Langsung ke konten utama

Unggulan

skenario sidang mediasi

Penetapan Penunjukan Mediator : PENETAPAN Nomor : 001/Pdt.G/2015/PS.SNC. Ketua Majelis Pengadilan Semu Syekh Nurjati Cirebon ; Membaca surat gugatan tertanggal 18 Maret 2015 Nomor : 001/Pdt.G/2015/PS.SNC. dalam perkara antara : ROSINAH BINTI VALENTINO ROSSID , sebagai Penggugat ; Melawan : NAHRUL BIN HAYAT , sebagai Tergugat ; Membaca, Penetapan Ketua Pengadilan Semu Syekh Nurjati Cirebon tertanggal 18 Maret 2015 Nomor : 001/Pdt.G/2015/PS.SNC. tentang Penunjukan Majelis Hakim; Membaca, Penetapan Ketua Majelis Hakim Pengadilan Semu Syekh Nurjati Cirebon tertanggal 18 Maret 2015 Nomor : 001/Pdt.G/2015/PS.SNC. tentang Penetapan Hari Sidang ; Menimbang, bahwa pada hari sidang yang telah ditentukan Penggugat dan Tergugat hadir di persidangan ; Menimbang, bahwa dalam usaha mendamaikan para pihak sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 130 HIR/154 RBg dan Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, Ketua Majlis Hakim menerang...

Proposal Skripsi fasah suatu perkawinan karenan cacat badan(studi komparasi pendapat ibn Hazm dan KHI)



BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang Masalah
Pernikahan atau perkawinan merupakan salah satu dari bidang al-Ahwal al-Syakhshiyyah. Perkawinan menurut hukum Islam adalah ikatan atau akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghali dza. Disamping itu perkawinan tidak lepas dari unsur mentaati perintah Allah dan melaksanakannya adalah ubudiyah (ibadah) yang bertujuan untuk membina dan membentuk terwujudnya hubungan ikatan lahir batin antara seorang pria dengan wanita sebagai suami isteri dalam kehidupan keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan syari’at agama Allah.[1]
Pensyari’atan perkawinan memiliki tujuan antara lain untuk memelihara manusia (pemuda) daripada pekerjaan maksiat yang membahayakan diri, harta, pikiran, berketurunan nasab, dan menghindarkan diri dari penyakit juga menciptakan keluarga yang sakinah. Rumusan ini berdasarkan sebagaimana firman Allah SWT:[2]
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir”. (QS. Ar-Ruum ayat 21).[3]
Huzaimah Tahido Yanggo memaparkan, menurutnya ayat tersebut menjelaskan bahwa keluarga Islam terbentuk dalam keterpaduan antara ketenteraman (sakinah), penuh rasa cinta (mawaddah), dan kasih sayang (rahmah). Ia terdiri dari isteri yang patuh dan setia, suami yang jujur dan tulus, ayah yang penuh kasih sayang dan ramah, ibu yang lemah lembut dan berperasaan halus, putra-putri yang patuh dan taat serta kerabat yang saling membina silaturrahim dan tolong menolong.[4]
Namun, dalam kehidupan rumah tangga tidak selalu harmonis dan tanpa konflik. Suatu ketika bisa saja suami istri berselisih faham dari persoalan yang kecil sampai pada masalah yang menimbulkan perceraian. Seiring dengan itu, Islam memberikan jalan terbaik untuk mengatasi problema dalam keluarga dengan kedamaian. Ikatan perkawinan harus dijaga dan jangan sampai terjadi kerusakan, karena rusaknya sebuah pernikahan berarti juga hancurnya sebuah keluarga. Jika demikian, bukan mustahil akan terjadi perceraian.[5]
Agama Islam tidak menutup mata terhadap hal-hal tersebut di atas. Agama Islam membuka suatu jalan keluar dari krisis atau kesulitan rumah tangga yang tidak dapat diatasi lagi. Jalan keluar itu dimungkinkannya suatu perceraian, baik melalui thalaq, khulu’ dan sebagainya. Jalan keluar ini tidak boleh ditempuh kecuali dalam keadaan terpaksa atau darurat.[6]
Dalam skripsi ini penulis akan memaparkan salah satu bentuk perceraian dalam Islam yang berbentuk fasakh yang disebabkan adanya cacat badan, karena penulis melihat bahwa tidak semua anggota masyarakat mengetahui mengenai boleh atau tidaknya fasakh dalam pernikahan ini yang disebabkan cacat badan. Maka fenomena ini menarik perhatian penulis untuk mengkaji dalam sebuah penelitian.
