falsafah asli Indonesia (Dwihimura,2009)
Pengertian wayang sangat tergantung dari sudut pandang orang yang melihatnya. Kata wayang dapat diartikan secara luas, tetapi seringkali dibatasi dengan makna boneka, gambar, tiruan dari manusia, tokoh/pemain dalam suatu pertunjukan/sandiwara. Arti ini mirip dengan yang ada dalam Kamus Umum Bahasa Sunda, yaitu wayang adalah boneka atau penjelmaan dari manusia yang terbuat dari kulit atau pun kayu. Namun ada juga yang mengartikan bahwa perkataan wayang berasal dari bahasa Jawa, yang artinya perwajahan yang mengandung penerangan.
Mengenai asal-usul wayang khusus di Indonesia juga ada beberapa pendapat. Ada yang mengatakan bahwa wayang berasal dari kebudayaan India yang sangat dipengaruhi oleh budaya Hindu. Pendapat lain mengatakan bahwa wayang merupakan hasil kebudayaan asli masyarakat Jawa tanpa ada pengaruh budaya lain. Disebutkan pula oleh beberapa sumber bahwa wayang berasal dari relief candi karena candi memuat cerita wayang, seperti candi Prambanan.
Bukti keberadaan wayang dalam perjalanan sejarah di Indonesia tercatat dalam berbagai prasasti, seperti prasasti Tembaga (840 M), prasasti Ugrasena (896 M), dan prasasti Belitung (907 M) (Dwihimura,2009).
Kesenian wayang dalam bentuknya yang asli timbul sebelum kebudayaan Hindu masuk di Indonesia dan mulai berkembang pada jaman Hindu Jawa.
Pertunjukan Kesenian wayang sendiri adalah sisa-sisa upacara keagamaan orang Jawa yaitu sisa-sisa dari kepercayaan animisme dan dinamisme. Meski ada perbedaan pendapat mengenai asal-usul wayang, tidak dapat dipungkiri bahwa keberadaan wayang di Indonesia sudah melalui perjalanan waktu yang sangat panjang dan hingga kini masih hidup di tengah masyarakat.
Kata wayang golek terdiri dari dua kata, yaitu wayang dan golek. Karena itu tentu masing-masing kata tersebut mempunyai arti tersendiri, walaupun apabila kedua pengertian dari masing-masing kata tersebut disatukan akan menjadi satu pengertian. Untuk itu dalam pengertian wayang golek ini akan diuraikan melalui masing-masing kata.
Mulyono (1982 : 11) membuat batasan wayang berdasarkan pengertian dari bahasa Jawa. Wayang berarti bayangan, wayang berasal dari wa-yang, yang artinya tidak stabil, tidak tenang, terbang, bergerak kian kemari. Awalan wa- berfungsi sebagai pembentuk kata benda. Dalam bahasa modern awalan wa- ini tidak mempunyai fungsi. Wayang berarti bergerak kian kemari, tidak tetap, sayup-sayup (bagai substansi bayang-bayang). Sopandi mengatakan wayang berasal dari kata Wa dan Hyang, wa artinya wadah dan hyang artinya roh, jadi wayang berarti tempat para mahluk halus; malah menurutnya ada juga yang memberikan batasan bahwa wayang ialah berasal dari kata bayang atau bayang-bayang sehingga pada akhirnya, ia beranggapan bahwa wayang disini dapat diartikan sebagai bayangan roh.
Selanjutnya ialah kata wayang golek. Berdasarkan Kamus Umum Bahasa Sunda yang diterbitkan LBSS, golek berasal dari Bahasa Jawa yang artinya boneka. Dalam kata wayang golek, golek tersebut artinya wayang berupa boneka yang terbuat dari kayu (Kamus LBSS, 1981 : 151). Dengan demikian golek dapat diartikan sebuah boneka yang terbuat dari kayu.
