Langsung ke konten utama

Unggulan

skenario sidang mediasi

Penetapan Penunjukan Mediator : PENETAPAN Nomor : 001/Pdt.G/2015/PS.SNC. Ketua Majelis Pengadilan Semu Syekh Nurjati Cirebon ; Membaca surat gugatan tertanggal 18 Maret 2015 Nomor : 001/Pdt.G/2015/PS.SNC. dalam perkara antara : ROSINAH BINTI VALENTINO ROSSID , sebagai Penggugat ; Melawan : NAHRUL BIN HAYAT , sebagai Tergugat ; Membaca, Penetapan Ketua Pengadilan Semu Syekh Nurjati Cirebon tertanggal 18 Maret 2015 Nomor : 001/Pdt.G/2015/PS.SNC. tentang Penunjukan Majelis Hakim; Membaca, Penetapan Ketua Majelis Hakim Pengadilan Semu Syekh Nurjati Cirebon tertanggal 18 Maret 2015 Nomor : 001/Pdt.G/2015/PS.SNC. tentang Penetapan Hari Sidang ; Menimbang, bahwa pada hari sidang yang telah ditentukan Penggugat dan Tergugat hadir di persidangan ; Menimbang, bahwa dalam usaha mendamaikan para pihak sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 130 HIR/154 RBg dan Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, Ketua Majlis Hakim menerang...

Etika Profesi Hakim di Indonesia



BAB 1
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Seorang hakim yang notabene berstatus sebagai profesi hukum, harus memiliki dasar-dasar atau pedoman dalam melaksanakan kewajibannya. Banyak peraturan-peraturan yang mengatur tentang Kehakiman. Namun aturan saja belum cukup dalam mencapai suatu keadilan, diperlukan adanya kode etik dan etika dalam melaksanakan kewajibannya.
Dalam makalah ini akan dibahas mengenai Etika Profesi Hakim, yang didalamnya akan dibahas juga pengertian etika, profesi dan profesi hakim di Indonesia.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah ni sebagai berikut:
1.      Apa yang Dimaksud dengan Etika?
2.      Apa yang Dimaksud dengan Profesi Hakim?
3.      Bagaimana Profesi hakim di Indonesia?













