Langsung ke konten utama

Unggulan

skenario sidang mediasi

Penetapan Penunjukan Mediator : PENETAPAN Nomor : 001/Pdt.G/2015/PS.SNC. Ketua Majelis Pengadilan Semu Syekh Nurjati Cirebon ; Membaca surat gugatan tertanggal 18 Maret 2015 Nomor : 001/Pdt.G/2015/PS.SNC. dalam perkara antara : ROSINAH BINTI VALENTINO ROSSID , sebagai Penggugat ; Melawan : NAHRUL BIN HAYAT , sebagai Tergugat ; Membaca, Penetapan Ketua Pengadilan Semu Syekh Nurjati Cirebon tertanggal 18 Maret 2015 Nomor : 001/Pdt.G/2015/PS.SNC. tentang Penunjukan Majelis Hakim; Membaca, Penetapan Ketua Majelis Hakim Pengadilan Semu Syekh Nurjati Cirebon tertanggal 18 Maret 2015 Nomor : 001/Pdt.G/2015/PS.SNC. tentang Penetapan Hari Sidang ; Menimbang, bahwa pada hari sidang yang telah ditentukan Penggugat dan Tergugat hadir di persidangan ; Menimbang, bahwa dalam usaha mendamaikan para pihak sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 130 HIR/154 RBg dan Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, Ketua Majlis Hakim menerang...

Pembuktian dalam KUHAP



BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar belakang
Pembuktian benar  tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan, merupakan bagian yang terpenting dalam acara pidana, dalam hal ini pun hak asasi manusia dipertaruhkan. Bagaimana akibatnya jika seseorang yang didakwa dinyatakan terbukti melakukan perbuatan yang didakwa dinyatakan terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan berdasarkan alat alat bukti yang ada disertai keyakinan hakim, padahal tidak benar. Untuk inilah maka hukum acara pidana bertujuan untuk mencari kebenaran materil, berbeda dengan hukum acara perdata yang cukup puas dengan kebenaran formal.
Sejarah perkembangan hukum acara pidana menunjukkan bahwa ada beberapa system atau teori untuk membuktikan perbuatan yang didakwakan. sistem atau teori pembuktian ini bervariasi menurut waktu dan tempat (negara).
Mencari kebenaran materil itu sangatlah tidak mudah. Alat alat bukti yang tersedia menurut undang-undang sangat relatif, alat bukti seperti kesaksian, menjadi kabur dan sangat relatif. Kesaksian diberikan oleh manusia yang mempunyi sifat pelupa. Bahkan menurut psikologi, penyaksian suatu peristiwa yang baru saja terjadi oleh beberapa orang akan berbeda.

B.     Rumusan Masalah
1.      Seperti Apa pengertian Pembuktian Dalam Pembuktian Acara Pidana?
2.      Seperti Apa Macam-Macam Bukti, Barang Bukti Dan Alat Bukti dalam Pembuktian Acara Pidana?
3.      Bagaimana Sistem Pembuktian dalam KUHAP?




BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Pembuktian dalam Peradilan Pidana
Pengertian pembuktian sangat beragam, setiap ahli hukum memiliki  definisi masing-masing mengenai pembuktian. Banyak ahli hukum yang  mendefinisikan pembuktian ini melalui makna kata membuktikan.
Membuktikan menurut Sudikno Mertokusumo[1] disebut dalam arti yuridis  yaitu memberi dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberi kepastian tentang kebenaran  peristiwa yang diajukan. Lain halnya dengan definisi membuktikan yang diungkapkan oleh Subekti. Subekti[2] menyatakan bahwa membuktikan adalah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan.[3]
Berdasarkan definisi tersebut, membuktikan dapat dinyatakan sebagai proses menjelaskan kedudukan hukum para pihak yang sebenarnya dan didasarkan pada dalil-dalil yang dikemukakan para pihak, sehingga pada  akhirnya hakim akan mengambil kesimpulan siapa yang benar dan siapa yang salah.
Proses pembuktian atau membuktikan mengandung maksud dan usaha untuk menyatakan kebenaran atas sesuatu peristiwa, sehingga dapat diterima akal terhadap kebenaran peristiwa tersebut.[4] mengandung arti bahwa benar suatu peristiwa pidana telah terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya, sehingga harus mempertanggungjawabkannya.[5]
Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang dan boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan.[6]
Hukum pembuktian merupakan sebagian dari hukum acara pidana yang mengatur macam-macam alat bukti yang sah menurut hukum, sistem  yang dianut dalam pembuktian, syarat-syarat dan tata cara Mengajukan  bukti tersebut serta kewenangan hakim untuk menerima, menolak dan  menilai suatu pembuktian.[7]
B.     Bukti, Barang Bukti Dan Alat Bukti
a.      Bukti
KUHAP tidak menjelaskan apa itu bukti. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, bukti ialah suatu hal atau peristiwa yang cukup untuk memperlihatkan kebenaran suatu hal atau peristiwa. Tindakan penyidik membuat BAP Saksi, BAP Tersangka, BAP Ahli atau memperoleh Laporan Ahli, menyita surat dan barang bukti adalah dalam rangka mengumpulkan bukti. Dengan perkataan lain bahwa:
1.      Berita Acara Pemeriksaan Saksi;
2.      Berita Acara Pemeriksaan Tersangka;
3.      Berita Acara Pemeriksaan Ahli/Laporan Ahli;
4.      Surat dan Barang bukti yang disita, kesemuanya mempunyai nilai sebagai BUKTI.
b.      Barang Bukti
Barang bukti ialah benda baik yang bergerak atau tidak bergerak, yang berwujud maupun yang tidak berwujud yang mempunyai hubungan dengan tindak pidana yang terjadi. Agar dapat dijadikan sebagai bukti maka benda-benda ini harus dikenakan penyitaan terlebih dahulu oleh penyidik dengan surat izin ketua pengadilan negeri yang di dalam daerah hukumnya benda yang dikenakan penyitaan berada. Kecuali penyitaan yang dilakukan oleh penyidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi tidak perlu ada izin ketua pengadilan negeri setempat.
Adapun benda-benda yang dapat dikenakan penyitaan adalah:
1.      Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruhnya atau sebagian diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana,
2.      Benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya.
3.      Benda yang dipergunakan menghalang-halangi penyidikan tindak pidana.
4.      Benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana.
5.      Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan.

c.       Alat Bukti
KUHAP juga tidak memberikan pengertian mengenai apa itu alat bukti. Akan tetapi pada Pasal 183 KUHAP disebutkan ”Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.
Rumusan pasal ini memberikan kita garis hukum, bahwa:
1.      Alat bukti diperoleh dari hasil pemeriksaan di sidang pengadilan.
2.      Hakim mengambil putusan berdasarkan keyakinannya.
3.      Keyakinan hakim diperoleh dari minimal dua alat bukti yang sah.

Jenis-jenis alat bukti yang sah menurut hukum, yang tertuang dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP yaitu:[8]
1.      keterangan saksi;
2.      keterangan ahli;
3.      surat;
4.      petunjuk; dan
5.      keterangan terdakwa.

