A. Pengertian Wayang Golek
Sebelum membatasi pada pengertian wayang golek secara khusus, maka perlu
dijelaskan terlebih dahulu istilah wayang itu sendiri. Wayang merupakan salah
satu puncak seni budaya bangsa Indonesia yang paling menonjol di antara banyak
karya budaya lainnya. Budaya wayang sendiri meliputi seni peran, seni suara,
seni musik, seni tutur, seni sasra, seni lukis, seni pahat dan juga seni
perlambang.
Menurut penelitian ahli sejarah, sebetulnya budaya wayang merupakan
budaya asli Indonesia yang sudah ada jauh sebelum agama Hindu masuk ke pulau
Jawa. Memang, cerita wayang yang populer saat ini merupakan adaptasi cerita
dari karya sasra India, yaitu Ramayana dan Mahabrata. Tetapi sudah mengalami
adaptasi untuk menyesuaikan dengan falsafah asli Indonesia (Dwihimura,2009)
Pengertian wayang sangat tergantung dari sudut pandang orang yang
melihatnya. Kata wayang dapat diartikan secara luas, tetapi seringkali dibatasi
dengan makna boneka, gambar, tiruan dari manusia, tokoh/pemain dalam suatu
pertunjukan/sandiwara. Arti ini mirip dengan yang ada dalam Kamus Umum Bahasa
Sunda, yaitu wayang adalah boneka atau penjelmaan dari manusia yang terbuat
dari kulit atau pun kayu. Namun ada juga yang mengartikan bahwa perkataan
wayang berasal dari bahasa Jawa, yang artinya perwajahan yang mengandung
penerangan.
Mengenai asal-usul wayang khusus di Indonesia juga ada beberapa pendapat.
Ada yang mengatakan bahwa wayang berasal dari kebudayaan India yang sangat
dipengaruhi oleh budaya Hindu. Pendapat lain mengatakan bahwa wayang merupakan
hasil kebudayaan asli masyarakat Jawa tanpa ada pengaruh budaya lain.
Disebutkan pula oleh beberapa sumber bahwa wayang berasal dari relief candi
karena candi memuat cerita wayang, seperti candi Prambanan.
Bukti keberadaan wayang dalam perjalanan sejarah di Indonesia tercatat
dalam berbagai prasasti, seperti prasasti Tembaga (840 M), prasasti Ugrasena
(896 M), dan prasasti Belitung (907 M) (Dwihimura,2009).
Kesenian wayang dalam bentuknya yang asli timbul sebelum kebudayaan Hindu
masuk di Indonesia dan mulai berkembang pada jaman Hindu Jawa.
Pertunjukan Kesenian wayang sendiri adalah sisa-sisa upacara keagamaan
orang Jawa yaitu sisa-sisa dari kepercayaan animisme dan dinamisme. Meski ada
perbedaan pendapat mengenai asal-usul wayang, tidak dapat dipungkiri bahwa
keberadaan wayang di Indonesia sudah melalui perjalanan waktu yang sangat
panjang dan hingga kini masih hidup di tengah masyarakat.
Kata
wayang golek terdiri dari dua kata, yaitu wayang dan golek. Karena itu tentu
masing-masing kata tersebut mempunyai arti tersendiri, walaupun apabila kedua
pengertian dari masing-masing kata tersebut disatukan akan menjadi satu
pengertian. Untuk itu dalam pengertian wayang golek ini akan diuraikan melalui
masing-masing kata.
Mulyono
(1982 : 11) membuat batasan wayang berdasarkan pengertian dari bahasa Jawa.
Wayang berarti bayangan, wayang berasal dari wa-yang, yang artinya tidak
stabil, tidak tenang, terbang, bergerak kian kemari. Awalan wa- berfungsi
sebagai pembentuk kata benda. Dalam bahasa modern awalan wa- ini tidak
mempunyai fungsi. Wayang berarti bergerak kian kemari, tidak tetap, sayup-sayup
(bagai substansi bayang-bayang). Sopandi mengatakan wayang berasal dari kata Wa
dan Hyang, wa artinya wadah dan hyang artinya roh, jadi wayang berarti tempat
para mahluk halus; malah menurutnya ada juga yang memberikan batasan bahwa
wayang ialah berasal dari kata bayang atau bayang-bayang sehingga pada
akhirnya, ia beranggapan bahwa wayang disini dapat diartikan sebagai bayangan
roh.
