BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Pernikahan atau perkawinan
merupakan salah satu dari bidang al-Ahwal al-Syakhshiyyah. Perkawinan
menurut hukum Islam adalah ikatan atau akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghali dza. Disamping itu
perkawinan tidak lepas dari unsur mentaati perintah Allah dan melaksanakannya
adalah ubudiyah (ibadah) yang bertujuan untuk membina dan membentuk terwujudnya
hubungan ikatan lahir batin antara seorang pria dengan wanita sebagai suami
isteri dalam kehidupan keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan syari’at agama Allah.
Pensyari’atan
perkawinan memiliki tujuan antara lain untuk memelihara manusia (pemuda)
daripada pekerjaan maksiat yang membahayakan diri, harta, pikiran, berketurunan
nasab, dan menghindarkan diri dari penyakit juga menciptakan keluarga yang sakinah.
Rumusan ini berdasarkan sebagaimana firman Allah SWT:
وَمِنْ
آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا
وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ
يَتَفَكَّرُونَ
Artinya:
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu
istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang
berpikir”. (QS. Ar-Ruum ayat 21).
Huzaimah
Tahido Yanggo memaparkan, menurutnya ayat tersebut menjelaskan bahwa keluarga
Islam terbentuk dalam keterpaduan antara ketenteraman (sakinah), penuh
rasa cinta (mawaddah), dan kasih sayang (rahmah). Ia terdiri dari
isteri yang patuh dan setia, suami yang jujur dan tulus, ayah yang penuh kasih
sayang dan ramah, ibu yang lemah lembut dan berperasaan halus, putra-putri yang
patuh dan taat serta kerabat yang saling membina silaturrahim dan tolong
menolong.
Namun,
dalam kehidupan rumah tangga tidak selalu harmonis dan tanpa konflik. Suatu
ketika bisa saja suami istri berselisih faham dari persoalan yang kecil sampai
pada masalah yang menimbulkan perceraian. Seiring dengan itu, Islam memberikan
jalan terbaik untuk mengatasi problema dalam keluarga dengan kedamaian. Ikatan
perkawinan harus dijaga dan jangan sampai terjadi kerusakan, karena rusaknya
sebuah pernikahan berarti juga hancurnya sebuah keluarga. Jika demikian, bukan
mustahil akan terjadi perceraian.
Agama
Islam tidak menutup mata terhadap hal-hal tersebut di atas. Agama Islam membuka
suatu jalan keluar dari krisis atau kesulitan rumah tangga yang tidak dapat
diatasi lagi. Jalan keluar itu dimungkinkannya suatu perceraian, baik melalui thalaq, khulu’ dan sebagainya. Jalan keluar ini tidak boleh ditempuh
kecuali dalam keadaan terpaksa atau darurat.
Dalam
skripsi ini penulis akan memaparkan salah satu bentuk perceraian dalam Islam
yang berbentuk fasakh yang disebabkan
adanya cacat badan, karena penulis melihat bahwa tidak semua anggota masyarakat mengetahui
mengenai boleh atau tidaknya fasakh
dalam pernikahan ini yang disebabkan cacat badan. Maka fenomena ini menarik perhatian
penulis untuk mengkaji dalam sebuah penelitian.
Fasakh
artinya putus atau batal.
Fasakh dapat terjadi karena sebab yang
berkenaan dengan akad (sah atau tidaknya) atau dengan sebab yang datang setelah
berlakunya akad. Ada
beberapa hal yang menyebabkan perkawinan dapat di fasakh, dengan fasakh
tersebut akad perkawinannya tidak berlaku lagi. Sebab-sebab itu antara lain adalah
adanya cacat pada salah satu pihak dari suami isteri.
Dalam
pandangan Islam perceraian tidak hanya hak seorang suami tetapi juga istri,
dalam hal ini yang dapat dilakukan oleh istri adalah dengan jalan fasakh.