Fasakh artinya putus atau batal.[7] Fasakh dapat terjadi karena sebab yang berkenaan dengan akad (sah atau tidaknya) atau dengan sebab yang datang setelah berlakunya akad.[8] Ada beberapa hal yang menyebabkan perkawinan dapat di fasakh, dengan fasakh tersebut akad perkawinannya tidak berlaku lagi. Sebab-sebab itu antara lain adalah adanya cacat pada salah satu pihak dari suami isteri.[9]
Dalam pandangan Islam perceraian tidak hanya hak seorang suami tetapi juga istri, dalam hal ini yang dapat dilakukan oleh istri adalah dengan jalan fasakh. Islam membenarkan dan mengizinkan perceraian apabila hal tersebut dipandang lebih baik dari pada masih dalam ikatan perkawinan, karena Islam membuka kemungkinan perceraian baik dengan jalan thalaq maupun dengan jalan fasakh demi menjunjung tinggi prinsip kebebasan dan kemerdekaan manusia.[10]
Pada asasnya fasakh adalah hak suami atau istri, tetapi dalam pelaksanaannya lebih banyak dilakukan oleh pihak istri daripada pihak suami. Hal ini mungkin disebabkan karena suami telah mempunyai hak thalaq yang diberikan agama kepadanya.
Hak thalaq bagi suami merupakan jalan terakhir untuk menentukan apakah ikatan perkawinannya diteruskan ataukah diputuskan atau permintaan thalaq oleh istri karena sebab yang dibolehkan oleh hukum Islam, hal ini merupakan suatu perkara yang boleh. Walaupun begitu sebenarnya Islam sangat bermoral, tidak menghendaki adanya perceraian dalam perkawinan. Cerai merupakan suatu kebolehan, akan tetapi sangat dimurkai oleh Allah.
Seorang suami dalam menjatuhkan thalaq tidak boleh sewenang-wenang, begitu juga seorang istri tidak boleh mengajukan fasakh ke pengadilan tanpa adanya sebab yang membolehkannya. Bahkan persyaratan dalam melakukan perceraian sendiri dalam Islam sangatlah diperketat. Dengan demikian, perceraian tidak dengan mudah dapat dilakukan, karena perceraian dalam perkawinan merupakan perbuatan yang bertentangan dengan semangat ajaran Islam.
Perceraian dengan jalan fasakh bagi pihak istri dapat dilakukan apabila suami tidak menjalankan kewajiban-kewajibannya yang dapat mengakibatkan tidak terpenuhinya hak-hak istri atau tindakan-tindakan suami yang dapat menimbulkan madharat bagi istri. Maka dari itu, jika istri ingin melepaskan diri dari tindakan-tindakan suaminya yang tidak disenanginya, pihak istri dapat mengajukan fasakh ke Pengadilan.