Selanjutnya
ialah kata wayang golek. Berdasarkan Kamus Umum Bahasa Sunda yang diterbitkan
LBSS, golek berasal dari Bahasa Jawa yang artinya boneka. Dalam kata wayang
golek, golek tersebut artinya wayang berupa boneka yang terbuat dari kayu
(Kamus LBSS, 1981 : 151). Dengan demikian golek dapat diartikan sebuah boneka
yang terbuat dari kayu.
Claire Holt (2000:162) mengartikan wayang golek adalah sejenis wayang
yang dipertunjukan dengan boneka-boneka dari kayu, tiga dimensi, dan diberi
busana. Busana boneka golek yang penuh warna termasuk tiruan dari busana istana
jawa. Beberapa tokoh pria dibusanai dengan baju lengan panjang bersulam emas
abad ke-18 atau ke-19 yang merupakan inspirasi dari eroupa yang dikombinasikan
dengan topi serta serban, dan ada beberapa yang memakai gaya Arab. Akan tetapi
semua bonek menganakan kain batik jawa panjang untuk menyembunyikan tangan
dalang yang memegang boneka pada pegangan kayu yang di tengah.
Sedangkan
Wayang golek menurut Clara (1987 : 4) ialah pertunjukan wayang yang menggunakan
boneka kayu tiga matra yang berbusana tanpa menggunakan kelir. Apabila kedua
pengertian tadi disatukan maka dapat disimpulkan bahwa wayang golek berarti
bayangan roh yang dapat bergerak dengan dinamis yang digambarkan dengan boneka
yang terbuat dari kayu.
B. Asal-usul dan Sejarah
Wayang Golek
Asal
mula wayang golek tidak diketahui secara jelas karena tidak ada keterangan
lengkap, baik tertulis maupun lisan. Kehadiran wayang golek tidak dapat
dipisahkan dari wayang kulit, karena wayang golek merupakan modernisasi dari
wayang kulit. Namun demikian, Salmun (1961:10) mengatakan bahwa Perkembangan
wayang golek berasal atau dipengaruhi oleh latar belakang budaya yang berbeda.
Walaupun demikian, wayang golek merupakan karya sastra lisan yang berkembang di
Jawa Barat dan digemari oleh masyarakatnya. Perkembangan wayang golek yang
terus dialami sampai sekarang selalu menyesuaikan dengan perkembangan jaman.
Perkembangan wayang golek menurut Salmun dimulai oleh perkembangan wayang kulit
pada jaman Erlangga berkuasa pada tahun 1050 M. Ketika itu, hanya berupa gambar
manusia yang dilukis pada kulit dan penampilannya pun hanya diceritakan seperti
dongeng.
Pada
tahun 1583, Sunan Kudus membuat wayang golek, maksudnya dapat ditonton pada
siang hari berkembang di Jawa Barat. Daerah yang pertama dimasuki adalah
Cirebon, bahasa yang digunakanya pun masih Bahasa Jawa. Tema yang selalu
ditampilkan adalah mengenai kisah-kisah Wong Agung Menak yang mempunyai
nama-nama seperti Amir, Amir Mukminin, Jayadimuri, Jayangjurit, Jayenglaga,
Jayengsatru, dll. Wayang tersebut dikenal dengan wayang cepak. Pada tahun
1808-1811 setelah ada jalan pos yang dibangun Daendels, wayang golek mulai
masuk ke Priangan (Sopandi, 1984 : 70). Bahasa yang dipakai sudah bahasa Sunda,
sehingga pada waktu itu mulai banyak dalang dan masyarakat yang menggemari
wayang golek.
Kelahiran golek berasal dari ide Dalem Bupati Bandung (Karang Anyar) yang
menugaskan Ki Darman, juru wayang kulit asal Tegal yang tinggal di Cibiru,
untuk membuat bentuk golek purwa. Awalnya wayang kayu ini masih dipengaruhi
bentuk wayang kulit, yaitu gepeng atau dwimatra. Pada perkembangan selanjutnya,
tercipta bentuk golek yang semakin membulat atau trimatra seperti yang biasa
kita lihat sekarang. Kemudian, pembuatan golek pun menyebar ke seluruh wilayah
Jawa Barat seperti Garut, Ciamis, Ciparay, Bogor, Kerawang, Indramayu, Cirebon,
Majalaya, dan sebagainya.
