BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Pembuktian benar tidaknya terdakwa melakukan
perbuatan yang didakwakan, merupakan bagian yang terpenting dalam acara pidana,
dalam hal ini pun hak asasi manusia dipertaruhkan. Bagaimana akibatnya jika
seseorang yang didakwa dinyatakan terbukti melakukan perbuatan yang didakwa
dinyatakan terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan berdasarkan alat alat
bukti yang ada disertai keyakinan hakim, padahal tidak benar. Untuk inilah maka
hukum acara pidana bertujuan untuk mencari kebenaran materil, berbeda dengan
hukum acara perdata yang cukup puas dengan kebenaran formal.
Sejarah perkembangan hukum acara pidana menunjukkan
bahwa ada beberapa system atau teori untuk membuktikan perbuatan yang
didakwakan. sistem atau teori pembuktian ini bervariasi menurut waktu dan
tempat (negara).
Mencari kebenaran materil itu sangatlah tidak mudah.
Alat alat bukti yang tersedia menurut undang-undang sangat relatif, alat bukti
seperti kesaksian, menjadi kabur dan sangat relatif. Kesaksian diberikan oleh
manusia yang mempunyi sifat pelupa. Bahkan menurut psikologi, penyaksian suatu
peristiwa yang baru saja terjadi oleh beberapa orang akan berbeda.
B.
Rumusan Masalah
1.
Seperti Apa pengertian Pembuktian Dalam
Pembuktian Acara Pidana?
2.
Seperti Apa Macam-Macam Bukti, Barang Bukti Dan Alat Bukti dalam
Pembuktian Acara Pidana?
3.
Bagaimana Sistem Pembuktian
dalam KUHAP?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Pembuktian
dalam Peradilan Pidana
Pengertian pembuktian sangat
beragam, setiap ahli hukum memiliki definisi
masing-masing mengenai pembuktian. Banyak ahli hukum yang mendefinisikan pembuktian ini melalui makna
kata membuktikan.
Membuktikan menurut Sudikno
Mertokusumo
disebut dalam arti yuridis yaitu memberi
dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan
guna memberi kepastian tentang kebenaran
peristiwa yang diajukan. Lain halnya dengan definisi membuktikan yang
diungkapkan oleh Subekti. Subekti
menyatakan bahwa membuktikan adalah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil
atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan.
Berdasarkan definisi tersebut,
membuktikan dapat dinyatakan sebagai proses menjelaskan kedudukan hukum para
pihak yang sebenarnya dan didasarkan pada dalil-dalil yang dikemukakan para
pihak, sehingga pada akhirnya hakim akan
mengambil kesimpulan siapa yang benar dan siapa yang salah.
Proses pembuktian atau membuktikan
mengandung maksud dan usaha untuk menyatakan kebenaran atas sesuatu peristiwa,
sehingga dapat diterima akal terhadap kebenaran peristiwa tersebut.
mengandung arti bahwa benar suatu peristiwa pidana telah terjadi dan
terdakwalah yang bersalah melakukannya, sehingga harus
mempertanggungjawabkannya.
Pembuktian adalah
ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang
dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa.
Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang
dibenarkan undang-undang dan boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan
yang didakwakan.
Hukum pembuktian merupakan sebagian dari hukum acara pidana
yang mengatur macam-macam alat bukti yang sah menurut hukum, sistem yang dianut dalam pembuktian, syarat-syarat
dan tata cara Mengajukan bukti tersebut
serta kewenangan hakim untuk menerima, menolak dan menilai suatu pembuktian.
B.
Bukti, Barang Bukti Dan Alat Bukti
a.