BAB II
PEMBAHASAN


A.    Pengertian etika
Kata etika memiliki banyak pengertian. Secara etimoligis, etika berasal dari bahasa Yunani kuno ethos (bentuk tunggal) yang berarti adat; akhlak; watak; perasaan; sikap; cara berfikir. Sedang dalam bentuk jamak, ta-etha, berarti adat kebiasaan, atau akhlak yang baik.[1]Jadi secara etimologis etika dapat diartikan sebagai ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan atau ilmu yang menentukan bagaimana patutnya manusia hidup dalam masyarakat terhadap apa yang baik dan apa yang buruk. Sehingga hal ini menjadi pemikiran dan pendirian  mereka mengenai apa yang baik dan tidak baik, patut dan tidak patut untuk dilakukan.[2]
Kata yang cukup dekat dengan kata etika adalah moral. Bahkan pada umumnya kata etika diidentikan dengan moral (moralitas). Kata etika berasal dari bahasa latin mos (jamak: mores)dan kata sifat : "Moralis" yang berarti kebiasaan, adat. Jadi secara etimologis, kata โ€œetikaโ€ identik dengan kata โ€œmoralโ€ karena keduanya berasal dari kata yang  berarti adat kebiasaan, kelakuan , kesusilaan.[3]
Pada dasarnya secara konseptual paradigmatik, kedua istilah ini mempunyai sentralitas pengertian dan obyek yang sama, yaitu sama-sama membicarakan totalitas tingkah laku manusia dari sudut pandang nilai-nilai yang baik dan buruk. Akan tetapi pada dataran realitas penggunaannya kedua istilah tersebut memiliki sedikit perbedaan dalam nuansa aplikatifnya. Moral atau moralitas dipakai sebagai tolok ukur menilai suatu perbuatan yang sedang dilakukan oleh seseorang. Sementara etika digunakan sebagai kerangka pemikiran untuk mengkaji sistem-sistem nilai atau kode.[4]Jadi etika merupakan filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. Etika dan ajaran-ajaran moral tidak berada pada tingkat yang sama. Yang menyatakan bagaimana kita harus hidup, bukan etika melainkan ajaran moral. Etika mau mengerti mengapa kita harus mengikuti ajaran moral tertentu, atau bagaimana kita dapat mengambil sikap yang bertanggung jawab berhadapan dengan berbagai ajaran moral.[5]Dan dari perbuatan yang dilakukan itu merupakan moralitas. Karena moralitas adalah kualitas di dalam perbuatan itu benar atau salah, baik atau jahat.[6]
Dengan demikian kata etika setidak-tidaknya mengandung tiga arti:
ร˜  Pertama, nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Etika dalam arti ini bisa dirumuskan juga sebagai โ€œsistem nilaiโ€ yang berfungsi dalam hidup manusia perorangan maupun pada taraf sosial.
ร˜  Kedua, etika berarti juga kumpulan asas atau nilai moral. Yang dimaksud di sini adalah kode etik.
ร˜  Ketiga, etika mempunyai arti sebagai ilmu tentang yang baik atau buruk.
Sedangkan pengertian profesi sendiri adalah berasal dari kata profession yang mengandung arti pernyataan, kesanggupan, atau sumpah yang dibuat karena memasuki suatu kepercayaan agama, dalam hal ini suatu profesi. 
Dengan demikian sebuah profesi memiliki prinsip-prinsip etika yaitu; pertama, prinsip tanggung jawab artinya para profesional harus bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pekerjaan itu dan dampak yang ditimbulkannya. Kedua, prinsip keadilan, artinya para profesional harus memberikan kepada siapa saja yang menjadi haknya tanpa memandang status sosialnya. Ketiga, otonomi artinya setiap profesional memiliki dan diberi kebebasan dalam menjalankan profesinya selama masih dalam  koridor kode etik.[7]Karena kode etik merupakan aturan-aturan susila atau sikap akhlak yang ditetapkan bersama dan ditaati bersama oleh para anggota yang tergabung dalam suatu organisasi profesi. Jadi kode etik berupa suatu ikatan, tatanan, kaidah atau norma yang harus diperhatikan yang berisi petunjuk tentang apa yang boleh dan apa yang tidak boleh diperbuat oleh anggota profesi dalam menjalankan profesinya, sebagai pencegahan munculnya tindakan immoral yang pelanggarannya membawa akibat atau konsekuensi tertentu.
Kode etik sebagai hasil kesepakatan anggota, bertujuan agar anggota tidak terjebak kepada pelanggaran norma yang lebih fatal maka ditetapkan sistem sanksi. Dalam dalam organisasi profesi hukum yang solid, keberadaan kode etik profesi merupakan norma moral yang implikasinya mendekati efektifitas norma hukum.[8]Sehingga organisasi dapat memberikan sanksi, dan sanksi tersebut hanya sanksi organisasi atau dengan sanksi administrasi melalui pihak yang berwenang terhadap anggota profesi yang tidak mematuhi kode etik antara lain berupa pencabutan dari keanggotaannya.
Sehingga kode etik sendiri adalah hasil usaha pengarahan kesadaran moral para anggota profesi tentang persoalan-persoalan khusus yang dihadapinya dan dapat ditentukan aspek-aspek moral yang terkandung di dalam  suatu profesi yang memiliki nilai tinggi sebagai tujuan dari profesi tersebut. Ciri-ciri tersebut tentang bagaimana profesional etis yang dapat mengcover perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tanpa meninggalkan aspek sosial budaya bangsanya, ini sekaligus memberikan pengertian bahwa kode etik profesi merupakan bagian dari etika masyarakat. Oleh kerena itu kode etik profesi tidak boleh bertentangan dengan etika masyarakat.
Kedudukan seorang profesional dalam suatu profesi, pada hakikatnya merupakan suatu kedudukan yang terhormat, karena setiap profesi terlihat kewajiban agar ilmu yang dimiliki dijalankan dengan ketulusan hati dan iโ€™tikad baik bagi kehidupan masyarakat luas.