Seorang istri mempunyai hak untuk melakukan gugatan cerai dengan jalan fasakh, yang secara harfiah berarti “mencabut” atau “menghapus”, maksudnya ialah: perceraian yang disebabkan oleh timbulnya hal-hal yang dianggap berat oleh suami atau istri atau keduanya sehingga mereka tidak sanggup untuk melaksanakan kehidupan suami istri dalam mencapai tujuannya.[11]
Selanjutnya mengenai fasakh suatu perkawinan, para ulama berbeda pendapat dalam menentukan aib (cacat) yang dapat dijadikan alasan untuk mem-fasakh pernikahan. Imam Malik dan Syafi’i sependapat bahwa penolakan dapat terjadi karena empat macam penyakit (cacat), yaitu: gila, lepra, kusta, dan penyakit kelamin yang menghalangi jima’, adakalanya tumbuh tulang bagi orang perempuan, impoten atau terpotong penisnya (kebiri) bagi orang laki-laki. Sementara Imam Abu Hanifah bersama para pengikutnya dan ats-Tsauri berpendapat, bahwa seorang perempuan tidak dapat di thalaq kecuali karena dua cacat saja, yaitu tumbuh tulang dan tumbuh daging.[12]
Jumhur ulama berpendapat, cacat sebagaimana  yang disebutkan di atas bisa dijadikan alasan untuk menuntut cerai dalam bentuk fasakh. Mereka beralasan hadits Rasulullah SAW sebagai berikut:
وعن سعيد بن المسيب أن عمر  بن الخطاب رضي الله عنه قال : أيما رجل تزوج امرأة فدخل بها فو جدها  برصاء أو مجنو نة او مجذ ومه فلها الصداق بمسيسه  إياها، وهو له على من غره منها (أخرجه سعيد بن  منصور ومالك وابن أبى  شيبة، ورجاله ثقات)
Artinya: “Dari Said bin Al-Musayyab bahwa Umar bin Khahthab RA Berkata: lelaki mana saja yang menikahi seseorang perempuan lalu ia menyetubuhinya dan mendapatinya penyakit  kusta, gila, atau lepra maka bagi  perempuan  itu mahar karena ia menyetubuhinya dan mahar itu atas orang yang memperdayainya”. (HR. Said bin Manshur, Malik dan Ibnu Abu Syaibah, para perawinya dapat dipercaya).[13]
Mayoritas ulama berpendapat bahwa penyakit atau cacat yang diderita sebelum, sesudah atau pada saat akad nikah memiliki status yang sama dalam menentukan pilihan (itsbat khiyar) karena akad nikah merupakan ikatan perjanjian yang didasarkan untuk mencapai pemanfaatan dan munculnya faktor yang merusak tujuan mencapai pemanfaatan tersebut diringi dengan munculnya  peluang untuk menentukan pilihan (untuk membatalkan akad nikah tersebut).[14] Pendapat mayoritas ulama ini memandang tujuan dan kehidupan perkawinan harus didasarkan pada ketenangan dan cinta kasih yang tidak mungkin timbul apabila salah satu pihak cacat atau berpenyakit yang membuat pihak lain tidak mau menderitanya.[15]
Fasakh dalam ketentuan Kompilasi Hukum Islam (KHI) diatur dalam bentuk putusnya perkawinan, yang disebabkan kematian, perceraian, dan putusan pengadilan. Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena thalaq atau berdasarkan gugatan perceraian. Dalam ketentuan KHI Pasal 116 huruf (e) disebutkan bahwa perceraian dapat terjadi karena alasan salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri.
