BAB 1
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Seorang hakim
yang notabene berstatus sebagai profesi hukum, harus memiliki dasar-dasar atau
pedoman dalam melaksanakan kewajibannya. Banyak peraturan-peraturan yang
mengatur tentang Kehakiman. Namun aturan saja belum cukup dalam mencapai suatu
keadilan, diperlukan adanya kode etik dan etika dalam melaksanakan
kewajibannya.
Dalam makalah
ini akan dibahas mengenai Etika Profesi Hakim, yang didalamnya akan dibahas
juga pengertian etika, profesi dan profesi hakim di Indonesia.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas, rumusan masalah ni sebagai berikut:
1.
Apa yang Dimaksud dengan Etika?
2.
Apa yang Dimaksud dengan Profesi Hakim?
3.
Bagaimana Profesi hakim di Indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian etika
Kata etika memiliki
banyak pengertian. Secara etimoligis, etika berasal dari bahasa Yunani kuno
ethos (bentuk tunggal) yang berarti adat; akhlak; watak; perasaan; sikap; cara berfikir.
Sedang dalam bentuk jamak, ta-etha, berarti adat kebiasaan, atau akhlak yang
baik.Jadi
secara etimologis etika dapat diartikan sebagai ilmu tentang apa yang biasa
dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan atau ilmu yang menentukan bagaimana
patutnya manusia hidup dalam masyarakat terhadap apa yang baik dan apa yang
buruk. Sehingga hal ini menjadi pemikiran dan pendirian mereka mengenai
apa yang baik dan tidak baik, patut dan tidak patut untuk dilakukan.
Kata yang cukup dekat
dengan kata etika adalah moral. Bahkan pada umumnya kata etika diidentikan
dengan moral (moralitas). Kata etika berasal dari bahasa latin mos (jamak:
mores)dan kata sifat : "Moralis" yang berarti kebiasaan, adat. Jadi
secara etimologis, kata โetikaโ identik dengan kata โmoralโ karena keduanya
berasal dari kata yang berarti adat kebiasaan, kelakuan , kesusilaan.
Pada dasarnya secara konseptual paradigmatik, kedua
istilah ini mempunyai sentralitas pengertian dan obyek yang sama, yaitu
sama-sama membicarakan totalitas tingkah laku manusia dari sudut pandang
nilai-nilai yang baik dan buruk. Akan tetapi pada dataran realitas
penggunaannya kedua istilah tersebut memiliki sedikit perbedaan dalam nuansa
aplikatifnya. Moral atau moralitas dipakai sebagai tolok ukur menilai suatu perbuatan
yang sedang dilakukan oleh seseorang. Sementara etika digunakan sebagai
kerangka pemikiran untuk mengkaji sistem-sistem nilai atau kode.Jadi
etika merupakan filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar tentang
ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. Etika dan ajaran-ajaran moral
tidak berada pada tingkat yang sama. Yang menyatakan bagaimana kita harus
hidup, bukan etika melainkan ajaran moral. Etika mau mengerti mengapa kita
harus mengikuti ajaran moral tertentu, atau bagaimana kita dapat mengambil
sikap yang bertanggung jawab berhadapan dengan berbagai ajaran moral.Dan
dari perbuatan yang dilakukan itu merupakan moralitas. Karena moralitas adalah
kualitas di dalam perbuatan itu benar atau salah, baik atau jahat.
Dengan demikian kata
etika setidak-tidaknya mengandung tiga arti:
ร
Pertama, nilai-nilai dan norma-norma moral yang
menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah
lakunya. Etika dalam arti ini bisa dirumuskan juga sebagai โsistem nilaiโ yang
berfungsi dalam hidup manusia perorangan maupun pada taraf sosial.
ร
Kedua, etika berarti juga kumpulan asas atau nilai
moral. Yang dimaksud di sini adalah kode etik.
ร
Ketiga, etika mempunyai arti sebagai ilmu tentang
yang baik atau buruk.
Sedangkan pengertian
profesi sendiri adalah berasal dari kata profession yang mengandung arti
pernyataan, kesanggupan, atau sumpah yang dibuat karena memasuki suatu
kepercayaan agama, dalam hal ini suatu profesi.