B.     Rincian Kode Etik Profesi Hakim Indonesia
Uraian mengenai kode etik hakim meliputi: Ketentuan umum, pedoman tingkah laku, komisi kehormatan profesi hakim, dan penutup. Adapun deskripsi lebih terperinci dari bagian kode etik profesi hakim tersebut adalah sebagai berikut:
Bab I ketentuan umum pasal 1 berisi ketentuan umum. Pada bagian ini menguraikan maksud dari istilah kode etik, pedoman tingkah laku, komisi kehormatan profesi hakim, azas peradilan yang merupakan ketentuan yang ada, dan juga maksud dari dibentuknya kode etik profesi hakim. Pertama, sebagai alat pembinaan dan pembentukan karakter dan pengawasan tingkah laku hakim. Kedua, sebagai sarana control sosial, pencegah campur tangan ekstra judicial serta pencegah timbulnya konplik antar sesama anggota juga terhadap masyarakat. Ketiga sebagai jaminan peningkatan moralitas dan kemandirian  hakim, keempat menumbuhkan kepercayaan masyarakat pada lembaga peradilan.[9]
Bab II mengatur tentang pedoman tingkah laku (Code of Conduct) hakim yang merupakan penjabaran dari kode etik profesi hakim yang menjadi pedoman bagi hakim Indonesia, yang tercermin dalam lambang hakim yang dikenal dengan "Panca Dharma Hakim". Pasal ini menjelaskan bagaimana kepribadian yang harus di miliki seorang hakim. Kartika artinya Hakim Indonesia adalah memiliki sifat percaya dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Cakra, yaitu mampu memusnahkan segala kebatilan, kezaliman dan ketidakadilan. Candra, yaitu memiliki sifat bijaksana dan berwibawa. Sari, yaitu bersifat jujur.[10]Dan juga dijelaskan bagaimana sikap hakim dalam persidangan yang telah tercantum dalam tata aturan hukum acara yang berlaku, sikap terhadap sesama rekan, terhadap bawahan atau pegawai, terhadap masyarakat, terhadap keluarga atau rumah tangga. Serta kewajiban dan larangan bagi hakim tersebut.
Bab III mengatur tentang komisi kehormatan profesi hakim sebagai lembaga yang di bentuk dari tingkat pusat sampai daerah.[11]Lembaga ini bertugas memberikan pembinaan, meneliti dan memeriksa atas pelanggaran yang dilakukan.[12]Kemudian diberikan sanksi baik dari tahap teguran sampai  pemberhentian sebagai anggota IKAHI.[13]Komisi kehormatan profesi hakim tersebut dalam memproses pelanggaran melalui mekanisme hukum acara dari mulai pemanggilan, pemeriksaan, pembelaan dan putusan dengan tata cara pengambilan putusan dalam majelis hakim.
Bab IV penutup berisi tentang berlakunya kode etik profesi hakim. Dalam bab terakhir ini disebutkan bahwa kode etik profesi hakim berlaku sejak disyahkan oleh musyawarah nasional (MUNAS) ke XIII tanggal 30 Maret 2000.
Dari sistematika kode etik profesi hakim tersebut, maka yang menjadi bahasan dalam penyusunan penelitian ini adalah ketentuan-ketentuan mengenai hukum materiilnya yaitu dari Bab II.
Adapun uraian mengenai Kode Etik Profesi hakim meliputi sifat-sifat hakim, sikap hakim dalam persidangan, terhadap sesama rekan, terhadap bawahan, terhadap masyarakat, terhadap keluarga atau rumah tangga serta kewajiban dan larangan profesi hakim.
Sifat hakim tercermin dalam lambang Hakim yang dikenal dengan "Panca Dharma Hakim" :
1.      Kartika, yaitu memiliki sifat percaya dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
2.      Cakra, yaitu sifat mampu memusnahkan segala kebathilan, kezaliman dan ketidakadilan.
3.      Candra, yaitu memiliki sifat bijaksana dan berwibawa.
4.      Sari, yaitu berbudi luhur dan berkelakuan tidak tercela.
5.      Tirta yaitu sifat jujur.
Adapun Setiap Hakim Indonesia mempunyai pegangan tingkah laku yang harus dipedomaninya:
a.       Dalam persidangan:
1)      Bersikap dan bertindak menurut garis-garis yang ditentukan dalam hukum acara yang berlaku, dengan memperhatikan azas-azas peradilan yang baik, yaitu:
a)      Menjunjung tinggi hak seseorang untuk mendapat putusan (right to a decision) dimana setiap orang berhak untuk mengajukan perkara dan dilarang menolak untuk mengadilinya kecuali ditentukan lain oleh undang-undang serta putusan harus dijatuhkan dalam waktu yang pantas dan tidak terlalu lama.
b)      Semua pihak yang berperkara berhak atas kesempatan dan perlakuan yang sama untuk didengar, diberikan kesempatan untuk membela diri, mengajukan bukti-bukti serta memperoleh imformasi dalam proses pemeriksaan.(a fair hearing).
c)      Putusan dijatuhkan secara obyektif tanpa dicemari oleh kepentingan pribadi atau pihak lain (no bias) dengan menjunjung tinggi prinsip (nemo judex in resua).
d)     Putusan harus memuat alasan-alasan hukum yang jelas dan dapat dimengerti serta bersifat konsisten dengan penalaran hukum yang sistematis (reasones and argumentation of decision), dimana argumentasi tersebut harus diawasi (controlerbaarheid) dan diikuti serta dapat dipertanggungjawabkan (accountability) guna menjamin sifat keterbukaan (transparency) dan kepastian hukum (legal certainity) dalam proses peradilan.
e)      Menjunjung tinggi hak-hak azasi manusia.
2)      Tidak dibenarkan menunjukkan sikap memihak atau bersimpati ataupun antipati kepada pihak-pihak yang berperkara, baik dalam ucapan maupun tingkah laku.
3)      Harus bersifat sopan, tegas dan bijaksana dalam memimpin sidang, baik dalam ucapan maupun dalam perbuatan.
4)      Harus menjaga kewibawaan dan kehidmatan persidangan antara lain serius dalam memeriksa, tidak melecehkan pihak-pihak baik dengan kata-kata maupun perbuatan.
5)      Bersungguh-sunguh mencari kebenaran dan keadilan.