Setelah
Perang Dunia II di Jawa Barat ada wayang modern yang diciptakan oleh dalang R.U
Partasuwanda. Perkembangannya dimulai pada jaman Jepang ketika itu orang sangat
sulit untuk menyaksikan pertunjukan wayang golek karena pemerintah Jepang
membuat larangan agar tidak ada pesta yang melewati pukul 24.00 sedangkan
pertunjukan wayang golek memerlukan waktu yang cukup panjang. Banyak masyarakat
yang mengajukan permintaan pada pemerintah Jepang agar wayang golek disiarkan
melalui radio Jepang menerima permintaan tersebut. Dalang pertama yang
menyanggupi mengisi acara tersebut adalah R.U. Partasuanda, tetapi waktu
pertunjukannya pun hanya 3 jam. Dalam keadaan seperti itu, R.U. Partasuanda
mencoba membuat wayang golek yang bisa dipentaskan selama 3 jam. Dengan
diilhami oleh pertunjukan sandiwara, ia menciptakan wayang model baru yang
kemudian dikenal dengan wayang modern dari dalang generasi R.U Partasuanda
sampai pada tahun 1980-an wayang golek mengalami perkembangan yang sangat pesat
terutama pada tahun1980-an setelah hadirnya Dalang Ade kosasih Sunarya (Alm)
dan Dalang H. Asep Sunandar Sunarya. Wayang golek mulai mendapat tempat di
masyarakat, hal ini dikarenakan kreatifitas mereka untuk bisa menarik masa.
Eksistensi kedua dalang tersebut sampai saat ini masih mempengaruhi
perkembangan wayang golek di Jawa Barat karena keduanya selalu beradaptasi
terhadap apresiasi masyarakat (Sopandi, 1984:23-24).
Lebih
lanjut mengenai asal-usul wayang golek, pada mulanya yang
dilakonkan dalam wayang golek adalah ceritera panji dan wayangnya disebut
wayang golek menak. Konon, wayang golek ini baru ada sejak masa Panembahan Ratu
(cicit Sunan Gunung Jati (1540-1650)). Di sana (di daerah Cirebon) disebut
sebagai wayang golek papak atau wayang cepak karena bentuk kepalanya datar.
Pada zaman Pangeran Girilaya (1650-1662) wayang cepak dilengkapi dengan cerita
yang diambil dari babad dan sejarah tanah Jawa. Lakon-lakon yang dibawakan
waktu itu berkisar pada penyebaran agama Islam. Selanjutnya, wayang golek
dengan lakon Ramayana dan Mahabarata (wayang golek purwa) yang lahir pada 1840
(Somantri, 1988).
Kelahiran wayang golek diprakarsai oleh Dalem Karang Anyar (Wiranata Koesoemah
III) pada masa akhir jabatannya. Waktu itu Dalem memerintahkan Ki Darman
(penyungging wayang kulit asal Tegal) yang tinggal di Cibiru, Ujung Berung,
untuk membuat wayang dari kayu. Bentuk wayang yang dibuatnya semula berbentuk
gepeng dan berpola pada wayang kulit. Namun, pada perkembangan selanjutnya,
atas anjuran Dalem, Ki Darman membuat wayang golek yang membulat tidak jauh
berbeda dengan wayang golek sekarang. Di daerah Priangan sendiri dikenal pada
awal abad ke-19. Perkenalan masyarakat Sunda dengan wayang golek dimungkinkan
sejak dibukanya jalan raya Daendels yang menghubungkan daerah pantai dengan
Priangan yang bergunung-gunung. Semula wayang golek di Priangan menggunakan
bahasa Jawa. Namun, setelah orang Sunda pandai mendalang, maka bahasa yang
digunakan adalah bahasa Sunda.
C. Unsur-unsur dalam Wayang
Golek
Onong Uchjana (2004:138) menjelaskan dalam pertunjukannya wayang golek
terdiri dari beberapa unsure yang satu sama lain saling terkait. Unsure-unsur
tersebut di antaranya:
1.