Islam membenarkan dan mengizinkan perceraian apabila hal tersebut dipandang
lebih baik dari pada masih dalam ikatan perkawinan, karena Islam membuka
kemungkinan perceraian baik dengan jalan thalaq maupun dengan jalan fasakh
demi menjunjung tinggi prinsip kebebasan dan kemerdekaan manusia.
Pada
asasnya fasakh adalah hak suami atau istri, tetapi dalam pelaksanaannya
lebih banyak dilakukan oleh pihak istri daripada pihak suami. Hal ini mungkin
disebabkan karena suami telah mempunyai hak thalaq yang diberikan agama
kepadanya.
Hak
thalaq bagi suami merupakan jalan terakhir untuk menentukan apakah ikatan
perkawinannya diteruskan ataukah diputuskan atau permintaan thalaq oleh istri
karena sebab yang dibolehkan oleh hukum Islam, hal ini merupakan suatu perkara
yang boleh. Walaupun begitu sebenarnya Islam sangat bermoral, tidak menghendaki
adanya perceraian dalam perkawinan. Cerai merupakan suatu kebolehan, akan
tetapi sangat dimurkai oleh Allah.
Seorang
suami dalam menjatuhkan thalaq tidak boleh sewenang-wenang, begitu juga
seorang istri tidak boleh mengajukan fasakh ke pengadilan tanpa adanya
sebab yang membolehkannya. Bahkan persyaratan dalam melakukan perceraian
sendiri dalam Islam sangatlah diperketat. Dengan demikian, perceraian tidak
dengan mudah dapat dilakukan, karena perceraian dalam perkawinan merupakan
perbuatan yang bertentangan dengan semangat ajaran Islam.
Perceraian
dengan jalan fasakh bagi pihak istri dapat dilakukan apabila suami tidak
menjalankan kewajiban-kewajibannya yang dapat mengakibatkan tidak terpenuhinya
hak-hak istri atau tindakan-tindakan suami yang dapat menimbulkan madharat
bagi istri. Maka dari itu, jika istri ingin melepaskan diri dari
tindakan-tindakan suaminya yang tidak disenanginya, pihak istri dapat mengajukan
fasakh ke Pengadilan.
Seorang
istri mempunyai hak untuk melakukan gugatan cerai dengan jalan fasakh,
yang secara harfiah berarti “mencabut” atau “menghapus”, maksudnya ialah:
perceraian yang disebabkan oleh timbulnya hal-hal yang dianggap berat oleh
suami atau istri atau keduanya sehingga mereka tidak sanggup untuk melaksanakan
kehidupan suami istri dalam mencapai tujuannya.
Selanjutnya
mengenai fasakh suatu perkawinan, para
ulama berbeda pendapat dalam menentukan aib (cacat) yang dapat dijadikan alasan
untuk mem-fasakh pernikahan. Imam
Malik dan Syafi’i sependapat bahwa penolakan dapat terjadi karena empat macam
penyakit (cacat), yaitu: gila, lepra, kusta, dan penyakit kelamin yang
menghalangi jima’, adakalanya tumbuh
tulang bagi orang perempuan, impoten atau terpotong penisnya (kebiri) bagi orang
laki-laki. Sementara Imam Abu Hanifah bersama para pengikutnya dan ats-Tsauri
berpendapat, bahwa seorang perempuan tidak dapat di thalaq kecuali karena dua cacat saja, yaitu tumbuh tulang dan
tumbuh daging.
Jumhur ulama
berpendapat, cacat sebagaimana yang
disebutkan di atas bisa dijadikan alasan untuk menuntut cerai dalam bentuk fasakh.