Berbeda dengan itu, Ibnu Hazm berpendapat bahwa kelemahan atau cacat sebagaimana yang disebutkan di atas tidak bisa dijadikan alasan untuk menuntut fasakh baik bagi suami maupun istri. Sebagaimana pernyataannya:
لافسخ النكاح بعد صحته بجذام حادث ولا ببرص كذلك، ولابجنون كذلك، ولابأن يجد بها شيئا من هذه العيوب، ولابأن تجده هى كذلك، ولا بعنانة، ولا بداءفرجولا بشيئ من العيوب
Artinya: “Nikah tidak di fasakh sesudah sahnya dengan sebab penyakit sopak, kusta dan gila yang baru terjadi, dan nikah itu tidak difasakh karena suami menemukan salah satu dari cacat-cacat yang baru datang pada istri, demikian juga kalau istri mendapatkan penyakit yang baru datang pada suaminya. Dan nikah tidak difasakh sebab impoten, sakit kemaluan dan jenis apaun cacatnya”.[16]
Dengan alasan bahwa:
انه لايصح فى ذلك شيئ عن احد من الصحابة، واماالرواية عن عمر، وعلى فمنقطعة، وعن ابن عباس من طر يق لا خيرفيه ـثم لوصح لنكن لا حجة فيه، لأنه لا حجة في قول احد دون رسولالله صلى الله عليه وسلم مع اختلاف تلك الرو اية على ـ انقطا عها ـ فقد جاء عن على مايوافق قو لنا، فليس ما روى من خلاف ذلك حجة، انما هو قول كقول
Artinya: “Bahwasanya tidak benar menjadikan riwayat yang diriwayatkan dari salah satu sahabat sebagai dasar tertolaknya pernikahan (fasakh nikah) karena cacat. Adapun riwayat dari Umar, dan Ali adalah riwayat yang munqati’ dan riwayat dari Ibnu Abbas dari segi sanadnya tidak ada kebaikannya- kalaupun riwayat itu benar maka tidak dapat dijadikan hujjah, karena tidak ada hujjah atas suatu perkataan seseorang kecuali sabda Rasulullah SAW, disertai adanya perbedaan atas kemunqati’an riwayat-riwayat itu maka riwayat dari Alilah yang sesuai dengan pendapat kami, maka riwayat yang selain itu tidak dapat dijadikan hujjah, karena itu hanya sekedar suatu pendapat”.[17]
Dari uraian di atas penyusun tertarik untuk mengangkat dan mengkaji lebih jauh tentang fasakh suatu perkawinan karena alasan cacat badan menurut pemikiran Ibnu Hazm dan ketentuan Hukum dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), karena perbedaan dalam berijtihad mengakibatkan berbeda dalam fiqh sebagai hasil dari ijtihad tersebut.
Dalam hal ini penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut yang akan dituangkan dalam bentuk karya ilmiyah dengan judul: Fasakh Suatu Perkawinan Karena Alasan Cacat Badan (Studi Komparasi antara Pemikiran Ibnu Hazm dalam Kitab Al-Muhalla dengan Kompilasi Hukum Islam)).
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan diatas, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah:
1.      Bagaimana pandangan Ibnu Hazm mengenai faskh  suatu perkawinan karena alasan cacat badan dalam kitab Al-Muhalla?
2.      Bagaimana relevansi antara pemikiran Ibnu Hazm dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) tentangfasakh suatu perkawinan karena alasan cacat badan dengan konteks hukum perkawinan di Indonesia?
C.    Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1.      Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui pemikiran hukum Ibnu Hazm tentang hukum memfasakh suatu perkawinan karena alasan cacat badan dalam kitab Al-Muhalla. Dan mengetahui relevansi antara pemikiran Ibnu Hazm dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) tentang memfasakh suatu perkawinan karena alasan cacat badan dengan konteks hukum Indonesia.
2.      Kegunaan Penelitian
1)      Kegunaan yang utama dari hasil penelitian ini yaitu mencapai ridha Allah SWT, serta menambah ilmu, juga sebagai bahan informasi bagi masyarakat Islam, baik dalam kalangan intelektual maupun dari kalangan orang awam tentang hukum Islam. Khususnya yang berkenaan dengan cacat badan penyebab fasakh dalam pernikahan menurut pendapat Imam Ibnu Hazm.
2)      Sebagai sebuah karya ilmiah, dan kiranya dapat menambah referensi atau literatur bacaan bagi para pembaca dalam kajian fiqih, terutama fiqih munakahat.
3)      Sebagai salah satu bacaan yang dapat mengembangkan khazanah ilmu pengetahuan.