b.      Terhadap Sesama Rekan
1)      Memelihara dan memupuk hubungan kerjasama yang baik antara sesama rekan.
2)      Memiliki rasa setia kawan, tenggang rasa dan saling menghargai antara sesama rekan.
3)      Memiliki kesadaran, kesetiaan, penghargaan terhadap  korps Hakim secara wajar.
4)      Menjaga nama baik dan martabat rekan, baik di dalam maupun di luar kedinasan.

c.       Terhadap Bawahan atauPegawai
1)      Harus mempunyai sifat kepemimpinan.
2)      Membimbing bawahan atau pegawai untuk mempertinggi pengetahuan.
3)      Harus mempunyai sikap sebagai sebagai seorang bapak atau Ibu yang baik.
4)      Memelihara sikap kekeluargaan terhadap bawahan atau pegawai.
5)      Memberi contoh kedisiplinan.

d.      Terhadap Masyarakat.
1)      Menghormati dan menghargai orang lain.
2)      Tidak sombong dan tidak mau menang sendiri
3)      Hidup sederhana.

e.       Terhadap keluarga atau rumah tangga
1)      Menjaga keluarga dari perbuatan-perbuatan tercela, menurut norma-norma hukum kesusilaan.
2)      Menjaga ketentraman dan keutuhan keluarga.
3)      Menyelesaikan kehidupan rumah tangga dengan keadaan dan pandangan masyarakat.
Selain dijelaskan tentang sifat dan sikap hakim juga terdapat ketentuan kewajiban dan larangan profesi hakim
a.       Kewajiban :
1)      Mendengar dan memperlakukan kedua belah pihak berperkara secara berimbang dengan tidak memihak(impartial).
2)      Sopan dalam bertutur dan bertindak.
3)      Memeriksa perkara dengan arif, cermat dan sabar.
4)      Memutus perkara berdasarkan atas hukum dan rasa keadilan.
5)      Menjaga martabat, kedudukan dan kehormatan Hakim.