Dengan demikian
sebuah profesi memiliki prinsip-prinsip etika yaitu; pertama, prinsip tanggung
jawab artinya para profesional harus bertanggung jawab terhadap pelaksanaan
pekerjaan itu dan dampak yang ditimbulkannya. Kedua, prinsip keadilan, artinya
para profesional harus memberikan kepada siapa saja yang menjadi haknya tanpa
memandang status sosialnya. Ketiga, otonomi artinya setiap profesional memiliki
dan diberi kebebasan dalam menjalankan profesinya selama masih dalam
koridor kode etik.Karena kode etik merupakan
aturan-aturan susila atau sikap akhlak yang ditetapkan bersama dan ditaati
bersama oleh para anggota yang tergabung dalam suatu organisasi profesi. Jadi
kode etik berupa suatu ikatan, tatanan, kaidah atau norma yang harus
diperhatikan yang berisi petunjuk tentang apa yang boleh dan apa yang tidak
boleh diperbuat oleh anggota profesi dalam menjalankan profesinya, sebagai
pencegahan munculnya tindakan immoral yang pelanggarannya membawa akibat atau
konsekuensi tertentu.
Kode etik sebagai
hasil kesepakatan anggota, bertujuan agar anggota tidak terjebak kepada
pelanggaran norma yang lebih fatal maka ditetapkan sistem sanksi. Dalam dalam
organisasi profesi hukum yang solid, keberadaan kode etik profesi merupakan
norma moral yang implikasinya mendekati efektifitas norma hukum.Sehingga
organisasi dapat memberikan sanksi, dan sanksi tersebut hanya sanksi organisasi
atau dengan sanksi administrasi melalui pihak yang berwenang terhadap anggota
profesi yang tidak mematuhi kode etik antara lain berupa pencabutan dari
keanggotaannya.
Sehingga kode etik
sendiri adalah hasil usaha pengarahan kesadaran moral para anggota profesi
tentang persoalan-persoalan khusus yang dihadapinya dan dapat ditentukan
aspek-aspek moral yang terkandung di dalam suatu profesi yang memiliki
nilai tinggi sebagai tujuan dari profesi tersebut. Ciri-ciri tersebut tentang
bagaimana profesional etis yang dapat mengcover perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi tanpa meninggalkan aspek sosial budaya bangsanya, ini sekaligus
memberikan pengertian bahwa kode etik profesi merupakan bagian dari etika
masyarakat. Oleh kerena itu kode etik profesi tidak boleh bertentangan dengan
etika masyarakat.
Kedudukan seorang profesional dalam suatu profesi,
pada hakikatnya merupakan suatu kedudukan yang terhormat, karena setiap profesi
terlihat kewajiban agar ilmu yang dimiliki dijalankan dengan ketulusan hati dan
iโtikad baik bagi kehidupan masyarakat luas.
B.
Rincian Kode Etik Profesi Hakim Indonesia
Uraian mengenai kode
etik hakim meliputi: Ketentuan umum, pedoman tingkah laku, komisi kehormatan
profesi hakim, dan penutup. Adapun deskripsi lebih terperinci dari bagian kode
etik profesi hakim tersebut adalah sebagai berikut:
Bab I ketentuan umum
pasal 1 berisi ketentuan umum. Pada bagian ini menguraikan maksud dari istilah
kode etik, pedoman tingkah laku, komisi kehormatan profesi hakim, azas
peradilan yang merupakan ketentuan yang ada, dan juga maksud dari dibentuknya
kode etik profesi hakim. Pertama, sebagai alat pembinaan dan pembentukan
karakter dan pengawasan tingkah laku hakim. Kedua, sebagai sarana control
sosial, pencegah campur tangan ekstra judicial serta pencegah timbulnya konplik
antar sesama anggota juga terhadap masyarakat. Ketiga sebagai jaminan
peningkatan moralitas dan kemandirian hakim, keempat menumbuhkan
kepercayaan masyarakat pada lembaga peradilan.