4)      Sebagai persyaratan mencapai gelar Sarjana Strata 1 (satu) di Fakultas Syari’ah dan Ekonomi Islam jurusan Hukum Keluarga (Ahwal Al-Sakhsiyah), Institut Agama Islam Negeri Syekh Nurjati Cirebon.
D.    Tinjauan Pustaka
Penelitian mengenai perkawinan sebenarnya bukan hal yang baru, demikian juga mengenai perceraian. Cukup banyak serta tidak begitu sulit untuk didapati serta dijadikan sebagai acuan, baik berupa karya tulis, hasil penelitian maupun buku-buku. Mengenai literatur yang berkenaan dengan tema berupa skripsi yang membahas tentang perkawinan khususnya perceraian, diantaranya:
Karya Sugianto yang berjudul: Fasakh Perkawinan karena Ketidakmampuan Suami Memberi Nafkah Lahir Kepada Istri menurut Ulama Hanafiyah dan Ulama Malikiyah, dalam karyanya ini sugianto mencoba membandingkan pendapat kedua imam tersebut tentatang fasakh perkawinan dengan alasan tidak adanya nafkah lahir dan mencari alasan-alasan yang menyebabkan terjadinya perbedaan pendapat diantara kedua imam tersebut.[18]
Karya Azizah yang berjudul: Ketidakmampuan Nafkah Lahir Suami Sebagai Alasan Perceraian (Studi Komparasi Antara Pendapat Imam Malik dan Ibnu Hazm). Saudara Azizah disini hanya membahas perbedaan pendapat antara Imam Malik dan Ibnu Hazm tentang perceraian dengan alasan suami miskin.[19]
Karya Rohmad yang berjudul: Tinjauan Hukum Islam Terhadap Perkara Perceraian dengan Alasan Suami Lemah Syahwat (Studi Kasus di Pengadilan Agama Sleman Berdasarkan Putusan Perkara No.655/Pdt.G/2006/PA.Slmn). Membahas tentang bagaimana Putusan Hakim terhadap perceraian dengan alasan suami lemah syahwat.[20] putusan dijatuhkan, setelah hakim Pengadilan Agama Sleman telah berupaya mendamaikan kedua belah pihak dengan cara menasehati penggugat agar mau hidup rukun kembali dengan tergugat dan mempertahankan rumah tangganya tidak berhasil dilakukan.
Karya Rini Astuti yang berjudul: Perceraian karena Cacat Tubuh (studi komparasi antara UU NO.1 Tahun 1974 tentang perkawinan dengan pandangan mazhab syafi’i). Dalam skripsi ini penyusunnya berkesimpulan bahwa diantara kebanyakan orang yang cacat ada yang tetap sangup menjalankan kewajibannya, sebaliknya banyak orang yang cacat tetapi tidak sanggup menjalankan kewajibannya sebagai suami. Cacat atau penyakit yang diderita tergugat tidak sampai mengakibatkan lumpuhnya secara total kemampuan menjalankan fungsi sebagai suami dan kepala keluarga, kondisi cacat yang seperti itu tidak dapat dijadikan dasar gugatan perceraian.[21]
Berdasarkan telaah karya-karya sejenis terdahulu, maka penyusun menganggap belum ada karya yang spesifik membahas dan menjelaskan mengenai fasakh suatu perkawinan yang di sebabkan oleh cacat badan.