Claire Holt (2000:162) mengartikan wayang golek adalah sejenis wayang yang dipertunjukan dengan boneka-boneka dari kayu, tiga dimensi, dan diberi busana. Busana boneka golek yang penuh warna termasuk tiruan dari busana istana jawa. Beberapa tokoh pria dibusanai dengan baju lengan panjang bersulam emas abad ke-18 atau ke-19 yang merupakan inspirasi dari eroupa yang dikombinasikan dengan topi serta serban, dan ada beberapa yang memakai gaya Arab. Akan tetapi semua bonek menganakan kain batik jawa panjang untuk menyembunyikan tangan dalang yang memegang boneka pada pegangan kayu yang di tengah.
Sedangkan Wayang golek menurut Clara (1987 : 4) ialah pertunjukan wayang yang menggunakan boneka kayu tiga matra yang berbusana tanpa menggunakan kelir. Apabila kedua pengertian tadi disatukan maka dapat disimpulkan bahwa wayang golek berarti bayangan roh yang dapat bergerak dengan dinamis yang digambarkan dengan boneka yang terbuat dari kayu.
B.   Asal-usul dan Sejarah Wayang Golek
Asal mula wayang golek tidak diketahui secara jelas karena tidak ada keterangan lengkap, baik tertulis maupun lisan. Kehadiran wayang golek tidak dapat dipisahkan dari wayang kulit, karena wayang golek merupakan modernisasi dari wayang kulit. Namun demikian, Salmun (1961:10) mengatakan bahwa Perkembangan wayang golek berasal atau dipengaruhi oleh latar belakang budaya yang berbeda. Walaupun demikian, wayang golek merupakan karya sastra lisan yang berkembang di Jawa Barat dan digemari oleh masyarakatnya. Perkembangan wayang golek yang terus dialami sampai sekarang selalu menyesuaikan dengan perkembangan jaman. Perkembangan wayang golek menurut Salmun dimulai oleh perkembangan wayang kulit pada jaman Erlangga berkuasa pada tahun 1050 M. Ketika itu, hanya berupa gambar manusia yang dilukis pada kulit dan penampilannya pun hanya diceritakan seperti dongeng.
Pada tahun 1583, Sunan Kudus membuat wayang golek, maksudnya dapat ditonton pada siang hari berkembang di Jawa Barat. Daerah yang pertama dimasuki adalah Cirebon, bahasa yang digunakanya pun masih Bahasa Jawa. Tema yang selalu ditampilkan adalah mengenai kisah-kisah Wong Agung Menak yang mempunyai nama-nama seperti Amir, Amir Mukminin, Jayadimuri, Jayangjurit, Jayenglaga, Jayengsatru, dll. Wayang tersebut dikenal dengan wayang cepak. Pada tahun 1808-1811 setelah ada jalan pos yang dibangun Daendels, wayang golek mulai masuk ke Priangan (Sopandi, 1984 : 70). Bahasa yang dipakai sudah bahasa Sunda, sehingga pada waktu itu mulai banyak dalang dan masyarakat yang menggemari wayang golek.
Kelahiran golek berasal dari ide Dalem Bupati Bandung (Karang Anyar) yang menugaskan Ki Darman, juru wayang kulit asal Tegal yang tinggal di Cibiru, untuk membuat bentuk golek purwa. Awalnya wayang kayu ini masih dipengaruhi bentuk wayang kulit, yaitu gepeng atau dwimatra. Pada perkembangan selanjutnya, tercipta bentuk golek yang semakin membulat atau trimatra seperti yang biasa kita lihat sekarang. Kemudian, pembuatan golek pun menyebar ke seluruh wilayah Jawa Barat seperti Garut, Ciamis, Ciparay, Bogor, Kerawang, Indramayu, Cirebon, Majalaya, dan sebagainya.