Bab II mengatur
tentang pedoman tingkah laku (Code of Conduct) hakim yang merupakan
penjabaran dari kode etik profesi hakim yang menjadi pedoman bagi hakim
Indonesia, yang tercermin dalam lambang hakim yang dikenal dengan "Panca
Dharma Hakim". Pasal ini menjelaskan bagaimana kepribadian yang harus di
miliki seorang hakim. Kartika artinya Hakim Indonesia adalah memiliki sifat
percaya dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Cakra, yaitu mampu memusnahkan
segala kebatilan, kezaliman dan ketidakadilan. Candra, yaitu memiliki sifat
bijaksana dan berwibawa. Sari, yaitu bersifat jujur.Dan
juga dijelaskan bagaimana sikap hakim dalam persidangan yang telah tercantum
dalam tata aturan hukum acara yang berlaku, sikap terhadap sesama rekan,
terhadap bawahan atau pegawai, terhadap masyarakat, terhadap keluarga atau
rumah tangga. Serta kewajiban dan larangan bagi hakim tersebut.
Bab III mengatur
tentang komisi kehormatan profesi hakim sebagai lembaga yang di bentuk dari
tingkat pusat sampai daerah.Lembaga
ini bertugas memberikan pembinaan, meneliti dan memeriksa atas pelanggaran yang
dilakukan.Kemudian diberikan sanksi
baik dari tahap teguran sampai pemberhentian sebagai anggota IKAHI.Komisi
kehormatan profesi hakim tersebut dalam memproses pelanggaran melalui mekanisme
hukum acara dari mulai pemanggilan, pemeriksaan, pembelaan dan putusan dengan
tata cara pengambilan putusan dalam majelis hakim.
Bab IV penutup berisi
tentang berlakunya kode etik profesi hakim. Dalam bab terakhir ini disebutkan
bahwa kode etik profesi hakim berlaku sejak disyahkan oleh musyawarah nasional
(MUNAS) ke XIII tanggal 30 Maret 2000.
Dari sistematika kode
etik profesi hakim tersebut, maka yang menjadi bahasan dalam penyusunan
penelitian ini adalah ketentuan-ketentuan mengenai hukum materiilnya yaitu dari
Bab II.
Adapun uraian
mengenai Kode Etik Profesi hakim meliputi sifat-sifat hakim, sikap hakim dalam
persidangan, terhadap sesama rekan, terhadap bawahan, terhadap masyarakat,
terhadap keluarga atau rumah tangga serta kewajiban dan larangan profesi hakim.
Sifat hakim tercermin
dalam lambang Hakim yang dikenal dengan "Panca Dharma Hakim" :
1.
Kartika, yaitu memiliki sifat percaya dan taqwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing
menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
2.
Cakra, yaitu sifat mampu memusnahkan segala
kebathilan, kezaliman dan ketidakadilan.
3.
Candra, yaitu memiliki sifat bijaksana dan
berwibawa.
4.
Sari, yaitu berbudi luhur dan berkelakuan tidak
tercela.
5.
Tirta yaitu sifat jujur.
Adapun Setiap Hakim Indonesia mempunyai pegangan
tingkah laku yang harus dipedomaninya:
a.
Dalam persidangan:
1)
Bersikap dan bertindak menurut garis-garis yang
ditentukan dalam hukum acara yang berlaku, dengan memperhatikan azas-azas
peradilan yang baik, yaitu:
a)
Menjunjung tinggi hak seseorang untuk mendapat
putusan (right to a decision) dimana setiap orang berhak untuk
mengajukan perkara dan dilarang menolak untuk mengadilinya kecuali ditentukan
lain oleh undang-undang serta putusan harus dijatuhkan dalam waktu yang pantas
dan tidak terlalu lama.
b)
Semua pihak yang berperkara berhak atas kesempatan
dan perlakuan yang sama untuk didengar, diberikan kesempatan untuk membela
diri, mengajukan bukti-bukti serta memperoleh imformasi dalam proses
pemeriksaan.(a fair hearing).
c)
Putusan dijatuhkan secara obyektif tanpa dicemari
oleh kepentingan pribadi atau pihak lain (no bias) dengan menjunjung
tinggi prinsip (nemo judex in resua).
d)
Putusan harus memuat alasan-alasan hukum yang jelas
dan dapat dimengerti serta bersifat konsisten dengan penalaran hukum yang
sistematis (reasones and argumentation of decision), dimana argumentasi
tersebut harus diawasi (controlerbaarheid) dan diikuti serta dapat
dipertanggungjawabkan (accountability) guna menjamin sifat keterbukaan (transparency)
dan kepastian hukum (legal certainity) dalam proses peradilan.
e)
Menjunjung tinggi hak-hak azasi manusia.