Bukti
KUHAP tidak menjelaskan apa itu bukti. Menurut Kamus
Umum Bahasa Indonesia, bukti ialah suatu hal atau peristiwa yang cukup untuk
memperlihatkan kebenaran suatu hal atau peristiwa. Tindakan penyidik membuat
BAP Saksi, BAP Tersangka, BAP Ahli atau memperoleh Laporan Ahli, menyita surat
dan barang bukti adalah dalam rangka mengumpulkan bukti. Dengan perkataan lain
bahwa:
1. Berita Acara Pemeriksaan Saksi;
2. Berita Acara Pemeriksaan Tersangka;
3. Berita Acara Pemeriksaan Ahli/Laporan
Ahli;
4. Surat dan Barang bukti yang disita,
kesemuanya mempunyai nilai sebagai BUKTI.
b.
Barang Bukti
Barang bukti ialah benda baik yang bergerak atau tidak bergerak, yang
berwujud maupun yang tidak berwujud yang mempunyai hubungan dengan tindak
pidana yang terjadi. Agar dapat dijadikan sebagai bukti maka benda-benda ini
harus dikenakan penyitaan terlebih dahulu oleh penyidik dengan surat izin ketua
pengadilan negeri yang di dalam daerah hukumnya benda yang dikenakan penyitaan
berada. Kecuali penyitaan yang dilakukan oleh penyidik pada Komisi
Pemberantasan Korupsi tidak perlu ada izin ketua pengadilan negeri setempat.
Adapun benda-benda yang dapat dikenakan penyitaan adalah:
1. Benda atau tagihan tersangka atau
terdakwa yang seluruhnya atau sebagian diduga diperoleh dari tindak pidana atau
sebagai hasil dari tindak pidana,
2. Benda yang telah dipergunakan secara
langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya.
3. Benda yang dipergunakan
menghalang-halangi penyidikan tindak pidana.
4. Benda yang khusus dibuat atau
diperuntukkan melakukan tindak pidana.
5. Benda lain yang mempunyai hubungan
langsung dengan tindak pidana yang dilakukan.
c.
Alat Bukti
KUHAP juga tidak memberikan pengertian mengenai apa
itu alat bukti. Akan tetapi pada Pasal 183 KUHAP disebutkan ”Hakim tidak boleh
menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua
alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana
benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.
Rumusan pasal ini memberikan kita garis hukum, bahwa:
1. Alat bukti diperoleh dari hasil
pemeriksaan di sidang pengadilan.
2. Hakim mengambil putusan berdasarkan
keyakinannya.
3. Keyakinan hakim diperoleh dari minimal
dua alat bukti yang sah.
Jenis-jenis alat bukti yang sah menurut
hukum, yang tertuang dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP yaitu:
1.
keterangan
saksi;
2.
keterangan
ahli;
3.
surat;
4.
petunjuk; dan
5.
keterangan terdakwa.
1.
Keterangan Saksi
Pengertian umum dari saksi pada pasal 1 butir 26
KUHAP yang berbunyi “saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna
kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana
yang ia dengar sendiri, ia melihat sendiri dan ia alaminya sendiri.
Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang
berupa keterangan dari saksi mengenai suatu perkara yang ia dengar sendiri, ia
melihat sendiri dan ia alaminya sendiri dengan menyebut alasan dari
pengetahuannya itu (Pasal 1 butir 27 KUHAP).
Syarat Sah Keterangan Saksi
a. Syarat formil
saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut cara agamanya
masing-masing, bahwa ia akan memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak
lain daripada yang sebenarnya.
b. Syarat Materiil
Keterangan
saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan
dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, Ia lihat
sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dan pengetahuannya itu.
2. Keterangan Ahli
Keterangan ahli ialah keterangan yang diberikan oleh
seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat
terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan pada pasal (Pasal 1
butir 28 KUHAP).
Syarat Sah Keterangan Ahli
a. Keterangan diberikan oleh seorang ahli
b. Memiliki keahlian khusus dalam bidang
tertentu
c. Menurut pengetahuan dalam bidang
keahliannya
d. Diberikan dibawah sumpah atau janji:
Ø Baik karena permintaan penyidik dalam
bentuk laporan
Ø Atau permintaan hakim, dalam bentuk
keterangan di sidang pengadilan
Jenis Keterangan Ahli
1. Keterangan ahli dalam bentuk pendapat
atau laporan atas permintaan penyidik)
2. Keterangan ahli yang diberikan secara
lisan di sidang pengadilan (atas permintaan hakim)
3. Keterangan ahli dalam bentuk laporan atas
permintaan penyidik atau penuntut hukum
DUA KETERANGAN AHLI = SATU ALAT BUKTI.