1.      Keterangan Saksi
Pengertian umum dari saksi pada pasal 1 butir 26 KUHAP yang berbunyi “saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia melihat sendiri dan ia alaminya sendiri.[9]
Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu perkara yang ia dengar sendiri, ia melihat sendiri dan ia alaminya sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu (Pasal 1 butir 27 KUHAP).
Syarat Sah Keterangan Saksi
a.       Syarat formil
saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut cara agamanya masing-masing, bahwa ia akan memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak lain daripada yang sebenarnya.[10]
b.      Syarat Materiil
Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, Ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dan pengetahuannya itu.[11]
2.      Keterangan Ahli
Keterangan ahli ialah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan pada pasal (Pasal 1 butir 28 KUHAP).
Syarat Sah Keterangan Ahli
a.       Keterangan diberikan oleh seorang ahli
b.      Memiliki keahlian khusus dalam bidang tertentu
c.       Menurut pengetahuan dalam bidang keahliannya
d.      Diberikan dibawah sumpah atau janji:
Ø  Baik karena permintaan penyidik dalam bentuk laporan
Ø  Atau permintaan hakim, dalam bentuk keterangan di sidang pengadilan
Jenis Keterangan Ahli
1.      Keterangan ahli dalam bentuk pendapat atau laporan atas permintaan penyidik)
2.      Keterangan ahli yang diberikan secara lisan di sidang pengadilan (atas permintaan hakim)
3.      Keterangan ahli dalam bentuk laporan atas permintaan penyidik atau penuntut hukum
DUA KETERANGAN AHLI = SATU ALAT BUKTI.
DUA KETARANGAN AHLI = DUA ALAT BUKTI.
Contoh merupakan satu alat bukti:
Ø  Keterangan ahli A: Sebab matinya korban karena rusaknya jaringan otak
Ø  Ketarangan ahli B: luka pada kepala korban menembus batok akibat peluru keliber 45
Contoh merupakan dua alat bukti :
Ø  Keterangan Ahli A: Sebab kematian korban karena mati lemas akibat tersumbatnya saluran pernafasan.
Ø  Keterangan Ahli B: Sidik jari pada leher korban identik dengan sidik jari terdakwa.
Nilai Kekuatan Pembuktian Keterangan Ahli
a.       Mempunyai nilai kekuatan pembuktian bebas
b.      Tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang mengikat atau menentukan
c.       Penilaian sepenuhnya terserah pada hakim
3.      Surat
Perlu dibedakan antara surat sebagai alat bukti dan surat sebagai barang bukti. Surat sebagai barang bukti adalah surat yang digunakan atau sebagai hasil dari kejahatan (corpus delicti). Sedangkan surat sebagai alat bukti secara rinci telah diatur dalam Pasal 187 KUHAP dan dibuat atas sumpah jabatan atau di kuatkan dengan sumpah adalah berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang di buat dihadapannya yang memuat keterangan kejadian.
Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang undangan atau surat yang dibuat pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan dapat di peruntukkan bagi pembuktian suatu hal dan suatu keadaan
Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal yang diminta secara resmi dari padanya surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi surat dari alat pembuktian yang lain
Nilai Kekuatan Pembuktian Surat
1.      Mempunyai nilai kekuatan pembuktian bebas
2.      Tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang mengikat atau menentukan (lain halnya dalam acara perdata)
3.      Penilaian sepenuhnya terserah keyakinan hakim :
Dalam Acara Perdata, akta otentik menjadi bukti dari kebenaran seluruh isinya, sampai dibuktikan kepalsuannya. Hakim harus mengakui kekuatan akta otentik sebagai bukti diantara para pihak, sekalipun ia sendiri tidak yakin akan kebenaran hasilnya.
Sifat Dualisme Laporan Ahli, Keterangan ahli dalam bentuk pendapat atau laporan:
a)      Sebagai alat bukti keterangan ahli :
Penjelasan Pasal 186:
Keterangan ahli ini dapat juga sudah diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyelidik atau penuntu umum yang dituangkan dalam bentuk suatu laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah pada waktu menerima jabatan atau pekerjaan.
b)      Sebagai alat bukti surat
Pasal 187 c:
Surat keterangan dari seorang ahli yang membuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai suatu hal atau suatu hal atau suatu keadaan yang diminga secara resmi daripadanya.
4.      Petunjuk
Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi tindak pidana dan siapa pelakunya (Psl 188 (1).
Petunjuk dapat diperoleh dari : (Pasal 188 : 2)
a.       Keterangan saksi
b.      Surat.
c.       Keterangan Terdakwa
Bukti petunjuk sebagai upaya terakhir. petunjuk sebagai alat bukti yang sah, pada urutan keempat dari lima jenis alat bukti:
Ø  Petunjuk dapat diperoleh dari keterangan terdakwa (yang diperiksa terakhir)
Ø  Jadi petunjuk sebagai alat bukti terakhir
Ø  Petunjuk baru digunakan kalau batas minimum pembuktian belum terpenuhi
Ø  Untuk menggunakan alat bukti petunjuk, hakim harus dengan arif dan bijaksana mempertimbangkannya.
Ø  Petunjuk diperoleh melalui pemeriksaan yang: Cermat, Seksama, Berdasarkan hati nurani hakim.
5.      Keterangan terdakwa (erkentenis)
keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di Sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri (Psl 189 :1). Hal ini lebih luas daripada pengakuan terdakwa (bekentenis). Menurut Psl 189 (3) dinyatakan bahwa keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri.