Setelah Perang Dunia II di Jawa Barat ada wayang modern yang diciptakan oleh dalang R.U Partasuwanda. Perkembangannya dimulai pada jaman Jepang ketika itu orang sangat sulit untuk menyaksikan pertunjukan wayang golek karena pemerintah Jepang membuat larangan agar tidak ada pesta yang melewati pukul 24.00 sedangkan pertunjukan wayang golek memerlukan waktu yang cukup panjang. Banyak masyarakat yang mengajukan permintaan pada pemerintah Jepang agar wayang golek disiarkan melalui radio Jepang menerima permintaan tersebut. Dalang pertama yang menyanggupi mengisi acara tersebut adalah R.U. Partasuanda, tetapi waktu pertunjukannya pun hanya 3 jam. Dalam keadaan seperti itu, R.U. Partasuanda mencoba membuat wayang golek yang bisa dipentaskan selama 3 jam. Dengan diilhami oleh pertunjukan sandiwara, ia menciptakan wayang model baru yang kemudian dikenal dengan wayang modern dari dalang generasi R.U Partasuanda sampai pada tahun 1980-an wayang golek mengalami perkembangan yang sangat pesat terutama pada tahun1980-an setelah hadirnya Dalang Ade kosasih Sunarya (Alm) dan Dalang H. Asep Sunandar Sunarya. Wayang golek mulai mendapat tempat di masyarakat, hal ini dikarenakan kreatifitas mereka untuk bisa menarik masa. Eksistensi kedua dalang tersebut sampai saat ini masih mempengaruhi perkembangan wayang golek di Jawa Barat karena keduanya selalu beradaptasi terhadap apresiasi masyarakat (Sopandi, 1984:23-24).
Lebih lanjut mengenai asal-usul wayang golek, pada mulanya yang dilakonkan dalam wayang golek adalah ceritera panji dan wayangnya disebut wayang golek menak. Konon, wayang golek ini baru ada sejak masa Panembahan Ratu (cicit Sunan Gunung Jati (1540-1650)). Di sana (di daerah Cirebon) disebut sebagai wayang golek papak atau wayang cepak karena bentuk kepalanya datar. Pada zaman Pangeran Girilaya (1650-1662) wayang cepak dilengkapi dengan cerita yang diambil dari babad dan sejarah tanah Jawa. Lakon-lakon yang dibawakan waktu itu berkisar pada penyebaran agama Islam. Selanjutnya, wayang golek dengan lakon Ramayana dan Mahabarata (wayang golek purwa) yang lahir pada 1840 (Somantri, 1988).
Kelahiran wayang golek diprakarsai oleh Dalem Karang Anyar (Wiranata Koesoemah III) pada masa akhir jabatannya. Waktu itu Dalem memerintahkan Ki Darman (penyungging wayang kulit asal Tegal) yang tinggal di Cibiru, Ujung Berung, untuk membuat wayang dari kayu. Bentuk wayang yang dibuatnya semula berbentuk gepeng dan berpola pada wayang kulit. Namun, pada perkembangan selanjutnya, atas anjuran Dalem, Ki Darman membuat wayang golek yang membulat tidak jauh berbeda dengan wayang golek sekarang. Di daerah Priangan sendiri dikenal pada awal abad ke-19. Perkenalan masyarakat Sunda dengan wayang golek dimungkinkan sejak dibukanya jalan raya Daendels yang menghubungkan daerah pantai dengan Priangan yang bergunung-gunung. Semula wayang golek di Priangan menggunakan bahasa Jawa. Namun, setelah orang Sunda pandai mendalang, maka bahasa yang digunakan adalah bahasa Sunda.

C.   Unsur-unsur dalam Wayang Golek
Onong Uchjana (2004:138) menjelaskan dalam pertunjukannya wayang golek terdiri dari beberapa unsure yang satu sama lain saling terkait. Unsure-unsur tersebut di antaranya:
1.        Dalang
Dalam pagelaran wayang ada beberapa komponen, yaitu dalang, nayaga, dan pesinden. Dalam hal ini dalang mempunyai wewenang untuk mengatur segala sesuatunya dalam pertunjukan itu. sebagai tokoh sentral ia mengatur pembagian tugas dan mengkordinasikan niyaga dan pesinden untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Keberhasilan suatu pertunjukan wayang sangat ditentukan sang dalang (Kanti Walujo,2000:66)
Salmun (1986:30-32) menjelaskan bahwa pada diri dalang terdapat suatu keharusan dan larangan yang harus diperhatikan, karena hal ini merupakan suatu patokan dari para dalang untuk memainkan wayang agar tidak menyimpang dari ketentuan-ketentuan yang berlaku. Adapun keharusan dalam pedalangan adalah:
a.       Antawacana, artinya dalang harus dapat menirukan logat, bahasa, dialek, bunyi serta gaya dari tiap-tiap wayang. Jadi setiap wayang itu tidak boleh mempunyai suara atau gaya yang sama.