Mereka beralasan hadits Rasulullah SAW sebagai berikut:
وعن سعيد بن
المسيب أن عمر بن الخطاب رضي الله عنه قال
: أيما رجل تزوج امرأة فدخل بها فو جدها
برصاء أو مجنو نة او مجذ ومه فلها الصداق بمسيسه إياها، وهو له على من غره منها (أخرجه سعيد
بن منصور ومالك وابن أبى شيبة، ورجاله ثقات)
Artinya:
“Dari Said bin Al-Musayyab bahwa Umar bin Khahthab RA Berkata: lelaki mana
saja yang menikahi seseorang perempuan lalu ia menyetubuhinya dan mendapatinya
penyakit kusta, gila, atau lepra maka
bagi perempuan itu mahar karena ia menyetubuhinya dan mahar
itu atas orang yang memperdayainya”. (HR. Said bin Manshur, Malik dan Ibnu Abu
Syaibah, para perawinya dapat dipercaya).
Mayoritas
ulama berpendapat bahwa penyakit atau cacat yang diderita sebelum, sesudah atau
pada saat akad nikah memiliki status yang sama dalam menentukan pilihan (itsbat
khiyar) karena akad nikah merupakan ikatan perjanjian yang didasarkan
untuk mencapai pemanfaatan dan munculnya faktor yang merusak tujuan mencapai
pemanfaatan tersebut diringi dengan munculnya
peluang untuk menentukan pilihan (untuk membatalkan akad nikah tersebut).
Pendapat mayoritas ulama ini memandang tujuan dan kehidupan perkawinan harus
didasarkan pada ketenangan dan cinta kasih yang tidak mungkin timbul apabila
salah satu pihak cacat atau berpenyakit yang membuat pihak lain tidak mau
menderitanya.
Fasakh dalam ketentuan
Kompilasi Hukum Islam (KHI) diatur dalam bentuk putusnya perkawinan, yang
disebabkan kematian, perceraian, dan putusan pengadilan. Putusnya perkawinan
yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena thalaq atau
berdasarkan gugatan perceraian. Dalam ketentuan KHI Pasal 116 huruf (e) disebutkan
bahwa perceraian dapat terjadi karena alasan salah satu pihak mendapat cacat
badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai
suami atau istri.
Berbeda dengan
itu, Ibnu Hazm berpendapat bahwa kelemahan atau cacat sebagaimana yang
disebutkan di atas tidak bisa dijadikan alasan untuk menuntut fasakh baik bagi suami maupun istri.
Sebagaimana pernyataannya:
لافسخ
النكاح بعد صحته بجذام حادث ولا ببرص كذلك، ولابجنون كذلك، ولابأن يجد بها شيئا من
هذه العيوب، ولابأن تجده هى كذلك، ولا بعنانة، ولا بداءفرجولا بشيئ من العيوب
Artinya: “Nikah tidak di fasakh sesudah sahnya
dengan sebab penyakit sopak, kusta dan gila yang baru terjadi, dan nikah itu
tidak difasakh karena suami menemukan salah satu dari cacat-cacat yang baru
datang pada istri, demikian juga kalau istri mendapatkan penyakit yang baru
datang pada suaminya. Dan nikah tidak difasakh sebab impoten, sakit kemaluan
dan jenis apaun cacatnya”.
Dengan alasan bahwa:
انه
لايصح فى ذلك شيئ عن احد من الصحابة، واماالرواية عن عمر، وعلى فمنقطعة، وعن ابن
عباس من طر يق لا خيرفيه ـثم لوصح لنكن لا حجة فيه، لأنه لا حجة في قول احد دون
رسولالله صلى الله عليه وسلم مع اختلاف تلك الرو اية على ـ انقطا عها ـ فقد جاء عن
على مايوافق قو لنا، فليس ما روى من خلاف ذلك حجة، انما هو قول كقول
Artinya: “Bahwasanya tidak benar menjadikan
riwayat yang diriwayatkan dari salah satu sahabat sebagai dasar tertolaknya
pernikahan (fasakh nikah) karena cacat. Adapun riwayat dari Umar, dan Ali
adalah riwayat yang munqati’ dan riwayat dari Ibnu Abbas dari segi sanadnya
tidak ada kebaikannya- kalaupun riwayat itu benar maka tidak dapat dijadikan
hujjah, karena tidak ada hujjah atas suatu perkataan seseorang kecuali sabda
Rasulullah SAW, disertai adanya perbedaan atas kemunqati’an riwayat-riwayat itu
maka riwayat dari Alilah yang sesuai dengan pendapat kami, maka riwayat yang
selain itu tidak dapat dijadikan hujjah, karena itu hanya sekedar suatu
pendapat”.