DUA KETARANGAN AHLI = DUA ALAT BUKTI.
Contoh merupakan satu alat bukti:
Ø Keterangan ahli A: Sebab matinya korban
karena rusaknya jaringan otak
Ø Ketarangan ahli B: luka pada kepala
korban menembus batok akibat peluru keliber 45
Contoh merupakan dua alat bukti :
Ø Keterangan Ahli A: Sebab kematian korban
karena mati lemas akibat tersumbatnya saluran pernafasan.
Ø Keterangan Ahli B: Sidik jari pada leher
korban identik dengan sidik jari terdakwa.
Nilai Kekuatan Pembuktian Keterangan Ahli
a. Mempunyai nilai kekuatan pembuktian bebas
b. Tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian
yang mengikat atau menentukan
c. Penilaian sepenuhnya terserah pada hakim
3. Surat
Perlu dibedakan antara surat sebagai alat bukti dan
surat sebagai barang bukti. Surat sebagai barang bukti adalah surat yang
digunakan atau sebagai hasil dari kejahatan (corpus delicti).
Sedangkan surat sebagai alat bukti secara rinci telah diatur dalam Pasal 187
KUHAP dan dibuat atas sumpah jabatan atau di kuatkan dengan sumpah adalah
berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum
yang berwenang atau yang di buat dihadapannya yang memuat keterangan kejadian.
Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang
undangan atau surat yang dibuat pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata
laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan dapat di peruntukkan bagi pembuktian
suatu hal dan suatu keadaan
Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat
pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal yang diminta secara resmi
dari padanya surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan
isi surat dari alat pembuktian yang lain
Nilai Kekuatan Pembuktian Surat
1. Mempunyai nilai kekuatan pembuktian bebas
2. Tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian
yang mengikat atau menentukan (lain halnya dalam acara perdata)
3. Penilaian sepenuhnya terserah keyakinan
hakim :
Dalam Acara Perdata, akta otentik menjadi bukti dari
kebenaran seluruh isinya, sampai dibuktikan kepalsuannya. Hakim harus mengakui
kekuatan akta otentik sebagai bukti diantara para pihak, sekalipun ia sendiri
tidak yakin akan kebenaran hasilnya.
Sifat Dualisme Laporan Ahli, Keterangan ahli dalam
bentuk pendapat atau laporan:
a) Sebagai alat bukti keterangan ahli :
Penjelasan Pasal 186:
Keterangan ahli ini dapat juga sudah diberikan pada
waktu pemeriksaan oleh penyelidik atau penuntu umum yang dituangkan dalam
bentuk suatu laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah pada waktu menerima
jabatan atau pekerjaan.
b) Sebagai alat bukti surat
Pasal 187 c:
Surat keterangan dari seorang ahli yang membuat
pendapat berdasarkan keahliannya mengenai suatu hal atau suatu hal atau suatu
keadaan yang diminga secara resmi daripadanya.
4. Petunjuk
Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan
yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain maupun
dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi tindak pidana
dan siapa pelakunya (Psl 188 (1).
Petunjuk dapat diperoleh dari : (Pasal 188 : 2)
a. Keterangan saksi
b. Surat.
c. Keterangan Terdakwa
Bukti petunjuk sebagai upaya terakhir. petunjuk
sebagai alat bukti yang sah, pada urutan keempat dari lima jenis alat bukti:
Ø Petunjuk dapat diperoleh dari keterangan
terdakwa (yang diperiksa terakhir)
Ø Jadi petunjuk sebagai alat bukti terakhir
Ø Petunjuk baru digunakan kalau batas
minimum pembuktian belum terpenuhi
Ø Untuk menggunakan alat bukti petunjuk,
hakim harus dengan arif dan bijaksana mempertimbangkannya.