b.      Larangan :
1)      Melakukan kolusi dengan sipapun yang berkaitan dengan perkara yang akan dan sedang ditangani.
2)      Menerima suatu pemberian atau janji dari pihak-pihak yang berperkara.
3)      Membicarakan suatu perkara yang ditanganinya diluar cara persidangan.
4)      Mengeluarkan pendapat atas suatu kasus yang ditanganinya baik dalam persidangan maupun diluar persidangan mendahului putusan.
5)      Melecehkan sesama hakim, jaksa, penasehat Hukum para pihak berperkara, ataupun pihak lain.
6)      Memberikan komentar terbuka atas putusan hakim lain, kecuali dikeluarkan dalam rangka pengkajian ilmiah.
7)      Menjadi anggota atau salah satu partai Politik dan pekerjaan atau jabatan yang dilarang undang-undang.
8)      Mempergunakan nama jabatan korps untuk kepentingan pribadi ataupun kelompoknya. 
Uraian tersebut di atas merupakan standar minimal dalam pelayanan hukum bagi seorang hakim. Apabila pelayanannya terdapat kesalahan baik yang diperbuat dengan sengaja maupun tidak sengaja atau melebihi batas wewenangnya maka dia dapat dikenakan sanksi baik berupa teguran, skorsing, maupun pemberhentian sebagai anggota Ikatan hakim Indonesia.[14] Adapun proses pemeriksaannya dilakukan secara tertutup yang sebelumnya diberikan kesempatan untuk melakukan pembelaan diri dan kemudian dari hasil pemeriksaan tersebut dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan yang ditandatangani oleh semua anggota komisi kehormatan profesi hakim dan yang diperiksa. Keputusan dari hasil pemeriksaan itu diambil sesuai dengan tata cara pengambilan putusan dalam majlis hakim.
Sebelumnya telah dijelaskan akan pentingnya etika dalam sebuah organisasi profesi, dalam hal ini profesi hakim. Dan akan kita bahas tentang pokok-pokok kode etik profesi hakim. Bagaimanakah pandangan etika terhadap profesi hakim, Apa saja bentuk dan jenis norma etis yang dianut dan wajib dilaksanakan oleh para hakim. Hal inilah yang menjadi permasalahan pada bagian ini. Pembahasan pokok-pokok etika ini dimaksudkan untuk mengetahui bahwa nilai-nilai etika dalam profesi hakim.
Profesi hukum merupakan salah satu profesi yang menuntut pemenuhan nilai moral bagi pengembannya. Nilai moral tersebut akan menjadi landasan bagi tindakannya. Ada 5 (lima) nilai moral yang terkandung dalam profesi hakim yaitu:
1.      Nilai kemandirian atau kemerdekaan.
Di sini terkandung nilai profesi hakim adalah profesi yang mandiri, yang dalam melaksanakan tugasnya, tidak boleh dipengaruhi oleh pihak manapun. Begitu pula Hakim dalam menjalankan tugasnya tidak boleh dipengaruhi oleh pihak manapun. Hakim dalam menjatuhkan putusan berdasarkan keyakinan yang dilandasi dengan kejujuran dan keseksamaan, yang diambil setelah mendengar  dan mempelajari keterangan-keterangan dari semua pihak. Nilai kemandirian atau kemerdekaan ini sangat penting karena tanpa nilai ini, nilai-nilai lain tidak akan bisa ditegakkan.
Hal ini memperjelas bahwa untuk mendukung terlaksananya tugas-tugas profesi hakim maka diperlukannya kemandirian hakim. Namun harus kita pahami bahwa kemandirian ini adalah bukan dengan identik dengan kebebasan yang mengarah kepada pada kesewenang wenangan. Tentu hal ini kembali kepada kemandirian moral dan keberanian moral. Kemandirian moral artinya tidak mudah terpengaruh atau tidak  mudah mengikuti pandangan moral sekitarnya, melainkan membentuk penilaian dan mempunyai pendirian sendiri. Mandiri secara moral berarti tidak dapat dibeli oleh pendapat mayoritas, tidak terpengaruh pertimbangan untung rugi, menyesuaikan diri dengan  nilai kesusilaan dan agama. Sedangkan keberanian moral adalah kesetiaan terhadap suara hati nurani yang menyatakan kesediaan untuk menanggung resiko konflik. Keberanian tersebut antara lain menolak segala bentuk korupsi, kolusi, suap, pungli; menolak segala bentuk penyelesaian melaui jalan belakang yang tidak sah.[15] Hal ini dapat menjadikan seorang hakim menjadi kuat, demikian pula faktor kemandirian moral dan keberanian moral yang kedua-duanya saling mengikat.
2.      Nilai keadilan.
Kewajiban menegakan keadilan tidak hanya dipertanggungjawabkan secara horizontal kepada sesama manusia, tetapi juga secara vertikal kepada Tuhan Yang Maha Esa. Maka pengadilan harus mengadili menurut hukum dan tidak membeda-bedakan orang Yang dicerminkan dalam proses penyelengaraan peradilan yaitu membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan secara sederhana, cepat, dan biaya ringan.[16] Agar keadilan tersebut dapat dijangkau oleh seluruh lapisan masyaarakat, dengan tidak memutar balikan fakta dan tidak membedakan orang dengan tetap memegang asas praduga tak bersalah. Dan nilai ini dapat diperluas sampai kepada hakim wajib menghormati hak seseorang (setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum).[17] Serta memperoleh ganti rugi dan rehabilitasi akibat kekeliruan tentang orang atau hukum yang diterapkan.[18]
3.      Nilai kerja sama dan kewibawaan korp
Nilai kerja sama ini diwujudkan dalam persidangan salah satunya dalam bentuk majlis dengan sekurang-kurangnya berjumlah sebanyak tiga orang hakim untuk memusyawarahkan hasil dari persidangan secara rahasia yang kemudian menjatuhkan putusan, disamping itu perlunya saling memberi bantuan dan adanya kerja sama dengan negara lain yang meminta keterangan, pertimbangan, atau nasehat-nasehat yang berkaitan dengan hukum.