Dalang
Dalam pagelaran wayang ada beberapa komponen, yaitu dalang, nayaga, dan
pesinden. Dalam hal ini dalang mempunyai wewenang untuk mengatur segala
sesuatunya dalam pertunjukan itu. sebagai tokoh sentral ia mengatur pembagian
tugas dan mengkordinasikan niyaga dan pesinden untuk mencapai tujuan yang telah
ditentukan. Keberhasilan suatu pertunjukan wayang sangat ditentukan sang dalang
(Kanti Walujo,2000:66)
Salmun (1986:30-32) menjelaskan bahwa pada diri dalang terdapat suatu
keharusan dan larangan yang harus diperhatikan, karena hal ini merupakan suatu
patokan dari para dalang untuk memainkan wayang agar tidak menyimpang dari
ketentuan-ketentuan yang berlaku. Adapun keharusan dalam pedalangan adalah:
a. Antawacana,
artinya dalang harus dapat menirukan logat, bahasa, dialek, bunyi serta
gaya dari tiap-tiap wayang. Jadi setiap wayang itu tidak boleh mempunyai suara
atau gaya yang sama.
b. Renggep,
artinya dalang itu harus cekatan dan mempunyai wajah yang selalu kelihatan
gembira, sehingga ketika mendalang para penonton akan tertarik dan tidak akan
membosankan.
c. Enges
(ngahudang rasa), artinya dalang harus dapat menarik hati para penonton.
Maksudnya, dalang itu harus dapat mengajak penonton dalam suasana gembira,
sedih dan harus sehingga penonton seolah-olah menjadi pelakunya.
d. Tutug
(anggeus), artinya pada waktu menyelesaikan suatu cerita dalam wayang,
dalang itu harus dapat menceritakannya sehingga penonton akan merasa puas.
e. Banyolan,
artinya dalang itu harus dapat membuat penonton apabila pada saat melawak
dan tidak boleh menyindir seseorang.
f. Sabet
(molahkeunana), artinya dalang harus dapat memainkan wayang sesuai dengan
tatacara kehidupan manusia, misalnya duduk, berjalan dan sebagainya.
g. Kawi-radya
(ngakawankeun raja), artinya dalang harus dapat mengetahui kebesaran
kekuasaan raja mulai dari nama, pakaian, senjata, kegagahannya dan sebagainya.
h. Amardi
basa (diajar nepi ka tabah), artinya dalang harus mengetahui tentang
asal-usul bahasa, halus serta tingkatan bahasa yang dipergunakan.
i.
Parama-sastra, artinya dalang harus memahami kesusastraan
yang berhubungan dengan masalah pawayangan, dan ia pun harus mengetahui serta
menguasai jalannya cerita yang dimainkan.
j.
Awicarita, artinya dalang harus kaya atau
mempunyai perbendaharaan cerita atau lakon dalam wayang.
k. Amardawa
lagu, artinya dalang harus mengerti tentang segala macam lagu atau seni
suara.
2.
Juru Kawih
Dalam suatu pagelaran wayang golek, juru kawih (sinden) akan mampu
menggerakan hati penonton. Dalam hubungan ini ada dua hal yang penting:
a. Tekhnik
penyajian
b. Pilihan
kata-kata
Salmun (1986:7) mengatakan ada perbedaan juru kawih (sinden) zaman dulu
dengan zaman sekarang adalah sebagai berikut:
Pada masa dahulu ketika dalang mulai beraksi dalam pawayangan, semua
tugas dalam pertunjukan wayang itu selalu dilakukan oleh dalang sendiri. Jadi
dengan kata lain dalang harus bisa melakukan pekerjaan juru sinden. Selain itu
juga dalang harus dapat memainkan segala macam peralatan gamelan.
Sedangkan zaman sekarang, jurukawih dan dalang harus dapat bekerja sama
memeriahkan atau meramaikan pertunjukan wayang sehingga para penonton akan
merasa puas setelah menyaksikan wayang. Selain itu seluruh para penabuh gamelan
pun turut berusaha mengiringi jurukawih dalam menampilkan lagu-lagu atau
mengiringi dalang dalam memainkan wayangnya.
3.
Wiraswara
Wiraswara atau Alok merupakan pendukung penting terhadap dalang dan
jurukawih. Dalam dialog dengan dalang ia harus mampu memberikan tanggapan yang
menghidupkan percakapan. Lebih-lebih dalam dialog antara dalang dengan
wiraswara, pihak wiraswara harus benar-benar responsive, dalam arti kata ia
harus memberikan tanggapan dan jawaban yang menghidupkan.