Ø Petunjuk diperoleh melalui pemeriksaan
yang: Cermat, Seksama, Berdasarkan hati nurani hakim.
5. Keterangan terdakwa (erkentenis)
keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan
di Sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau
alami sendiri (Psl 189 :1). Hal ini lebih luas daripada pengakuan terdakwa (bekentenis).
Menurut Psl 189 (3) dinyatakan bahwa keterangan terdakwa hanya dapat digunakan
terhadap dirinya sendiri.
C.
Sistem
Pembuktian KUHAP
Adapun jenis- jenis sistem
pembuktian menurut KUHAP adalah:
a)
Sistem Atau
Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Semata (Conviction In Time)
Sistem ini menganut ajaran bahwa
bersalah tidaknya-tidaknya terhadap
perbuatan yang didakwakan, sepenuhnya tergantung pada penilaian "keyakinan" hakim
semata-mata. Jadi bersalah tidaknya terdakwa atau dipidana tidaknya terdakwa sepenuhnya
tergantung pada keyakinan hakim.
Keyakinan hakim tidak harus timbul atau didasarkan pada alat bukti yang ada. Sekalipun alat bukti sudah cukup
kalau hakim tidak yakin, hakim tidak
boleh menjatuhkan pidana, sebaliknya meskipun alat bukti tidak ada tapi kalau
hakim sudah yakin, maka terdakwa dapat dinyatakan bersalah.
Akibatnya dalam memutuskan perkara hakim menjadi subyektif sekali.
Kelemahan pada sistem ini terletak pada terlalu banyak memberikan kepercayaan kepada hakim, kepada ken-kesan
perseorangan sehingga sulit untuk melakukan pengawasan. Hal ini terjadi di
praktik Peradilan Prancis yang membuat pertimbangan berdasarkan metode ini, dan
banyak mengakibatkan putusan bebas yang aneh.
b)
Sistem atau
Teori Pembuktian Berdasar Keyakinan Hakim Atas Alasan yang Logis (Conviction
In Raisone)
Sistem pembuktian Conviction In Raisone masih juga
mengutamakan penilaian keyakinan hakim sebagai dasar satu-satunya alasan untuk menghukum terdakwa, akan tetapi
keyakinan hakim disini harus disertai pertimbangan hakim yang nyata dan logis,
diterima oleh akal pikiran yang sehat. Keyakinan hakim tidak perlu didukung
alat bukti sah karena memang tidak diisyaratkan, Meskipun alat-alat bukti telah
ditetapkan oleh undang-undang tetapi hakim bisa menggunakan alat-alat bukti di
luar ketentuan undang-undang. Yang perlu mendapat penjelasan adalah bahwa
keyakinan hakim tersebut harus dapat dijelaskan dengan alasan yang logis.
Keyakinan hakim dalam sistem pembuktian convition in raisone harus dilandasi
oleh "reasoning" atau alasan-alasan dan alasan itu sendiri
harus 'reasonable" yakni berdasarkan alasan-alasan yang dapat diterima
oleh akal dan nalar, tidak semata-mata berdasarkan keyakinan yang tanpa batas.
Sistem pembuktian ini sering disebut dengan sistem pembuktian bebas.
c)
Teori
Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang Positif (Positif Wettwlijks theode).
Sistem ini ditempatkan
berhadap-hadapan dengan sistem pembuktian conviction in time, karena sistem ini
menganut ajaran bahwa bersalah tidaknya terdakwa didasarkan kepada ada tiadanya
alat-alat bukti sah menurut undang-undang yang dapat dipakai membuktikan
kesalahan terdakwa. Teori positif wetteljik sangat mengabaikan dan sama sekali
tidak mempertimbangkan keyakinan hakim. Jadi sekalipun hakim yakin akan
kesalahan yang dilakukan terdakwa, akan tetapi dalam pemeriksaan di persidangan
pengadilan perbuatan terdakwa tidak didukung alat bukti yang sah menurut
undang-undang maka terdakwa harus dibebaskan.