C.    Sistem Pembuktian KUHAP
Adapun jenis- jenis sistem pembuktian menurut KUHAP adalah:
a)      Sistem Atau Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Semata (Conviction In Time)
Sistem ini menganut ajaran bahwa bersalah tidaknya-tidaknya  terhadap perbuatan yang didakwakan, sepenuhnya tergantung pada  penilaian "keyakinan" hakim semata-mata. Jadi bersalah tidaknya terdakwa  atau dipidana tidaknya terdakwa sepenuhnya tergantung pada keyakinan  hakim. Keyakinan hakim tidak harus timbul atau didasarkan pada alat bukti  yang ada. Sekalipun alat bukti sudah cukup kalau hakim tidak yakin, hakim  tidak boleh menjatuhkan pidana, sebaliknya meskipun alat bukti tidak ada tapi kalau hakim sudah yakin, maka terdakwa dapat dinyatakan bersalah.
Akibatnya dalam memutuskan perkara hakim menjadi subyektif sekali. Kelemahan pada sistem ini terletak pada terlalu banyak memberikan  kepercayaan kepada hakim, kepada ken-kesan perseorangan sehingga sulit untuk melakukan pengawasan. Hal ini terjadi di praktik Peradilan Prancis yang membuat pertimbangan berdasarkan metode ini, dan banyak mengakibatkan putusan bebas yang aneh.[12]
b)     Sistem atau Teori Pembuktian Berdasar Keyakinan Hakim Atas Alasan yang Logis (Conviction In Raisone)
Sistem pembuktian Conviction In Raisone masih juga mengutamakan penilaian keyakinan hakim sebagai dasar satu-satunya  alasan untuk menghukum terdakwa, akan tetapi keyakinan hakim disini harus disertai pertimbangan hakim yang nyata dan logis, diterima oleh akal pikiran yang sehat. Keyakinan hakim tidak perlu didukung alat bukti sah karena memang tidak diisyaratkan, Meskipun alat-alat bukti telah ditetapkan oleh undang-undang tetapi hakim bisa menggunakan alat-alat bukti di luar ketentuan undang-undang. Yang perlu mendapat penjelasan adalah bahwa keyakinan hakim tersebut harus dapat dijelaskan dengan alasan yang logis. Keyakinan hakim dalam sistem pembuktian convition in raisone harus dilandasi oleh "reasoning" atau alasan-alasan dan alasan itu sendiri harus 'reasonable" yakni berdasarkan alasan-alasan yang dapat diterima oleh akal dan nalar, tidak semata-mata berdasarkan keyakinan yang tanpa batas. Sistem pembuktian ini sering disebut dengan sistem pembuktian bebas.[13]
c)      Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang Positif (Positif Wettwlijks theode).
Sistem ini ditempatkan berhadap-hadapan dengan sistem pembuktian conviction in time, karena sistem ini menganut ajaran bahwa bersalah tidaknya terdakwa didasarkan kepada ada tiadanya alat-alat bukti sah menurut undang-undang yang dapat dipakai membuktikan kesalahan terdakwa. Teori positif wetteljik sangat mengabaikan dan sama sekali tidak mempertimbangkan keyakinan hakim. Jadi sekalipun hakim yakin akan kesalahan yang dilakukan terdakwa, akan tetapi dalam pemeriksaan di persidangan pengadilan perbuatan terdakwa tidak didukung alat bukti yang sah menurut undang-undang maka terdakwa harus dibebaskan.