Dari
uraian di atas penyusun tertarik untuk mengangkat dan mengkaji lebih jauh
tentang fasakh suatu perkawinan karena alasan cacat badan menurut
pemikiran Ibnu Hazm dan ketentuan Hukum dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), karena
perbedaan dalam berijtihad mengakibatkan berbeda dalam fiqh sebagai hasil dari
ijtihad tersebut.
Dalam
hal ini penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut yang akan dituangkan dalam
bentuk karya ilmiyah dengan judul: Fasakh Suatu Perkawinan Karena Alasan
Cacat Badan (Studi Komparasi antara Pemikiran Ibnu Hazm dalam Kitab
Al-Muhalla dengan Kompilasi Hukum Islam)).
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang yang telah dikemukakan diatas, maka yang menjadi permasalahan
dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana
pandangan Ibnu Hazm mengenai faskh suatu perkawinan karena alasan cacat badan dalam
kitab Al-Muhalla?
2. Bagaimana
relevansi antara pemikiran Ibnu Hazm dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) tentangfasakh
suatu perkawinan karena alasan cacat badan dengan konteks hukum perkawinan di Indonesia?
C. Tujuan
dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan
Penelitian
Untuk mengetahui pemikiran hukum
Ibnu Hazm tentang hukum memfasakh suatu perkawinan karena alasan cacat badan
dalam kitab Al-Muhalla. Dan mengetahui relevansi antara pemikiran Ibnu Hazm dan
Kompilasi Hukum Islam (KHI) tentang memfasakh suatu perkawinan karena alasan
cacat badan dengan konteks hukum Indonesia.
2. Kegunaan
Penelitian
1) Kegunaan
yang utama dari hasil penelitian ini yaitu mencapai ridha Allah SWT, serta
menambah ilmu, juga sebagai bahan informasi bagi masyarakat Islam, baik dalam
kalangan intelektual maupun dari kalangan orang awam tentang hukum Islam.
Khususnya yang berkenaan dengan cacat badan penyebab fasakh dalam pernikahan menurut pendapat Imam Ibnu Hazm.
2) Sebagai
sebuah karya ilmiah, dan kiranya dapat menambah referensi atau literatur bacaan
bagi para pembaca dalam kajian fiqih, terutama fiqih munakahat.
3) Sebagai
salah satu bacaan yang dapat mengembangkan khazanah ilmu pengetahuan.
4) Sebagai
persyaratan mencapai gelar Sarjana Strata 1 (satu) di Fakultas Syari’ah dan
Ekonomi Islam jurusan Hukum Keluarga (Ahwal
Al-Sakhsiyah), Institut Agama Islam Negeri Syekh Nurjati Cirebon.
D. Tinjauan
Pustaka
Penelitian
mengenai perkawinan sebenarnya bukan hal yang baru, demikian juga mengenai
perceraian. Cukup banyak serta tidak begitu sulit untuk didapati serta
dijadikan sebagai acuan, baik berupa karya tulis, hasil penelitian maupun buku-buku.
Mengenai literatur yang berkenaan dengan tema berupa skripsi yang membahas
tentang perkawinan khususnya perceraian, diantaranya:
Karya
Sugianto yang berjudul: Fasakh Perkawinan karena Ketidakmampuan Suami
Memberi Nafkah Lahir Kepada Istri menurut Ulama Hanafiyah dan Ulama Malikiyah,
dalam karyanya ini sugianto mencoba membandingkan pendapat kedua imam tersebut
tentatang fasakh perkawinan dengan
alasan tidak adanya nafkah lahir dan mencari alasan-alasan yang menyebabkan
terjadinya perbedaan pendapat diantara kedua imam tersebut.