2)
Tidak dibenarkan menunjukkan sikap memihak atau
bersimpati ataupun antipati kepada pihak-pihak yang berperkara, baik dalam
ucapan maupun tingkah laku.
3)
Harus bersifat sopan, tegas dan bijaksana dalam
memimpin sidang, baik dalam ucapan maupun dalam perbuatan.
4)
Harus menjaga kewibawaan dan kehidmatan persidangan
antara lain serius dalam memeriksa, tidak melecehkan pihak-pihak baik dengan
kata-kata maupun perbuatan.
5)
Bersungguh-sunguh mencari kebenaran dan keadilan.
b.
Terhadap Sesama Rekan
1)
Memelihara dan memupuk hubungan kerjasama yang baik
antara sesama rekan.
2)
Memiliki rasa setia kawan, tenggang rasa dan saling
menghargai antara sesama rekan.
3)
Memiliki kesadaran, kesetiaan, penghargaan
terhadap korps Hakim secara wajar.
4)
Menjaga nama baik dan martabat rekan, baik di dalam
maupun di luar kedinasan.
c.
Terhadap Bawahan atauPegawai
1)
Harus mempunyai sifat kepemimpinan.
2)
Membimbing bawahan atau pegawai untuk mempertinggi
pengetahuan.
3)
Harus mempunyai sikap sebagai sebagai seorang bapak
atau Ibu yang baik.
4)
Memelihara sikap kekeluargaan terhadap bawahan atau
pegawai.
5)
Memberi contoh kedisiplinan.
d.
Terhadap Masyarakat.
1)
Menghormati dan menghargai orang lain.
2)
Tidak sombong dan tidak mau menang sendiri
3)
Hidup sederhana.
e.
Terhadap keluarga atau rumah tangga
1)
Menjaga keluarga dari perbuatan-perbuatan tercela,
menurut norma-norma hukum kesusilaan.
2)
Menjaga ketentraman dan keutuhan keluarga.
3)
Menyelesaikan kehidupan rumah tangga dengan keadaan
dan pandangan masyarakat.
Selain dijelaskan tentang sifat dan sikap hakim juga
terdapat ketentuan kewajiban dan larangan profesi hakim
a.
Kewajiban :
1)
Mendengar dan memperlakukan kedua belah pihak
berperkara secara berimbang dengan tidak memihak(impartial).
2)
Sopan dalam bertutur dan bertindak.
3)
Memeriksa perkara dengan arif, cermat dan sabar.
4)
Memutus perkara berdasarkan atas hukum dan rasa
keadilan.
5)
Menjaga martabat, kedudukan dan kehormatan Hakim.
b.
Larangan :
1)
Melakukan kolusi dengan sipapun yang berkaitan
dengan perkara yang akan dan sedang ditangani.
2)
Menerima suatu pemberian atau janji dari pihak-pihak
yang berperkara.
3)
Membicarakan suatu perkara yang ditanganinya diluar
cara persidangan.
4)
Mengeluarkan pendapat atas suatu kasus yang
ditanganinya baik dalam persidangan maupun diluar persidangan mendahului
putusan.
5)
Melecehkan sesama hakim, jaksa, penasehat Hukum para
pihak berperkara, ataupun pihak lain.
6)
Memberikan komentar terbuka atas putusan hakim lain,
kecuali dikeluarkan dalam rangka pengkajian ilmiah.
7)
Menjadi anggota atau salah satu partai Politik dan
pekerjaan atau jabatan yang dilarang undang-undang.
8)
Mempergunakan nama jabatan korps untuk kepentingan
pribadi ataupun kelompoknya.
Uraian tersebut di atas merupakan standar minimal
dalam pelayanan hukum bagi seorang hakim. Apabila pelayanannya terdapat
kesalahan baik yang diperbuat dengan sengaja maupun tidak sengaja atau melebihi
batas wewenangnya maka dia dapat dikenakan sanksi baik berupa teguran,
skorsing, maupun pemberhentian sebagai anggota Ikatan hakim Indonesia.
Adapun proses pemeriksaannya dilakukan secara tertutup yang sebelumnya
diberikan kesempatan untuk melakukan pembelaan diri dan kemudian dari hasil
pemeriksaan tersebut dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan yang
ditandatangani oleh semua anggota komisi kehormatan profesi hakim dan yang
diperiksa. Keputusan dari hasil pemeriksaan itu diambil sesuai dengan tata cara
pengambilan putusan dalam majlis hakim.