4.      Nilai pertanggungjawaban.
Sikap pertanggungjawaban ini berdimensi vertical dan horizontal. Secara vertical berarti bertanggungjawab kepada Tuhan Yang Maha Esa. Secara horizontal berarti bertanggung jawab kepada sesama manusia, baik kepada lembaga peradilan maupun kepada masyarakat luas.[19] Dan dalam kaitanya dengan putusan pengadilan harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar atas pasal-pasal tertentu dari peraturan yang bersangkutan atau sumberhukum yang tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.[20] Nilai ini penting dalam meletakan tanggung jawab hakim terhadap keputusan yang dibuatnya, sehingga putusan itu memenuhi tujuan hukum berupa keadilan (Gerectigkeit), kepastian hukum (Rechtssicherheit), dan kemamfaatan (Zweckmassigkeit). 
Ada empat norma yang penting dalam penegakan hukum yaitu kemanusiaan, keadilan, kepatutan, dan kejujuran.
a.       Kemanusiaan
Norma kemanusiaan menuntut supaya dalam penegakan hukum, manusia senantiasa diperlakukan sebagai manusia, sebab ia memiliki keluhuran pribadi. Dalam hubungan person dengan kesejahteraan umum, maka diperlukan adanya penjernihan makna tentang individu dan person. Karena pada dasarnya manusia itu mempunyai dua dimensi metafisis, yaitu individualitas dan sosialitas, berbeda dari yang lain namun tidak terpisahkan dari yang lain, satu sama lainnya saling menentukan. Individualitas berakar didalam unsur-unsur yang dalam susunan badan manusia menentukan prilaku temperamen (keadaan rasa dan pikiran) dan menyatakan dirinya dalam bentuk emosi yang bersifat infrarasional, sedangkan dari aspek sosialitasnya manusia pribadi itu senantiasa hidup dalam masyarakat atau persekutuan manusia. Sebagai akibatnya sering menimbulkan kerja sama dan konflik akibat dari adanya saling menilai baik sebagai individu (nilai primer) maupun masyarakat (sekunder).[21]
Dihadapan hukum, manusia harus dimanusiakan artinya dalam penegakan hukum manusia harus dihormati sebagai pribadi dan sekaligus sebagai makhluk sosial.[22] Manusia menurut kodratnya adalah baik,namun kondisi sosial yang kadangkala memaksa manusia berbuat jahat justru untuk mempertahankan kodratnya itu. Sebagai contoh seorang mencuri hak orang lain dalam rangka mempertahankan hidupnya, meskipun sadar bahwa mencuri dilarang oleh hukum positif. menurut pertimbangannya, dari pada mati kelaparan lebih baik bertahan hidup dengan barang curian, dan hidup adalah hak asasi yang wajib dipertahankan. Oleh karena itu, manusia yang diancam sanksi dalam kerangka penegakan hukum positif yang telah dilanggarnya tetap diperlakukana sebagai manusia, yang wajib dihormati hak-hak asasinya.[23] Manusia memang mempunyai kodrat bebas atau merdeka, karena ia memiliki hak-hak individual. Namun dalam pelaksanaanya hak-hak tersebut berbenturan dengan hak-hak orang lain dan tidak boleh membahayakan orang lain. Kebebasan adalah hak milik setiap manusia sejak lahirnya. Tidak ada satupun hukum buatan manusia yang dapat merampas hak tersebut, sebab hak kebebasan itu diperoleh dari hukum alam.[24]
Dalam menjalankan profesinya, para profesional dituntut untuk menjalankan dua keharusan yaitu keharusan untuk menjalankan profesinya secara bertanggung jawab terhadap pekerjaan yang dilakukan dan dampak pekerjaannya kepada orang lain, serta keharusan untuk tidak melanggar hak-hak orang lain, artinya keadilan menuntut kita untuk senantiasa kita berikan kepada yang berhak.
Seorang hakim  dalam dalam bertindak harus memperhatikan sesuai yang ditentukan dalam hukum acara yang berlaku dengan memperhatikan azas-azas peradilan, tidak menunjukan sikap memihak atau antipati kepada pihak yang berperkara dan tidak boleh bersikap diskrimimanatif karena perbedaan agama, kepercayaan, suku, keturunan, jenis kelamin, keyakinan politik dan kedudukan sosialnya. Semua warga negara mempunyai hak yang sama dihadapan hukum.
b.      Keadilan
Menurut Thomas Aquinas, keadilan didefinisikan sebagai kebiasaan di mana orang satu sama lain saling memberikan apa yang menjadi haknya didasarkan atas kehendak yang bersifat ajeg dan kekal. Keadilan sebagai salah satu bentuk kebajikan yang menuntun manusia dalam berhubungan dengan sesamanya. Dalam pengertian ini Segala hal yang bertentangan dengan hak dianggap tidak adil. Dan seseorang disebut adil bila ia mengenali dan mengakui yang lain sebagai yang benar-benar berbeda dari dirinya sendiri.[25] Oleh karena itu seorang hakim disebut adil dalam keputusannya apabila memberi sanksi hukuman pada pelanggar hukum, atau membantu seseorang untuk memperoleh apa yang menjadi haknya, melalui segala keputusan yang dibuatnya.
Ada dua jenis tuntutan keadilan yaitu mentaatinya secara hukum dan secara moral. Secara hukum seorang pejabat telah disumpah untuk menjadi pengayom bagi setiap warga Negara, termasuk bawahannya sendiri, maka secara moral tidak dapat dibenarkan bila lari dari tanggung jawab setelah perbuatannya ternyata merugikan atau mendatangkan penderitaan bagi bawahannya. Keadilan dapat juga dalam bentuk kewajiban yang harus dibayarkan kepada orang lain. Seperti sanksi pidana terhadap pelaku kejahatan berfungsi untuk memulihkan pelanggaran pidana yang telah dilakukannya. Sanksi pidana berfungsi untuk memulihkan keadilan yang telah dirusak oleh pelaku kejahatan.[26]  