Karya
Azizah yang berjudul: Ketidakmampuan Nafkah Lahir Suami Sebagai Alasan
Perceraian (Studi Komparasi Antara Pendapat Imam Malik dan Ibnu Hazm). Saudara Azizah
disini hanya membahas perbedaan pendapat antara Imam Malik dan Ibnu Hazm
tentang perceraian dengan alasan suami miskin.
Karya
Rohmad yang berjudul: Tinjauan Hukum Islam Terhadap Perkara Perceraian dengan
Alasan Suami Lemah Syahwat (Studi Kasus di Pengadilan Agama Sleman Berdasarkan
Putusan Perkara No.655/Pdt.G/2006/PA.Slmn). Membahas tentang bagaimana Putusan Hakim
terhadap perceraian dengan alasan suami lemah syahwat.
putusan dijatuhkan, setelah hakim Pengadilan Agama Sleman telah berupaya
mendamaikan kedua belah pihak dengan cara menasehati penggugat agar mau hidup
rukun kembali dengan tergugat dan mempertahankan rumah tangganya tidak berhasil
dilakukan.
Karya
Rini Astuti yang berjudul: Perceraian karena Cacat Tubuh (studi komparasi
antara UU NO.1 Tahun 1974 tentang perkawinan dengan pandangan mazhab syafi’i).
Dalam skripsi ini penyusunnya berkesimpulan bahwa diantara kebanyakan orang
yang cacat ada yang tetap sangup menjalankan kewajibannya, sebaliknya banyak
orang yang cacat tetapi tidak sanggup menjalankan kewajibannya sebagai suami.
Cacat atau penyakit yang diderita tergugat tidak sampai mengakibatkan lumpuhnya
secara total kemampuan menjalankan fungsi sebagai suami dan kepala keluarga,
kondisi cacat yang seperti itu tidak dapat dijadikan dasar gugatan perceraian.
Berdasarkan
telaah karya-karya sejenis terdahulu, maka penyusun menganggap belum ada karya
yang spesifik membahas dan menjelaskan mengenai fasakh suatu perkawinan yang di
sebabkan oleh cacat badan.
E. Metode
Penelitian
1. Jenis
Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis
penelitian kepustakaan, yaitu dengan jalan melakukan penelitian terhadap
sumber-sumber tertulis. Dalam penelitan ini dilakukan dengan mengkaji dokumen
atau sumber tertulis seperti kitab/buku, majalah, dan lain-lain
2. Sumber
Data
Sumber data merupakan subyek dari mana
data dapat diperoleh, adapun dalam penelitian ini penulis menggunakan sumber
data sebagai berikut:
a. Data
primer, sumber data yang digunakan dalam penyusunan dan penulisan skripsi ini
diperolehi melalui penyelidikan perpustakaan yaitu dengan rujukan utama
terhadap kitab Al-Muhalla karangan Ibnu Hazm, Juz VII, Beirut: Dar Al-Fikr, dan
buku Kompilasi Hukum Islam (KHI).
b. Data
sekunder, yaitu jenis data yang dapat dijadikan sebagai pendukung data pokok.
Sumber data sekunder yang penulis gunakan yaitu dengan cara mengumpulkan
data-data dari perpustakaan atau pengumpulan data pustaka dari buku-buku yang
digunakan sebagai acuan yang ada relevansinya dalam
masalah yang sedang penyusun teliti, dan juga sumber-sumber lain atau data tertentu
seperti: jurnal, majalah, buletin dan yang lainnya.
3. Pengumpulan
Data
Dalam pengumpulan data ini penulis
menggunakan teknik dokumentasi yaitu dengan meneliti sejumlah kepustakaan, yaitu:
kitab, buku-buku, hasil penelitian, jurnal, internet, dan literatur lainnya.
Sehingga dijadikan bahan untuk menyelesaikan masalah dalam penelitian ini.
4. Metode
Analisa Data
Metode analisa
data yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah logika deduksi, yaitu
logika berfikir yang bertumpu pada kaidah-kaidah umum yang ada dan hasilnya
dapat memecahkan persoalan khusus, yaitu pemikiran sang tokoh.