E.     Metode Penelitian
1.      Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian kepustakaan, yaitu dengan jalan melakukan penelitian terhadap sumber-sumber tertulis. Dalam penelitan ini dilakukan dengan mengkaji dokumen atau sumber tertulis seperti kitab/buku, majalah, dan lain-lain
2.      Sumber Data
Sumber data merupakan subyek dari mana data dapat diperoleh, adapun dalam penelitian ini penulis menggunakan sumber data sebagai berikut:
a.       Data primer, sumber data yang digunakan dalam penyusunan dan penulisan skripsi ini diperolehi melalui penyelidikan perpustakaan yaitu dengan rujukan utama terhadap kitab Al-Muhalla karangan Ibnu Hazm, Juz VII, Beirut: Dar Al-Fikr, dan buku Kompilasi Hukum Islam (KHI).
b.      Data sekunder, yaitu jenis data yang dapat dijadikan sebagai pendukung data pokok. Sumber data sekunder yang penulis gunakan yaitu dengan cara mengumpulkan data-data dari perpustakaan atau pengumpulan data pustaka dari buku-buku yang digunakan sebagai acuan yang ada relevansinya dalam masalah yang sedang penyusun teliti, dan juga sumber-sumber lain atau data tertentu seperti: jurnal, majalah, buletin dan yang lainnya.
3.      Pengumpulan Data
Dalam pengumpulan data ini penulis menggunakan teknik dokumentasi yaitu dengan meneliti sejumlah kepustakaan, yaitu: kitab, buku-buku, hasil penelitian, jurnal, internet, dan literatur lainnya. Sehingga dijadikan bahan untuk menyelesaikan masalah dalam penelitian ini.
4.      Metode Analisa Data
Metode analisa data yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah logika deduksi, yaitu logika berfikir yang bertumpu pada kaidah-kaidah umum yang ada dan hasilnya dapat memecahkan persoalan khusus, yaitu pemikiran sang tokoh.[22]
F.     Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah dengan menggunakan pendekatan normatif, yaitu pendekatan yang didasarkan pada ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits, dan menggunakan pendekatan sosio historis, dengan mengkaji latar belakang kehidupan dari tokoh yang diangkat dalam hal ini adalah Ibnu Hazm, agar dapat diketahui sejauh mana orisinalitas dan pengaruhnya terhadap pemikiran tokoh tersebut.
G.    Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan dalam penelitian ini terdiri dari lima bab, yang masing-masing bab mempunyai kaitan erat satu sama lainnya. yaitu sebagai berikut:
BAB I
:
Terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalahan, tujuan dan kegunaan penelitian, penelitian terdahulu, kerangka teoritik, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II
:
Merupakan tinjauan umum yang membahas pengertian fasakh menurut fiqh dan Undang-undang Perkawinan yang meliputi pengertian fasakh, sebab-sebab terjadinya fasakh, pelaksanaan fasakh, akibat hukum fasakh, perbedaan fasakh dengan thalaq serta fasakh perkawinan menurut undang-undang perkawinan.
BAB III
:
Berisikan biografi Ibnu Hazm, yang terdiri dari riwayat hidup, pendidikan dan karya-karyanya, serta pola penetapan hukumnya.
BAB IV
:
Hukum memfasakh nikah karena cacat badan menurut Ibnu Hazm dan KHI, dan juga relevansinya dengan hukum perkawinan di Indonesia
BAB V
:
Penutup terdiri dari kesimpulan dan saran


DAFTAR PUSTAKA

Al-Basam. Abdullah bin Abdurrahahman, Syarah Bulugul Maram, juz V, Jakarta: Pustaka Azzam, 2006.
Al-Hamdani, Risalah Nikah, terj. Agus Salim, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: Pustaka Amani, 2002.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya, Bandung: CV Penerbit Jumanatul ‘Ali Art, 2005.
Djamaan Nur, Fiqih Munakahat, Cet. I, Semarang: Dina Utama, 1993.
Hazm. Ibnu, Al-Muhalla, juz VII, Beirut: Dar Al-Fikr, t.th.
Herdiansyah. Haris, Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-ilmu Sosial, Jakarta: Salemba Humanika, 2012.
Kamal bin as-Sayyid Salim. Abu Malik, Shahih Fikih Sunnah, jilid. 3, Jakarta: Pustaka Azzam, 2007.