Sebelumnya telah
dijelaskan akan pentingnya etika dalam sebuah organisasi profesi, dalam hal ini
profesi hakim. Dan akan kita bahas tentang pokok-pokok kode etik profesi hakim.
Bagaimanakah pandangan etika terhadap profesi hakim, Apa saja bentuk dan jenis
norma etis yang dianut dan wajib dilaksanakan oleh para hakim. Hal inilah yang
menjadi permasalahan pada bagian ini. Pembahasan pokok-pokok etika ini
dimaksudkan untuk mengetahui bahwa nilai-nilai etika dalam profesi hakim.
Profesi hukum merupakan salah satu profesi yang
menuntut pemenuhan nilai moral bagi pengembannya. Nilai moral tersebut akan
menjadi landasan bagi tindakannya. Ada 5 (lima) nilai moral yang terkandung
dalam profesi hakim yaitu:
1.
Nilai kemandirian atau kemerdekaan.
Di sini terkandung
nilai profesi hakim adalah profesi yang mandiri, yang dalam melaksanakan
tugasnya, tidak boleh dipengaruhi oleh pihak manapun. Begitu pula Hakim dalam
menjalankan tugasnya tidak boleh dipengaruhi oleh pihak manapun. Hakim dalam
menjatuhkan putusan berdasarkan keyakinan yang dilandasi dengan kejujuran dan
keseksamaan, yang diambil setelah mendengar dan mempelajari keterangan-keterangan
dari semua pihak. Nilai kemandirian atau kemerdekaan ini sangat penting karena
tanpa nilai ini, nilai-nilai lain tidak akan bisa ditegakkan.
Hal ini memperjelas bahwa untuk mendukung
terlaksananya tugas-tugas profesi hakim maka diperlukannya kemandirian hakim.
Namun harus kita pahami bahwa kemandirian ini adalah bukan dengan identik
dengan kebebasan yang mengarah kepada pada kesewenang wenangan. Tentu hal ini
kembali kepada kemandirian moral dan keberanian moral. Kemandirian moral
artinya tidak mudah terpengaruh atau tidak mudah mengikuti pandangan
moral sekitarnya, melainkan membentuk penilaian dan mempunyai pendirian
sendiri. Mandiri secara moral berarti tidak dapat dibeli oleh pendapat
mayoritas, tidak terpengaruh pertimbangan untung rugi, menyesuaikan diri
dengan nilai kesusilaan dan agama. Sedangkan keberanian moral adalah
kesetiaan terhadap suara hati nurani yang menyatakan kesediaan untuk menanggung
resiko konflik. Keberanian tersebut antara lain menolak segala bentuk korupsi,
kolusi, suap, pungli; menolak segala bentuk penyelesaian melaui jalan belakang
yang tidak sah. Hal ini dapat menjadikan
seorang hakim menjadi kuat, demikian pula faktor kemandirian moral dan
keberanian moral yang kedua-duanya saling mengikat.
2.
Nilai keadilan.
Kewajiban menegakan keadilan tidak hanya
dipertanggungjawabkan secara horizontal kepada sesama manusia, tetapi juga
secara vertikal kepada Tuhan Yang Maha Esa. Maka pengadilan harus mengadili
menurut hukum dan tidak membeda-bedakan orang Yang dicerminkan dalam proses
penyelengaraan peradilan yaitu membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi
segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan secara
sederhana, cepat, dan biaya ringan. Agar
keadilan tersebut dapat dijangkau oleh seluruh lapisan masyaarakat, dengan
tidak memutar balikan fakta dan tidak membedakan orang dengan tetap memegang
asas praduga tak bersalah. Dan nilai ini dapat diperluas sampai kepada hakim
wajib menghormati hak seseorang (setiap orang yang tersangkut perkara berhak
memperoleh bantuan hukum). Serta
memperoleh ganti rugi dan rehabilitasi akibat kekeliruan tentang orang atau
hukum yang diterapkan.
3.
Nilai kerja sama dan kewibawaan korp
Nilai kerja sama ini diwujudkan dalam persidangan
salah satunya dalam bentuk majlis dengan sekurang-kurangnya berjumlah sebanyak
tiga orang hakim untuk memusyawarahkan hasil dari persidangan secara rahasia
yang kemudian menjatuhkan putusan, disamping itu perlunya saling memberi
bantuan dan adanya kerja sama dengan negara lain yang meminta keterangan,
pertimbangan, atau nasehat-nasehat yang berkaitan dengan hukum.