F. Pendekatan
Penelitian
Pendekatan
penelitian yang digunakan
dalam skripsi ini adalah dengan menggunakan pendekatan normatif, yaitu
pendekatan yang didasarkan pada ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits, dan menggunakan
pendekatan sosio historis, dengan mengkaji latar belakang kehidupan dari tokoh
yang diangkat dalam hal ini adalah Ibnu Hazm, agar dapat diketahui sejauh mana
orisinalitas dan pengaruhnya terhadap pemikiran tokoh tersebut.
G. Sistematika
Penulisan
Adapun
sistematika penulisan dalam penelitian ini terdiri dari lima bab, yang
masing-masing bab mempunyai kaitan erat satu sama lainnya. yaitu sebagai
berikut:
BAB I
|
:
|
Terdiri dari
latar belakang masalah, rumusan masalahan, tujuan dan kegunaan penelitian,
penelitian terdahulu, kerangka teoritik, metode penelitian, dan sistematika
penulisan.
|
BAB II
|
:
|
Merupakan
tinjauan umum yang membahas pengertian fasakh menurut fiqh dan
Undang-undang Perkawinan yang meliputi pengertian fasakh, sebab-sebab
terjadinya fasakh, pelaksanaan fasakh, akibat hukum fasakh,
perbedaan fasakh dengan thalaq serta fasakh perkawinan
menurut undang-undang perkawinan.
|
BAB III
|
:
|
Berisikan
biografi Ibnu Hazm, yang terdiri dari riwayat hidup, pendidikan dan karya-karyanya,
serta pola penetapan hukumnya.
|
BAB IV
|
:
|
Hukum
memfasakh nikah karena cacat badan menurut Ibnu Hazm dan KHI, dan juga
relevansinya dengan hukum perkawinan di Indonesia
|
BAB V
|
:
|
Penutup
terdiri dari kesimpulan dan saran
|
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Basam.
Abdullah bin Abdurrahahman, Syarah Bulugul Maram, juz V, Jakarta:
Pustaka Azzam, 2006.
Al-Hamdani,
Risalah Nikah, terj. Agus Salim, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: Pustaka
Amani, 2002.
Hazm.
Ibnu, Al-Muhalla, juz VII, Beirut: Dar Al-Fikr, t.th.
Kamal
bin as-Sayyid Salim. Abu Malik, Shahih Fikih Sunnah, jilid. 3, Jakarta:
Pustaka Azzam, 2007.
Latif.
Djamil, Aneka Hukum Perceraian di Indonesia, cet. ke-2, Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1985.
Muchtar.
Kamal, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, cet. Ke-3, Jakarta:
Bulan Bintang, 1993), hlm.212.
Tihami,
Fiqih Munakahat, Jakarta: Rajawali
Pers, 2009.
Nur
Djamaan, Fiqih Munakahat..., hal. 130
Tihami,
Fiqih Munakahat, (Jakarta: Rajawali
Pers, 2009 ), hal. 195
Al-Hamdani,
Risalah Nikah, terj. Agus Salim, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta:
Pustaka Amani, 2002), hal. 271
Al-Hamdani, Risalah Nikah..., hal.
273
Djamil
Latif, Aneka Hukum Perceraian di Indonesia, cet. ke-2 (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1985), hal. 29
Kamal
Muchtar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, cet. Ke-3 (Jakarta:
Bulan Bintang, 1993), hal. 212
Abdullah bin Abdurrahahman Al-Basam, Syarah Bulugul Maram, juz V,
(Jakarta: Pustaka Azzam, 2006), hal. 401
Abu
Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, Shahih Fikih Sunnah, jilid. 3,
(Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), hal. 635
Al-Hamdani,
Risalah Nikah..., hal.
276
Ibnu
Hazm, Al-Muhalla, juz VII, (Beirut: Dar Al-Fikr, t.th), hal. 109
Komentar