b.      Renggep, artinya dalang itu harus cekatan dan mempunyai wajah yang selalu kelihatan gembira, sehingga ketika mendalang para penonton akan tertarik dan tidak akan membosankan.
c.       Enges (ngahudang rasa), artinya dalang harus dapat menarik hati para penonton. Maksudnya, dalang itu harus dapat mengajak penonton dalam suasana gembira, sedih dan harus sehingga penonton seolah-olah menjadi pelakunya.
d.      Tutug (anggeus), artinya pada waktu menyelesaikan suatu cerita dalam wayang, dalang itu harus dapat menceritakannya sehingga penonton akan merasa puas.
e.       Banyolan, artinya dalang itu harus dapat membuat penonton apabila pada saat melawak dan tidak boleh menyindir seseorang.
f.       Sabet (molahkeunana), artinya dalang harus dapat memainkan wayang sesuai dengan tatacara kehidupan manusia, misalnya duduk, berjalan dan sebagainya.
g.      Kawi-radya (ngakawankeun raja), artinya dalang harus dapat mengetahui kebesaran kekuasaan raja mulai dari nama, pakaian, senjata, kegagahannya dan sebagainya.
h.      Amardi basa (diajar nepi ka tabah), artinya dalang harus mengetahui tentang asal-usul bahasa, halus serta tingkatan bahasa yang dipergunakan.
i.        Parama-sastra, artinya dalang harus memahami kesusastraan yang berhubungan dengan masalah pawayangan, dan ia pun harus mengetahui serta menguasai jalannya cerita yang dimainkan.
j.        Awicarita, artinya dalang harus kaya atau mempunyai perbendaharaan cerita atau lakon dalam wayang.
k.      Amardawa lagu, artinya dalang harus mengerti tentang segala macam lagu atau seni suara.
2.        Juru Kawih
Dalam suatu pagelaran wayang golek, juru kawih (sinden) akan mampu menggerakan hati penonton. Dalam hubungan ini ada dua hal yang penting:
a.       Tekhnik penyajian
b.      Pilihan kata-kata
Salmun (1986:7) mengatakan ada perbedaan juru kawih (sinden) zaman dulu dengan zaman sekarang adalah sebagai berikut:
Pada masa dahulu ketika dalang mulai beraksi dalam pawayangan, semua tugas dalam pertunjukan wayang itu selalu dilakukan oleh dalang sendiri. Jadi dengan kata lain dalang harus bisa melakukan pekerjaan juru sinden. Selain itu juga dalang harus dapat memainkan segala macam peralatan gamelan.
Sedangkan zaman sekarang, jurukawih dan dalang harus dapat bekerja sama memeriahkan atau meramaikan pertunjukan wayang sehingga para penonton akan merasa puas setelah menyaksikan wayang. Selain itu seluruh para penabuh gamelan pun turut berusaha mengiringi jurukawih dalam menampilkan lagu-lagu atau mengiringi dalang dalam memainkan wayangnya.
3.        Wiraswara
Wiraswara atau Alok merupakan pendukung penting terhadap dalang dan jurukawih. Dalam dialog dengan dalang ia harus mampu memberikan tanggapan yang menghidupkan percakapan. Lebih-lebih dalam dialog antara dalang dengan wiraswara, pihak wiraswara harus benar-benar responsive, dalam arti kata ia harus memberikan tanggapan dan jawaban yang menghidupkan.