Umumnya bila seorang terdakwa sudah memenuhi cara-cara pembuktian
dan alat bukti yang sah menurut undang-undang Maka terdakwa tersebut bisa
dinyatakan bersalah dan harus dipidana. Kebaikan sistem pembuktian ini, yakni
hakim akan berusaha membuktikan kesalahan terdakwa tanpa dipengaruhi oleh nuraninya
sehingga benar-benar obyektif karena menurut cara-cara dan alat bukti yang di
tentukan oleh undang-undang kelemahannya terletak bahwa dalam sistem ini tidak
memberikan kepercayaan kepada ketetapan kesan-kesan perseorangan hakim yang
bertentangan dengan prinsip hukum acara pidana. Sistem pembuktian positif yang
dicari adalah kebenaran format, oleh karena itu sistem pembuktian ini digunakan
dalam hukum acara perdata. Positief wettelijk bewijstheori systeem di benua
Eropa dipakai pada waktu berlakunya Hukum Acara Pidana yang bersifat
Inquisitor. Peraturan itu menganggap terdakwa sebagai objek pemeriksaan belaka;
dalam hal ini hakim hanya merupakan alat perlengkapan saja.
d)
Teori
Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang Secara Negatif (negative wettelijk).
Menurut teori ini hakim hanya boleh
menjatuhkan pidana apabila sedikit-dikitnya alat-alat bukti yang telah di
tentukan undang-undang itu ada, ditambah dengan keyakinan hakim yang didapat
dari adanya alat-alat bukti itu. Dalam pasal 183 KUHAP menyatakan sebagai
berikut : " hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali
apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah Ia memperoleh
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah
yang bersalah melakukannya".
Atas dasar ketentuan Pasar 183 KUHAP
ini, maka dapat disimpulkan bahwa KUHAP memakai sistem pembuktian menurut
undang-undang yang negatif. Ini berarti bahwa dalam hal pembuktian harus
dilakukan penelitian, apakah terdakwa cukup alasan yang didukung oleh alat
pembuktian yang ditentukan oleh undang-undang (minimal dua alat bukti) dan
kalau ia cukup, maka baru dipersoalkan tentang ada atau tidaknya keyakinan
hakim akan kesalahan terdakwa.
Teori pembuktian menurut
undang-undang negative tersebut dapat disebut dengan negative wettelijk istilah
ini berarti : wettelijk berdasarkan undang-undang sedangkan negative,
maksudnya adalah bahwa walaupun dalam suatu perkara terdapat cukup bukti sesuai
dengan undang-undang, maka hakim belum boleh menjatuhkan hukuman sebelum
memperoleh keyakinan tentang kesalahan terdakwa.
Dalam sistem pembuktian yang negatif
alat-alat bukti limitatief di tentukan dalam undang-undang dan bagaimana cara
mempergunakannya hakim juga terikat pada ketentuan undang-undang. Dalam sistem
menurut undang-undang secara terbatas atau disebut juga dengan system
undang-undang secara negative sebagai intinya yang dirumuskan dalam Pasal 183,
dapat disimpulkan sebagai berikut:
a)
Tujuan akhir
pembuktian untuk memutus perkara pidana, yang jika memenuhi syarat pembuktian
dapat menjatuhkan pidana;
b)
Standar tentang
hasil pembuktian untuk menjatuhkan pidana. Kelebihan sistem pembuktian negatif
(negative wettelijk) adalah dalam hal membuktikan kesalahan terdakwa
melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, hakim tidak sepenuhnya
mengandalkan alat-alat bukti serta dengan cara-cara yang ditentukan oleh
undang-undang, tetapi harus disertai pula keyakinan bahwa terdakwa bersalah
melakukan tindak pidana. Keyakinan yang dibentuk ini harus berdasarkan atas
fakta-fakta yang diperoleh dari gat bukti yang ditentukan dalam undang-undang.