Ada tiga bentuk dasar keadilan yaitu:
ร˜  Keadilan tukar secara timbal balik (iustitia commutative), yaitu keadilan yang mengatur hubungan antara individu dengan individu lain sebagai partner.
ร˜  Keadilan pelayanan atau distributive (iustutia distributive), yaitu keadilan yang menertibkan hubungan di antara masyarakat atau negara dengan individu sebagai warga masyarakat atau negara.
ร˜  Keadilan legal atau keadilan umum (iustitia legalis, iustitia generalis), yaitu keadilan yang menertibkan hubungan antara individu terhadap masyarakat atau negara.[27]
Dalam melaksanakan tugasnya hakim dilarang melakukan kolusi dengan siapapun yang berkaitan dengan perkara yang akan dan sedang ditangani  sehingga keputusan yang dibuat benar-benar adil, tidak berpihak. Hakim dalam memutuskan perkara tumbuh dari integritas (kejujuran dan keterbukaan) dan keberanian without fear ar favor tanpa takut dan memberikan keuntungan kepada pihak yang berperkara. Karena apabila terdapat atau terjadi penyelewengan terhadap kode etik sebagai salah satu acuan atau pedoman tingkah laku dalam menjalani profesinya, maka tempat untuk menyelesaikan sengketa tersebut melalui wadah formal yang ada yaitu komisi kehormatan profesi hakim.
c.       Kejujuran
Kejujuran ialah hal yang berhubungan dengan pengertian tentang kebenaran terutama berkaitan dengan bidang hukum dan moral. Kejujuran sendiri merupakan kebajikan yang mengatur semua kehendak yang jujur dan terdapat dalam pergaulan masyarakat, terutama dalam hubungan antar individu. Sehingga Setiap penegak hukum perlu kejujuran dalam menegakkan hukum, dalam melayani pencari hukum dan keadilan, serta diharapkan menjauhi perbuatan-perbuatan yang curang dalam pengurusan perkara. Kejujuran berkaitan erat dengan kebenaran, keadilan, kepatutan yang semuanya itu menyatakan sikap bersih dan ketulusan pribadi seseorang yang sadar akan pengendalian diri terhadap apa yang seharusnya tidak boleh dilakukan. Kejujuran adalah kendali untuk berbuat menurut apa adanya sesuai dengan kebenaran akal (ratio) dan kebenaran hati nurani.
d.      Kepatutan
Kepatutan (equity) merupakan satu term yang tidak dapat dipisahkan dengan term keadilan Kepatutan (equity). Kepatutan dilakukan secara praktis. Biasanya berupa nilai atau penilaian atas berbagai macam kasus tertentu yang bukan merupakan pokok bahasan putusan hakim yang didasarkan atas keberadaan suatu hukum tertentu. Segala bentuk hukum pada dasarnya merupakan generalisasi universal, yang keberlakuannya tidak mengenal perkara, kasus istimewa, barulah menenguk makna "equity" atau apa yang patut atau layak.
Keadilan pada dasarnya merupakan kebajikan yang diwujudkan dalam sikap objektif, apa adanya dan umum. Sikap ini yang mengatur hubungan yang hakiki di dalam masyarakat. Jika keadilan dipahami seperti ini, maka makna keadilan akan sangat abstrak dan kurang mengenai situasi dan keadilan manusia secara individual. Yang diperlukan manusia adalah koreksi dan perhatian khusus bagi dirinya, sesuai dengan kualitas, situasi serta keberadaannya sendiri. Dalam hal ini pula orang memerlukan kepatutan, sebab kepatutan memperhatikan dan memperhitungkan situasi dan keadilan manusia sebagai individual. Jadi kepatutan akan menyingkirkan kekerasan dan kekejaman hukum terutama dalam situasi dan kondisi khusus.[28] Dan kepatutan sendiri menempatkan apa yang patut atau apa yang layak, dalam hukum bukan saja keadilan menurut hukum, melainkan juga adil secara moral.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Kata etika berasal dari bahasa Yunani yaitu ethos yang berarti kebiasaan, adat istiadat, akhlak yang baik.adalah ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral. Dalam agama Islam, etika merupakan bagian dari akhlak, karena akhlak bukanlah sekedar menyangkut perilaku manusia yang bersifat perbuatan yang lahiriah saja, akan tetapi menyangkut akidah, ibadah dan syariat.Dalam perkataan sehari-hari antara etika (moral) dan etiket (sopan santun) memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya sama-sama membahas perilaku manusia, mengatur perilaku manusia secara nonaktif, artinya memberi norma perilaku untuk berbuat atau tidak berbuat.
Profesi secara bahasa memiliki arti suatu pekerjaan yang dilandasi dengan pendidikan keahlian, keterampilan, kejuruan tertentu. Jadi profesi adalah suatu perkerjaan dengan keahlian khusus sebagai mata pencaharian.Propfesi hukum merupakan dari salah satu dari profesi lain. Profesi hukum mempunyai ciri tersendiri, karena profesi ini sangat bersentuhan langsung dengan kepentingan manusia. Profesi hukum mempunyai keterkaitan dengan bidang-bidang hukum yang terdapat dalam negara NKRI seperti, Kehakiman, Kepolisian, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Advocat. Profesi hukum merupakan salah satu profesi yang menuntut pemenuhan nilai moral. Nilai moral itu merupakan kekuatan yang mengarahkan dan mendasari perbuatan luhur.