4.
Nilai pertanggungjawaban.
Sikap pertanggungjawaban ini berdimensi vertical dan
horizontal. Secara vertical berarti bertanggungjawab kepada Tuhan Yang Maha
Esa. Secara horizontal berarti bertanggung jawab kepada sesama manusia, baik
kepada lembaga peradilan maupun kepada masyarakat luas. Dan
dalam kaitanya dengan putusan pengadilan harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar
atas pasal-pasal tertentu dari peraturan yang bersangkutan atau sumberhukum
yang tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. Nilai
ini penting dalam meletakan tanggung jawab hakim terhadap keputusan yang
dibuatnya, sehingga putusan itu memenuhi tujuan hukum berupa keadilan (Gerectigkeit),
kepastian hukum (Rechtssicherheit), dan kemamfaatan (Zweckmassigkeit).
Ada empat norma yang
penting dalam penegakan hukum yaitu kemanusiaan, keadilan, kepatutan, dan
kejujuran.
a.
Kemanusiaan
Norma kemanusiaan
menuntut supaya dalam penegakan hukum, manusia senantiasa diperlakukan sebagai
manusia, sebab ia memiliki keluhuran pribadi. Dalam hubungan person dengan
kesejahteraan umum, maka diperlukan adanya penjernihan makna tentang individu
dan person. Karena pada dasarnya manusia itu mempunyai dua dimensi metafisis,
yaitu individualitas dan sosialitas, berbeda dari yang lain namun tidak
terpisahkan dari yang lain, satu sama lainnya saling menentukan. Individualitas
berakar didalam unsur-unsur yang dalam susunan badan manusia menentukan prilaku
temperamen (keadaan rasa dan pikiran) dan menyatakan dirinya dalam bentuk emosi
yang bersifat infrarasional, sedangkan dari aspek sosialitasnya manusia pribadi
itu senantiasa hidup dalam masyarakat atau persekutuan manusia. Sebagai
akibatnya sering menimbulkan kerja sama dan konflik akibat dari adanya saling
menilai baik sebagai individu (nilai primer) maupun masyarakat (sekunder).
Dihadapan hukum,
manusia harus dimanusiakan artinya dalam penegakan hukum manusia harus
dihormati sebagai pribadi dan sekaligus sebagai makhluk sosial.
Manusia menurut kodratnya adalah baik,namun kondisi sosial yang kadangkala
memaksa manusia berbuat jahat justru untuk mempertahankan kodratnya itu.
Sebagai contoh seorang mencuri hak orang lain dalam rangka mempertahankan
hidupnya, meskipun sadar bahwa mencuri dilarang oleh hukum positif. menurut
pertimbangannya, dari pada mati kelaparan lebih baik bertahan hidup dengan
barang curian, dan hidup adalah hak asasi yang wajib dipertahankan. Oleh karena
itu, manusia yang diancam sanksi dalam kerangka penegakan hukum positif yang
telah dilanggarnya tetap diperlakukana sebagai manusia, yang wajib dihormati
hak-hak asasinya.
Manusia memang mempunyai kodrat bebas atau merdeka, karena ia memiliki hak-hak
individual. Namun dalam pelaksanaanya hak-hak tersebut berbenturan dengan
hak-hak orang lain dan tidak boleh membahayakan orang lain. Kebebasan adalah
hak milik setiap manusia sejak lahirnya. Tidak ada satupun hukum buatan manusia
yang dapat merampas hak tersebut, sebab hak kebebasan itu diperoleh dari hukum
alam.
Dalam menjalankan
profesinya, para profesional dituntut untuk menjalankan dua keharusan yaitu
keharusan untuk menjalankan profesinya secara bertanggung jawab terhadap
pekerjaan yang dilakukan dan dampak pekerjaannya kepada orang lain, serta
keharusan untuk tidak melanggar hak-hak orang lain, artinya keadilan menuntut
kita untuk senantiasa kita berikan kepada yang berhak.