Latif. Djamil, Aneka Hukum Perceraian di Indonesia, cet. ke-2, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985.
Muchtar. Kamal, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, cet. Ke-3, Jakarta: Bulan Bintang, 1993), hlm.212.
Rusyd. Ibnu, Bidayatu al-Mujtahid, terj. Abdurrahman dan Haris Abdullah, vol. 2, Semarang: Asy-Syifa’, 1990.
Tahido Yanggo. Huzaimah, Masail Fiqhiyah: Kajian Hukum Islam Kontempporer, Cet. I, Bandung: Angkasa, 2005.
Thayib. Anshari, Struktur Rumah Tangga, Surabaya: Risalah Gusti, 1991.
Tihami, Fiqih Munakahat, Jakarta: Rajawali Pers, 2009.



[1] Nur Djamaan, Fiqih Munakahat, Cet. I, (Semarang: Dina Utama, 1993), hal. 5
[2] Huzaimah Tahido Yanggo, Masail Fiqhiyah: Kajian Hukum Islam Kontemporer, Cet. I, (Bandung: Angkasa, 2005), hal. 133
[3] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya, (Bandung: Jumanatul ‘Ali Art, 2005), hal. 406
[4] Huzaimah Tahido Yanggo, Masail Fiqhiyah…, hal. 134
[5] Anshari Thayib, Struktur Rumah Tangga, (Surabaya: Risalah Gusti, 1991), hal. 111
[6] Nur Djamaan, Fiqih Munakahat..., hal. 130
[7] Tihami, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009 ), hal. 195
[8] Al-Hamdani, Risalah Nikah, terj. Agus Salim, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Pustaka Amani, 2002), hal. 271
[9] Al-Hamdani, Risalah Nikah..., hal. 273
[10] Djamil Latif, Aneka Hukum Perceraian di Indonesia, cet. ke-2 (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), hal. 29
[11] Kamal Muchtar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, cet. Ke-3 (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), hal. 212
[12] Ibnu Rusyd, Bidayatu al-Mujtahid, terj. Abdurrahman dan Haris Abdullah, vol. 2 (Semarang: Asy-Syifa’, 1990), hal. 455
[13] Abdullah bin Abdurrahahman Al-Basam, Syarah Bulugul Maram, juz V, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2006), hal. 401
[14] Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, Shahih Fikih Sunnah, jilid. 3, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), hal. 635
[15] Al-Hamdani, Risalah Nikah..., hal. 276
[16] Ibnu Hazm, Al-Muhalla, juz VII, (Beirut: Dar Al-Fikr, t.th), hal. 109
[17] Ibnu Hazm, Al-Muhalla…, hal. 114
[18] Sugianto, “Fasakh Perkawinan Karena Ketidakmampuan Suami Memberi Nafkah Lahir Kepada Istri menurut Ulama Hanafiyah dan Ulama Malikiyah”, Skripsi, (Yogyakarta: Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga, 1999)..
[19] Azizah, “Ketidakmampuan Nafkah Lahir Suami Sebagai Alasan Percerain (Studi Komparasi antara Pendapat Imam Malik dan Ibnu Hazm”, Skripsi, (Yogyakarta: Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga, 2004)
[20] Rohmad, Tinjauan Hukum Islam terhadap Perkara Perceraian dengan Alasan Suami Lemah sahwat (Studi Kasus di Pengadilan Agama Sleman Berdasarkan Putusan Perkara No.655/Pdt.G/2006/PA.Slmn), Skripsi, (Yogyakarta: UIN Sunan kalijaga, 2008)
[21] A.M.Rini Astuti, Perceraian karena Cacat Tubuh (Studi Komparasi Antara UU NO 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dengan Pandangan Mazhab Syafi’i, Skripsi, (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2002)
[22] Haris Herdiansyah, Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-ilmu Sosial, (Jakarta: Salemba Humanika, 2012), hal. 158

Komentar

Postingan Populer