Sehingga dalam pembuktian benar-benar mencari kebenaran yang hakiki, jadi
sangat sedikit kemungkinan terjadinya salah putusan atau penerapan hukum yang
digunakan.
Kekurangan teori ini hakim hanya boleh menjatuhkan pidana apabila
sedikit-dikitnya alat-alat bukti yang telah di tentukan undang-undang itu ada,
ditambah dengan keyakinan hakim yang didapat dari adanya alat-alat bukti itu
sehingga akan memperlambat waktu dalam membuktikan bahkan memutuskan suatu
perkara, karena di lain pihak pembuktian harus melalui penelitian. Tetapi
dengan mencari kebenaran melalui penelitian tersebut, maka kebenaran yang terungkap
benar-benar dapat dipertanggung jawabkan, dan merupakan kebenaran yang hakiki.
Dalam pembuktian pidana terdapat beberapa prinsip yaitu:
a)
Hal-hal yang
dimuat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Prinsip ini terdapat pada Pasal 184
ayat (2) KUHAP yang berbunyi: "Hal-hal yang secara umum sudah diketahui
tidak perlu dibuktikan atau disebut dengan istilah notoke feiten. Secara
garis besar dibagi menjadi dua golongan, yaitu:
Ø Sesuatu atau peristiwa yang diketahui umum bahwa sesuatu atau
peristiwa tersebut memang sudah demikian halnya atau semestinya demikian. Yang
dimaksud sesuatu misalnya, harga emas lebih mahal dari perak. yang dimaksud
dengan peristiwa.
misalnya, pada tanggal 17 Agustus diadakan peringatan hari Kemerdekaan
Indonesia.
Ø Sesuatu kenyataan atau pengalaman yang selamanya dan selalu
mengakibatkan demikian atau selalu merupakan kesimpulan demikian. Misalnya,
arak adalah termasuk minuman keras yang dalam takaran tertentu bisa menyebabkan
seseorang mabuk.
b)
Kewajiban
seorang saksi
Kewajiban seseorang menjadi saksi diatur pada penjelasan Pasal 159
ayat (2) KUHAP yang menyebutkan: Dalam hal saksi
tidák hadir, meskipun telah dipanggil dengan sah dan hakim ketua sidang mempunyai
cukup alasan untuk menyangka bahwa saksi itu tidak akan mau hadir, maka hakim ketua
sidang dapat memerintahkan supaya saksi tersebut dihadapkan ke persidangan.
c)
Satu saksi
bukan saksi (unus testis nullus testis)
Prinsip ini terdapat pada Pasal 185
ayat (2) KUHAP yang menegaskan bahwa keterangan seorang saksi saja tidak cukup
untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan
kepadanya.
Berdasarkan KUHAP, keterangan satu saksi bukan saksi tidak berlaku
bagi pemeriksaan cepat. Hal ini dapat disimpulkan dari penjelasan Pasal 184
KUHAP sebagai berikut: "Dalam acara pemeriksaan cepat, keyakinan hakim
cukup didukung satu alat bukti yang sah".
d)
Pengakuan
terdakwa tidak menghapuskan kewajiban penuntut umum membuktikan kesalahan terdakwa.
Prinsip ini merupakan penegasan dari lawan prinsip "pembuktian
terbalik"
yang tidak dikenai oleh hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia. Menurut
Pasal 189 ayat (4) KUHAP yang berbunyi keterangan terdakwa saja tidak cukup
untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan
kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti lain.
e)
Keterangan
terdakwa hanya mengikat pada dirinya sendiri
Prinsip ini diatur pada Pasal 189
ayat (3) KUHAP yang menentukan bahwa: "Keterangan terdakwa hanya dapat
digunakan terhadap dirinyasendiri". Ini berarti apa yang diterangkan
terdakwa di sidangpengadilan hanya boleh diterima dan diakui sebagai alat bukti
yangberlaku dan mengikat bagi did terdakwa sendiri.