Seorang hakim dalam dalam bertindak harus
memperhatikan sesuai yang ditentukan dalam hukum acara yang berlaku dengan
memperhatikan azas-azas peradilan, tidak menunjukan sikap memihak atau antipati
kepada pihak yang berperkara dan tidak boleh bersikap diskrimimanatif karena
perbedaan agama, kepercayaan, suku, keturunan, jenis kelamin, keyakinan politik
dan kedudukan sosialnya. Semua warga negara mempunyai hak yang sama dihadapan
hukum.
b.
Keadilan
Menurut Thomas
Aquinas, keadilan didefinisikan sebagai kebiasaan di mana orang satu sama lain
saling memberikan apa yang menjadi haknya didasarkan atas kehendak yang
bersifat ajeg dan kekal. Keadilan sebagai salah satu bentuk kebajikan yang
menuntun manusia dalam berhubungan dengan sesamanya. Dalam pengertian ini
Segala hal yang bertentangan dengan hak dianggap tidak adil. Dan seseorang
disebut adil bila ia mengenali dan mengakui yang lain sebagai yang benar-benar
berbeda dari dirinya sendiri. Oleh
karena itu seorang hakim disebut adil dalam keputusannya apabila memberi sanksi
hukuman pada pelanggar hukum, atau membantu seseorang untuk memperoleh apa yang
menjadi haknya, melalui segala keputusan yang dibuatnya.
Ada dua jenis
tuntutan keadilan yaitu mentaatinya secara hukum dan secara moral. Secara hukum
seorang pejabat telah disumpah untuk menjadi pengayom bagi setiap warga Negara,
termasuk bawahannya sendiri, maka secara moral tidak dapat dibenarkan bila lari
dari tanggung jawab setelah perbuatannya ternyata merugikan atau mendatangkan
penderitaan bagi bawahannya. Keadilan dapat juga dalam bentuk kewajiban yang
harus dibayarkan kepada orang lain. Seperti sanksi pidana terhadap pelaku
kejahatan berfungsi untuk memulihkan pelanggaran pidana yang telah
dilakukannya. Sanksi pidana berfungsi untuk memulihkan keadilan yang telah
dirusak oleh pelaku kejahatan.
Ada tiga bentuk dasar
keadilan yaitu:
ร
Keadilan tukar secara timbal balik (iustitia
commutative), yaitu keadilan yang mengatur hubungan antara individu dengan
individu lain sebagai partner.
ร
Keadilan pelayanan atau distributive (iustutia
distributive), yaitu keadilan yang menertibkan hubungan di antara
masyarakat atau negara dengan individu sebagai warga masyarakat atau negara.
ร
Keadilan legal atau keadilan umum (iustitia
legalis, iustitia generalis), yaitu keadilan yang menertibkan hubungan
antara individu terhadap masyarakat atau negara.
Dalam melaksanakan tugasnya hakim dilarang melakukan
kolusi dengan siapapun yang berkaitan dengan perkara yang akan dan sedang
ditangani sehingga keputusan yang dibuat benar-benar adil, tidak
berpihak. Hakim dalam memutuskan perkara tumbuh dari integritas (kejujuran dan
keterbukaan) dan keberanian without fear ar favor tanpa takut dan memberikan
keuntungan kepada pihak yang berperkara. Karena apabila terdapat atau terjadi
penyelewengan terhadap kode etik sebagai salah satu acuan atau pedoman tingkah
laku dalam menjalani profesinya, maka tempat untuk menyelesaikan sengketa
tersebut melalui wadah formal yang ada yaitu komisi kehormatan profesi hakim.
c.
Kejujuran
Kejujuran ialah hal yang berhubungan dengan
pengertian tentang kebenaran terutama berkaitan dengan bidang hukum dan moral.
Kejujuran sendiri merupakan kebajikan yang mengatur semua kehendak yang jujur
dan terdapat dalam pergaulan masyarakat, terutama dalam hubungan antar
individu. Sehingga Setiap penegak hukum perlu kejujuran dalam menegakkan hukum,
dalam melayani pencari hukum dan keadilan, serta diharapkan menjauhi
perbuatan-perbuatan yang curang dalam pengurusan perkara. Kejujuran berkaitan erat
dengan kebenaran, keadilan, kepatutan yang semuanya itu menyatakan sikap bersih
dan ketulusan pribadi seseorang yang sadar akan pengendalian diri terhadap apa
yang seharusnya tidak boleh dilakukan. Kejujuran adalah kendali untuk berbuat
menurut apa adanya sesuai dengan kebenaran akal (ratio) dan kebenaran hati
nurani.
d.