D.   Wayang Golek Sebagai Media Tabligh
Sebelum membahas wayang golek sebagai media tabligh, di sini akan digambarkan dulu wayang secara umum yang dijadikan sebagai media tabligh. Sejarah perkembangan Islam di Indonesia tak bisa dilepaskan dari peran Walisongo sebagai ulama penyebar ajaran Islam. Yang cukup menarik untuk disimak adalah bagaimana cara ulama yang sembilan itu mengajarkan Islam. Masyarakat semasa itu sebagian besar memeluk Hindu. Walisongo tak langsung menentang kebiasaan-kebiasaan yang sejak lama menjadi keyakinan masyarakat.
Salah satunya adalah wayang. Sebelum Islam masuk ke tanah Nusantara–khususnya di Jawa-wayang telah menemukan bentuknya. Bentuk wayang pada awalnya menyerupai relif yang bisa kita jumpai di candi-candi seperti di Prambanan maupun Borobudur. Pagelaran wayang sangat digemari masyarakat. Setiap pementasannya selalu dipenuhi penonton.
Para wali melihat wayang bisa menjadi media penyebaran Islam yang sangat bagus. Namun timbul perdebatan di antara para wali mengenai bentuk wayang yang menyerupai manusia. Setelah berembuk, akhirnya mereka menemukan kesepakatan untuk menggunakan wayang sebagai media tabligh tetapi bentuknya harus diubah.
Bentuk baru pun tercipta. Wayang dibuat dari kulit kerbau dengan wajah yang digambarkan miring, leher yang panjang, serta tangan yang dibuat memanjang sampai ke kaki. Bentuk bagian-bagian wajah juga dibuat berbeda dengan wajah manusia.
Tak hanya bentuknya, ada banyak sisipan-sisipan dalam cerita dan pemaknaan wayang yang berisi ajaran-ajaran dan pesan moral Islam. Dalam lakon Bima Suci misalnya, Bima sebagai tokoh sentralnya diceritakan menyakini adanya Tuhan Yang Maha Esa. Tuhan Yang Esa itulah yang menciptakan dunia dan segala isinya. Tak berhenti di situ, dengan keyakinannya itu Bima mengajarkannya kepada saudaranya, Janaka. Lakon ini juga berisi ajaranajaran tentang menuntut ilmu, bersikap sabar, berlaku adil, dan bertatakrama dengan sesama manusia.
Cara tabligh yang diterapkan oleh para wali tersebut terbukti efektif. Masyarakat menerima ajaran Islam tanpa ada pertentangan maupun penolakan. Ajaran Islam tersebar hampir di seluruh tanah Jawa. Penganut Islam semakin hari semakin bertambah, termasuk para penguasa-penguasanya.
Wayang pun kian sering dipentaskan. Tak hanya pada upacara-upacara resmi kerajaan, masyarakat secara umum pun sering menggelarnya. Karena banyak ajaran moral dan kebaikan dalam setiap lakonnya, wayang tak hanya dianggap sebagai tontonan saja, tetapi juga tuntunan.
Sepertihalnya wayang golek, tidak lepas dijadikan sebagai media tabligh oleh para dalang di Jawa Barat. Wayang golek adalah salah satu media sekunder dalam proses tabligh, artinya wayang golek sebagai media kedua dalam penyampaian pesan-pesan tabligh.
Pementesan seni wayang golek sebagai media tabligh dibolehkan oleh Islam selagi hal itu tidak bertentangan dengan syara. Bagaimana pun, seni wayang golek merupakan salah satu media tabligh yang efektif, yang di dalamnya terdapat pesan-pesan moral yang salahsatunya disampaikan oleh dalang. Sebut saja Dalang H. Asep Sunandar Sunarya, dalam setiap lakon wayang golek yang ia pentaskan, dari ucapan berbagai tokoh selalu saja diselipkan pesan-pesan tabligh yang menyentuh berbagai aspek kehidupan. Dan adapun sebagian besar pesan tablighnya ia terapkan pada sosok Semar Badranaya.


Komentar

Postingan Populer