Menurut asas ini, apa yang diterangkan
seseorang dalam persidangan yang berkedudukan sebagai terdakwa, hanya dapat
dipergunakan sebagai alat bukti terhadap dirinya sendiri. dalam suatu perkara
terdakwa terdiri dari beberapa orang, masing-masing keterangan setiap terdakwa
hanya merupakan alat bukti yang mengikat kepada dirinya sendiri. Keterangan
terdakwa A tidak dapat dipergunakan terhadap terdakwa B, demikian sebaliknya.
BAB III
KESIMPULAN
Ketentuan Pasal 183 KUHAP ini maka
dapat disimpulkan bahwa KUHAP memakai sistem pembuktian menurut undang-undang
yang negatif. Ini berarti bahwa dalam hat pembuktian harus dilakukan
penelitian, apakah terdakwa cukup alasan yang didukung oleh alat pembuktian
yang ditentukan oleh undang-undang (minimal dua alat bukti) dari kalau ía cukup,
maka baru dipersoalkan tentang ada atau tidaknya keyakinan hakim akan kesalahan
terdakwa.
DAFTAR PUSTAKA
Eddyono. Supriyadi Widodo, Catatan
Kritis Terhadap Undang-Undang No 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan
Korban, Jakarta: Elsam
Fuady. Munir, Teori Hukum
Pembuktian: Pidana dan Perdata, Bandung: Citra Aditya, 2006
Hamzah. Andi, Pengantar Hukum
Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Ghana Indonesia, 1985
Harahap. M. Yahya, Pembahasan
Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding,
Kasasi, dan Peninjauan Kembali: Edisi Kedua, Jakarta: Sinar Grafika, 2006
Mertokusumo. Sudikno, Hukum Acara
Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty
Prinst. Darwan, Hukum Acara
Pidana Dalam Praktik, Jakarta: Djambatan, 1998
Prodjohamidjojo. Martiman, Komentar
atas KUHAP: Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Jakarta: Pradnya
Paramitha, 1984
Sasangka. Hari dan Lily Rosita, Hukum
Pembuktian Dalam Perkara Pidana, Bandung: Mandar Maju, 2003
Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia,
Liberty,. Yogyakarta: Liberty, hlm. 135
Martiman Prodjohamidjojo, Komentar atas KUHAP: Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana, (Jakarta: Pradnya Paramitha, 1984), hlm 11
Darwan Prinst, Hukum Acara Pidana Dalam Praktik, (Jakarta:
Djambatan, 1998), hlm. 133
M.Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP:
Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali: Edisi
Kedua, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hlm. 273
Hari Sasangka dan Lily Rosita, Hukum Pembuktian Dalam
Perkara Pidana, (Bandung: Mandar Maju, 2003), hlm. 10
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang
Hukum Acara Pidana
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang
Hukum Acara Pidana
Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia,
(Jakarta: Ghana Indonesia, 1985), hlm. 241
Munir Fuady, Teori Hukum Pembuktian: Pidana dan Perdata,
(Bandung: Citra Aditya, 2006), hlm. 56
Darwan Prinst, Hukum Acara Pidana…, hlm. 65
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan …, hlm.
319
Supriyadi Widodo Eddyono, Catatan Kritis Terhadap
Undang-Undang No 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, (Jakarta:
Elsam), hlm. 3
Pasal 185 ayat (3): Ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) tidak berlaku apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah
lainnya
Pembuktian Terbalik atau istilahnya
pembuktian secara a contrario adalah seseorang tersangka ataupun
terdakwa dianggap telah bersalah sebelum dibuktikan terlebih dahulu di depan
persidangan dengan kata lain, beban pembuktian ada ditangan tersangka atau
terdakwa.
Dalam prinsip hukum pembuktian terbalik ini melanggar
Asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence) karena dgn
prinsip ini, seseorangg dianggap tidak bersalah kecuali sudah dibuktikan di
pengadilan berdasarkan kekuatan hukum yang sudah tetap, beban pembuktian ada di
jaksa penuntut umum.
Komentar