Kepatutan
Kepatutan (equity)
merupakan satu term yang tidak dapat dipisahkan dengan term keadilan Kepatutan
(equity). Kepatutan dilakukan secara praktis. Biasanya berupa nilai atau
penilaian atas berbagai macam kasus tertentu yang bukan merupakan pokok bahasan
putusan hakim yang didasarkan atas keberadaan suatu hukum tertentu. Segala
bentuk hukum pada dasarnya merupakan generalisasi universal, yang
keberlakuannya tidak mengenal perkara, kasus istimewa, barulah menenguk makna
"equity" atau apa yang patut atau layak.
Keadilan pada
dasarnya merupakan kebajikan yang diwujudkan dalam sikap objektif, apa adanya
dan umum. Sikap ini yang mengatur hubungan yang hakiki di dalam masyarakat.
Jika keadilan dipahami seperti ini, maka makna keadilan akan sangat abstrak dan
kurang mengenai situasi dan keadilan manusia secara individual. Yang diperlukan
manusia adalah koreksi dan perhatian khusus bagi dirinya, sesuai dengan
kualitas, situasi serta keberadaannya sendiri. Dalam hal ini pula orang
memerlukan kepatutan, sebab kepatutan memperhatikan dan memperhitungkan situasi
dan keadilan manusia sebagai individual. Jadi kepatutan akan menyingkirkan
kekerasan dan kekejaman hukum terutama dalam situasi dan kondisi khusus. Dan
kepatutan sendiri menempatkan apa yang patut atau apa yang layak, dalam hukum
bukan saja keadilan menurut hukum, melainkan juga adil secara moral.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Kata etika
berasal dari bahasa Yunani yaitu ethos
yang berarti kebiasaan, adat istiadat, akhlak yang baik.adalah ilmu tentang apa
yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral. Dalam agama
Islam, etika merupakan bagian dari akhlak, karena akhlak bukanlah sekedar
menyangkut perilaku manusia yang bersifat perbuatan yang lahiriah saja, akan
tetapi menyangkut akidah, ibadah dan syariat.Dalam perkataan sehari-hari antara
etika (moral) dan etiket (sopan santun) memiliki persamaan dan perbedaan.
Persamaannya sama-sama membahas perilaku manusia, mengatur perilaku manusia
secara nonaktif, artinya memberi norma perilaku untuk berbuat atau tidak
berbuat.
Profesi secara
bahasa memiliki arti suatu pekerjaan yang dilandasi dengan pendidikan keahlian,
keterampilan, kejuruan tertentu. Jadi profesi adalah suatu perkerjaan dengan
keahlian khusus sebagai mata pencaharian.Propfesi hukum merupakan dari salah
satu dari profesi lain. Profesi hukum mempunyai ciri tersendiri, karena profesi
ini sangat bersentuhan langsung dengan kepentingan manusia. Profesi hukum
mempunyai keterkaitan dengan bidang-bidang hukum yang terdapat dalam negara
NKRI seperti, Kehakiman, Kepolisian, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi,
Advocat. Profesi hukum merupakan salah satu profesi yang menuntut pemenuhan
nilai moral. Nilai moral itu merupakan kekuatan yang mengarahkan dan mendasari
perbuatan luhur.
H. Muh. Said, Etika Masyarakat Indonesia,
(Jakarta: Pradya Paramita, 1980), hlm. 23-24.
Bab I Pasal 2 Butir ( 1-4).
Bab II Pasal 3 ayat (1-5).
Bab III Pasal 6 Butir (a-b).
Bab III Pasal 8 ayat (1) butir (a-c)
Bab III Pasal 9 ayat (1-3)
Bab III Pasal 9 Ayat (1-3).
Dikutip dari Abdulkadir Muhammad, Etika Profesi
Hukum, cet. ke-2, (Bandung: Citra Aditya bakti, 2001), hlm. 62-64.
Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-pokok
Filsafat Hukum, cet. ke-6, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2002),
hlm.288-291.
Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Pokok-pokok
.., Pasal 25 Ayat (1).
E. Sumaryono, Etika Profesi Hukum.,
hlm.115-118.
Abdulkadir Muhammad, Etika Profesi Hukum.,
hlm. 115-116.
Komentar