Umumnya bila seorang terdakwa sudah memenuhi cara-cara pembuktian dan alat bukti yang sah menurut undang-undang Maka terdakwa tersebut bisa dinyatakan bersalah dan harus dipidana. Kebaikan sistem pembuktian ini, yakni hakim akan berusaha membuktikan kesalahan terdakwa tanpa dipengaruhi oleh nuraninya sehingga benar-benar obyektif karena menurut cara-cara dan alat bukti yang di tentukan oleh undang-undang kelemahannya terletak bahwa dalam sistem ini tidak memberikan kepercayaan kepada ketetapan kesan-kesan perseorangan hakim yang bertentangan dengan prinsip hukum acara pidana. Sistem pembuktian positif yang dicari adalah kebenaran format, oleh karena itu sistem pembuktian ini digunakan dalam hukum acara perdata. Positief wettelijk bewijstheori systeem di benua Eropa dipakai pada waktu berlakunya Hukum Acara Pidana yang bersifat Inquisitor. Peraturan itu menganggap terdakwa sebagai objek pemeriksaan belaka; dalam hal ini hakim hanya merupakan alat perlengkapan saja.[14]
d)     Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang Secara Negatif (negative wettelijk).
Menurut teori ini hakim hanya boleh menjatuhkan pidana apabila sedikit-dikitnya alat-alat bukti yang telah di tentukan undang-undang itu ada, ditambah dengan keyakinan hakim yang didapat dari adanya alat-alat bukti itu. Dalam pasal 183 KUHAP menyatakan sebagai berikut : " hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah Ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya".[15]
Atas dasar ketentuan Pasar 183 KUHAP ini, maka dapat disimpulkan bahwa KUHAP memakai sistem pembuktian menurut undang-undang yang negatif. Ini berarti bahwa dalam hal pembuktian harus dilakukan penelitian, apakah terdakwa cukup alasan yang didukung oleh alat pembuktian yang ditentukan oleh undang-undang (minimal dua alat bukti) dan kalau ia cukup, maka baru dipersoalkan tentang ada atau tidaknya keyakinan hakim akan kesalahan terdakwa.
Teori pembuktian menurut undang-undang negative tersebut dapat disebut dengan negative wettelijk istilah ini berarti : wettelijk berdasarkan undang-undang sedangkan negative, maksudnya adalah bahwa walaupun dalam suatu perkara terdapat cukup bukti sesuai dengan undang-undang, maka hakim belum boleh menjatuhkan hukuman sebelum memperoleh keyakinan tentang kesalahan terdakwa.[16]
Dalam sistem pembuktian yang negatif alat-alat bukti limitatief di tentukan dalam undang-undang dan bagaimana cara mempergunakannya hakim juga terikat pada ketentuan undang-undang. Dalam sistem menurut undang-undang secara terbatas atau disebut juga dengan system undang-undang secara negative sebagai intinya yang dirumuskan dalam Pasal 183, dapat disimpulkan sebagai berikut:[17]
a)      Tujuan akhir pembuktian untuk memutus perkara pidana, yang jika memenuhi syarat pembuktian dapat menjatuhkan pidana;
b)      Standar tentang hasil pembuktian untuk menjatuhkan pidana. Kelebihan sistem pembuktian negatif (negative wettelijk) adalah dalam hal membuktikan kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, hakim tidak sepenuhnya mengandalkan alat-alat bukti serta dengan cara-cara yang ditentukan oleh undang-undang, tetapi harus disertai pula keyakinan bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana. Keyakinan yang dibentuk ini harus berdasarkan atas fakta-fakta yang diperoleh dari gat bukti yang ditentukan dalam undang-undang. Sehingga dalam pembuktian benar-benar mencari kebenaran yang hakiki, jadi sangat sedikit kemungkinan terjadinya salah putusan atau penerapan hukum yang digunakan.[18]