[1]Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta : Gramedia 1996), hlm. 217.
[2]A. Gunawan Setiardja, Dialektika Hukum Dan Moral Dalam Pembangunan Masyarakat Indonesia, (Yogyakarta : Kanisius, 1990), hlm.91.
[3]A.Rahman Ritonga, dkk, Ensiklopedia Hukum Islam, cet. ke-1, (Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve), hlm.90-91.
[4]H. Muh. Said, Etika Masyarakat Indonesia, (Jakarta: Pradya Paramita, 1980), hlm. 23-24.
[5]Frans Magnis Suseno, Etika Dasar: Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral, (Yogyakarta: Kanisius, 1990), hlm. 16.
[6]E. Sumaryono, Etika Profesi Hukum Norma-Norma Bagi Penegak Hukum, cet. ke-1, (Yogyakarta : Kanisius, 1995), hlm. 51.
[7]Burhanuddin Salam, Etika Sosial, Asas Moral Dalam Kehidupan Manusia,Cet. ke-1, (Jakarta: Aneka Rineka Cipta, 1997), hlm. 143-144.
[8]Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, cet. ke-4, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2002),hlm. 319.
[9]Bab I Pasal  2 Butir ( 1-4).
[10]Bab II Pasal  3 ayat (1-5).
[11]Bab III Pasal  6 Butir (a-b).
[12]Bab III Pasal  8 ayat (1)  butir (a-c)
[13]Bab III Pasal  9 ayat (1-3)
[14]Bab III Pasal 9 Ayat (1-3).
[15]Dikutip dari Abdulkadir Muhammad, Etika Profesi Hukum, cet. ke-2, (Bandung: Citra Aditya bakti, 2001), hlm. 62-64.
[16]Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman, Pasal 5 Ayat (1) dan (2).
[17]Ibid.., Pasal 37.
[18]Ibid.., Pasal  9.
[19]Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-pokok Filsafat Hukum, cet. ke-6, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2002), hlm.288-291.
[20]Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Pokok-pokok .., Pasal  25 Ayat  (1).
[21]E. Sumaryono, Etika Profesi Hukum., hlm.115-118.       
[22]Abdulkadir Muhammad, Etika Profesi Hukum., hlm. 115-116.
[23]Ibid., hlm. 116.
[24]Ibid.., hlm. 118-119
[25]Ibid.., hlm.122.
[26] Ibid.., hlm. 123-124.
[27]Ibid.., hlm. 125.
[28]Sumaryono, Etika Profesi Hukum., hlm. 131-132.

Komentar

Postingan Populer