D. Wayang Golek Sebagai Media
Tabligh
Sebelum membahas wayang golek sebagai media tabligh, di sini akan
digambarkan dulu wayang secara umum yang dijadikan sebagai media tabligh.
Sejarah perkembangan Islam di Indonesia tak bisa dilepaskan dari peran
Walisongo sebagai ulama penyebar ajaran Islam. Yang cukup menarik untuk disimak
adalah bagaimana cara ulama yang sembilan itu mengajarkan Islam. Masyarakat
semasa itu sebagian besar memeluk Hindu. Walisongo tak langsung menentang
kebiasaan-kebiasaan yang sejak lama menjadi keyakinan masyarakat.
Salah satunya adalah wayang.
Sebelum Islam masuk ke tanah Nusantara–khususnya di Jawa-wayang telah menemukan
bentuknya. Bentuk wayang pada awalnya menyerupai relif yang bisa kita jumpai di
candi-candi seperti di Prambanan maupun Borobudur. Pagelaran wayang sangat
digemari masyarakat. Setiap pementasannya selalu dipenuhi penonton.
Para wali melihat wayang bisa
menjadi media penyebaran Islam yang sangat bagus. Namun timbul perdebatan di
antara para wali mengenai bentuk wayang yang menyerupai manusia. Setelah
berembuk, akhirnya mereka menemukan kesepakatan untuk menggunakan wayang
sebagai media tabligh tetapi bentuknya harus diubah.
Bentuk baru pun tercipta.
Wayang dibuat dari kulit kerbau dengan wajah yang digambarkan miring, leher
yang panjang, serta tangan yang dibuat memanjang sampai ke kaki. Bentuk
bagian-bagian wajah juga dibuat berbeda dengan wajah manusia.
Tak hanya bentuknya, ada banyak
sisipan-sisipan dalam cerita dan pemaknaan wayang yang berisi ajaran-ajaran dan
pesan moral Islam. Dalam lakon Bima Suci misalnya, Bima sebagai tokoh
sentralnya diceritakan menyakini adanya Tuhan Yang Maha Esa. Tuhan Yang Esa
itulah yang menciptakan dunia dan segala isinya. Tak berhenti di situ, dengan
keyakinannya itu Bima mengajarkannya kepada saudaranya, Janaka. Lakon ini juga
berisi ajaranajaran tentang menuntut ilmu, bersikap sabar, berlaku adil, dan
bertatakrama dengan sesama manusia.
Cara tabligh yang diterapkan
oleh para wali tersebut terbukti efektif. Masyarakat menerima ajaran Islam
tanpa ada pertentangan maupun penolakan. Ajaran Islam tersebar hampir di
seluruh tanah Jawa. Penganut Islam semakin hari semakin bertambah, termasuk
para penguasa-penguasanya.
Wayang pun kian sering dipentaskan. Tak hanya pada upacara-upacara resmi
kerajaan, masyarakat secara umum pun sering menggelarnya. Karena banyak ajaran
moral dan kebaikan dalam setiap lakonnya, wayang tak hanya dianggap sebagai
tontonan saja, tetapi juga tuntunan.
Sepertihalnya wayang golek, tidak lepas dijadikan sebagai media tabligh
oleh para dalang di Jawa Barat. Wayang golek adalah salah satu media sekunder
dalam proses tabligh, artinya wayang golek sebagai media kedua dalam
penyampaian pesan-pesan tabligh.
Pementesan seni wayang golek sebagai media tabligh dibolehkan oleh Islam
selagi hal itu tidak bertentangan dengan syara. Bagaimana pun, seni wayang
golek merupakan salah satu media tabligh yang efektif, yang di dalamnya
terdapat pesan-pesan moral yang salahsatunya disampaikan oleh dalang. Sebut
saja Dalang H. Asep Sunandar Sunarya, dalam setiap lakon wayang golek yang ia
pentaskan, dari ucapan berbagai tokoh selalu saja diselipkan pesan-pesan
tabligh yang menyentuh berbagai aspek kehidupan. Dan adapun sebagian besar
pesan tablighnya ia terapkan pada sosok Semar Badranaya.
Komentar