Kekurangan teori ini hakim hanya boleh menjatuhkan pidana apabila sedikit-dikitnya alat-alat bukti yang telah di tentukan undang-undang itu ada, ditambah dengan keyakinan hakim yang didapat dari adanya alat-alat bukti itu sehingga akan memperlambat waktu dalam membuktikan bahkan memutuskan suatu perkara, karena di lain pihak pembuktian harus melalui penelitian. Tetapi dengan mencari kebenaran melalui penelitian tersebut, maka kebenaran yang terungkap benar-benar dapat dipertanggung jawabkan, dan merupakan kebenaran yang hakiki. Dalam pembuktian pidana terdapat beberapa prinsip yaitu:
a)      Hal-hal yang dimuat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Prinsip ini terdapat pada Pasal 184 ayat (2) KUHAP yang berbunyi: "Hal-hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan atau disebut dengan istilah notoke feiten. Secara garis besar dibagi menjadi dua golongan, yaitu:
Ø  Sesuatu atau peristiwa yang diketahui umum bahwa sesuatu atau peristiwa tersebut memang sudah demikian halnya atau semestinya demikian. Yang dimaksud sesuatu misalnya, harga emas lebih mahal dari perak. yang dimaksud dengan peristiwa.[19] misalnya, pada tanggal 17 Agustus diadakan peringatan hari Kemerdekaan Indonesia.
Ø  Sesuatu kenyataan atau pengalaman yang selamanya dan selalu mengakibatkan demikian atau selalu merupakan kesimpulan demikian. Misalnya, arak adalah termasuk minuman keras yang dalam takaran tertentu bisa menyebabkan seseorang mabuk.
b)      Kewajiban seorang saksi
Kewajiban seseorang menjadi saksi diatur pada penjelasan Pasal 159 ayat (2) KUHAP yang menyebutkan: Dalam hal saksi tidák hadir, meskipun telah dipanggil dengan sah dan hakim ketua sidang mempunyai cukup alasan untuk menyangka bahwa saksi itu tidak akan mau hadir, maka hakim ketua sidang dapat memerintahkan supaya saksi tersebut dihadapkan ke persidangan.
c)      Satu saksi bukan saksi (unus testis nullus testis)[20]
Prinsip ini terdapat pada Pasal 185 ayat (2) KUHAP yang menegaskan bahwa keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya.[21]
Berdasarkan KUHAP, keterangan satu saksi bukan saksi tidak berlaku bagi pemeriksaan cepat. Hal ini dapat disimpulkan dari penjelasan Pasal 184 KUHAP sebagai berikut: "Dalam acara pemeriksaan cepat, keyakinan hakim cukup didukung satu alat bukti yang sah".
d)     Pengakuan terdakwa tidak menghapuskan kewajiban penuntut umum membuktikan kesalahan terdakwa.
Prinsip ini merupakan penegasan dari lawan prinsip "pembuktian terbalik"[22] yang tidak dikenai oleh hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia. Menurut Pasal 189 ayat (4) KUHAP yang berbunyi keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti lain.
e)      Keterangan terdakwa hanya mengikat pada dirinya sendiri
Prinsip ini diatur pada Pasal 189 ayat (3) KUHAP yang menentukan bahwa: "Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinyasendiri". Ini berarti apa yang diterangkan terdakwa di sidangpengadilan hanya boleh diterima dan diakui sebagai alat bukti yangberlaku dan mengikat bagi did terdakwa sendiri.
Menurut asas ini, apa yang diterangkan seseorang dalam persidangan yang berkedudukan sebagai terdakwa, hanya dapat dipergunakan sebagai alat bukti terhadap dirinya sendiri. dalam suatu perkara terdakwa terdiri dari beberapa orang, masing-masing keterangan setiap terdakwa hanya merupakan alat bukti yang mengikat kepada dirinya sendiri. Keterangan terdakwa A tidak dapat dipergunakan terhadap terdakwa B, demikian sebaliknya.









BAB III


KESIMPULAN
Ketentuan Pasal 183 KUHAP ini maka dapat disimpulkan bahwa KUHAP memakai sistem pembuktian menurut undang-undang yang negatif. Ini berarti bahwa dalam hat pembuktian harus dilakukan penelitian, apakah terdakwa cukup alasan yang didukung oleh alat pembuktian yang ditentukan oleh undang-undang (minimal dua alat bukti) dari kalau ía cukup, maka baru dipersoalkan tentang ada atau tidaknya keyakinan hakim akan kesalahan terdakwa.





















DAFTAR PUSTAKA

Eddyono. Supriyadi Widodo, Catatan Kritis Terhadap Undang-Undang No 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Jakarta: Elsam
Fuady. Munir, Teori Hukum Pembuktian: Pidana dan Perdata, Bandung: Citra Aditya, 2006
Hamzah. Andi, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Ghana Indonesia, 1985
Harahap. M. Yahya, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali: Edisi Kedua, Jakarta: Sinar Grafika, 2006
Mertokusumo. Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty
Prinst. Darwan, Hukum Acara Pidana Dalam Praktik, Jakarta: Djambatan, 1998
Prodjohamidjojo. Martiman, Komentar atas KUHAP: Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Jakarta: Pradnya Paramitha, 1984
Sasangka. Hari dan Lily Rosita, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, Bandung: Mandar Maju, 2003
Subekti, Hukum Pembuktian, Jakarta: Pradnya Paramitha, 2001
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana




[1] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty,. Yogyakarta: Liberty, hlm. 135
[2] Subekti, Hukum Pembuktian, (Jakarta: Pradnya Paramitha, 2001), hlm. 1
[3] ibid
[4] Martiman Prodjohamidjojo, Komentar atas KUHAP: Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, (Jakarta: Pradnya Paramitha, 1984), hlm 11
[5] Darwan Prinst, Hukum Acara Pidana Dalam Praktik, (Jakarta: Djambatan, 1998), hlm. 133
[6] M.Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali: Edisi Kedua, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hlm. 273
[7] Hari Sasangka dan Lily Rosita, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, (Bandung: Mandar Maju, 2003), hlm. 10
[8] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana
[9] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana
[10] KUHAP, Pasal 160 ayat 3
[11] KUHAP, Pasal 1 butir 27
[12] Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Ghana Indonesia, 1985), hlm. 241
[13] Munir Fuady, Teori Hukum Pembuktian: Pidana dan Perdata, (Bandung: Citra Aditya, 2006), hlm. 56
[14] Darwan Prinst, Hukum Acara Pidana…, hlm. 65
[15] ibid
[16] M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan …, hlm. 319
[17] ibid
[18] Supriyadi Widodo Eddyono, Catatan Kritis Terhadap Undang-Undang No 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, (Jakarta: Elsam), hlm. 3
[19] Hari Sasangka dan Lily Rosita. 2003. Hukum Pembuktian…, hlm. 20
[20] Unus testis nullus testis merupakan asas yang menolak kesaksian dari satu orang saksi saja.
[21] Pasal 185 ayat (3): Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya
[22] Pembuktian Terbalik atau istilahnya pembuktian secara a contrario adalah seseorang tersangka ataupun terdakwa dianggap telah bersalah sebelum dibuktikan terlebih dahulu di depan persidangan dengan kata lain, beban pembuktian ada ditangan tersangka atau terdakwa.
Dalam prinsip hukum pembuktian terbalik ini melanggar Asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence) karena dgn prinsip ini, seseorangg dianggap tidak bersalah kecuali sudah dibuktikan di pengadilan berdasarkan kekuatan hukum yang sudah tetap, beban pembuktian ada di jaksa penuntut umum.

Komentar

Postingan Populer