BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah
Perkembangan profesi
mengimplikasikan kepada tuntutan-tuntutan norma etik yang melandasi persoalan
profesional.[1] Namun hal tersebut tidak bisa sempurna karena sifat profesi
yang terbatas, khusus dan unggul, maka bukan tidak mungkin akan terjadi
gejala–gejala penyalahgunaan terhadap profesi yang dimiliki, yang seharusnya
dengan penguasaan dan penerapan disiplin ilmu hukum dapat diemban untuk
menyelenggarakan dan menegakkan keadilan di masyarakat.
Pada era reformasi sekarang ini yang disertai krisis multidimensi di segala
bidang di antaranya dalam bidang hukum, timbul keprihatinan publik akan kritik
tajam sehubungan dengan curat marutnya penegakan hukum di Indonesia, dengan
adanya penurunan kualitas hakim dan pengabaian terhadap kode etik, serta tidak
adanya konsistensi, arah dan orientasi dari penegak hukum itu sendiri. Hal ini
menyebabkan tidak adanya ketidakpastian dan ketidakadilan hukum. Dan pihak yang
sering disalahkan adalah aparat penegak hukum itu sendiri, yang terdiri dari
Hakim, Jaksa, Pengacara dan Polisi.[2]
Hakim[3] sebagai salah satu aparat penegak hukum (Legal Aparatus) yang sudah
memiliki kode etik sebagai standar moral atau kaedah seperangkat hukum formal.
Namun realitanya para kalangan profesi hukum belum menghayati dan melaksanakan
kode etik profesi dalam melaksanakan profesinya sehari-hari, terlihat dengan
banyaknya yang mengabaikan kode etik profesi, sehingga profesi ini tidak lepas
mendapat penilaian negatif dari masyarakat. Khusus berkenaan dengan pemutusan
perkara di pengadilan yang dirasa tidak memenuhi rasa keadilan dan kebenaran
maka hakimlah yang kena, dan apabila memenuhi harapan masyarakat maka hakimlah
yang mendapat sanjungan. Dengan kata lain masyarakat memandang wajah peradilan
sangat ditentukan dan dipengaruhi oleh sikap atau perilaku hakim. Sebagai
contoh atas adanya hakim yang melakukan Kolusi Korupsi dan Nepotisme (KKN) yang
dibuktikan dengan data Transparansi Internasional (TI) dan Catatan Political
Economi Risk Concultanty Ltd.(PERC)[4] yang membuktikan bahwa korupsi di
lembaga peradilan sebagai urutan ketiga setelah lembaga kepolisian dan Bea
Cukai dan urutan lima besar di dunia.[5] Berdasarkan hasil penelitian Indonesia
Corruption Watch (ICW).[6]
Dan berbagai kasus gugatan publik terhadap profesi hakim merupakan bukti bahwa
adanya penurunan kualitas hakim sangat wajar sehingga pergeseran pun terjadi
dan sampai muncul istilah mafia peradilan.[7]
Indikasi tersebut menunjukan hal yang serius dalam penegakkan standar profesi
hukum di Indonesia. Kode etik tampaknya belum bisa dilaksanakan dan nilai-nilai
yang terkandung belum bisa diaplikasikan oleh pengembannya sendiri.
Dari dasar pemikiran diatas maka sewajarnya bila muncul harapan dan tuntutan
terhadap pelaksanaan profesi baik ciri, semangat, maupun cara kerja yang
didasarkan pada nilai moralitas umum (common morailty), seperti nilai
kemanusiaan (humanity), nilai keadilan (Justice) dan kepastian hukum
(gerechtigheid). Nilai-nilai tersebut diharapkan dapat mengarah kepada perilaku
anggota profesi hakim, sehingga perlu adanya dan ditegaskan dalam bentuk yang
kongkrit (Kode Etik).[8] Sehingga dengan adanya nilai-nilai dalam kode etik
tersebut, pelaksanaan professional akan dapat di minimalisir dari gejala-gejala
penyalahgunaan keahlian dan keterampilan professional dalam masyarakat sebagai
klien atau subyek pelayan. Hal ini penting karena nilai-nilai tersebut tidak
akan berguna bagi professional saja melainkan bagi kepentingan dan
kesejahteraan masyarakat.[9]
Dari peranannya yang sangat penting dan sebagai profesi terhormat (Offilium
nobile), atas kepribadiannya yang dimiliki. Hakim mempunyai tugas sebagaimana
dalam undang-undang pokok kekuasaan kehakiman adalah Hakim wajib menggali,
mengikuti, dan memahami nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.[10] Untuk itu
hakim harus terjun ke tengah-tengah masyarakat untuk mengenal, merasakan dan
mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Di sini terlihat jelas seorang hakim dalam menjalankan tugasnya selain di
batasi norma hukum atau norma kesusilaan yang berlaku umum juga harus patuh
pada ketentuan etika profesi yang terdapat dalam kode etik profesi.
Kode etik sendiri merupakan penjabaran tingkah laku atau aturan hakim baik di
dalam menjalankan tugas profesinya untuk mewujudkan keadilan dan kebenaran
maupun pergaulan dalam masyarakaat, yang harus dapat memberikan contoh dan suri
tauladan dalam kepatuhan dan ketaatan kepada hukum.
Islampun menjelaskan bahwa hakim adalah seorang yang diberi amanah untuk
menegakkan keadilan dengan nama Tuhan atas sumpah yang telah diucapkan, dalam
pandangan Islam adalah kalimat tauhid adalah amalan yang harus diwujudkan dalam
bentuk satu kata dan satu perbuatan dengan niat lilla>hi ta'alla.[11]
Sehingga pada setiap putusannya benar - benar mengandung keadilan dan
kebenaran.
Dalam al-Qur'an
diperintahkan :
ان الله يأ مركم ان
تؤدواالآ منت الى اهلها واذا حكمتم بين الناس ان تحكموابالعدل ان لله نعما يعظكم
به ان لله كان سميعا بصيرا [12]
Melalui profesi inilah hakim mempunyai posisi istimewa. Hakim merupakan
kongkritisasi hukum dan keadilan yang bersifat abstrak, dan digambarkan bahwa
hakim sebagai wakil Tuhan di bumi untuk menegakkan hukum dan
keadilan.[13] Karena hakim satu-satunya penegak hukum yang berani
mengatasnamakan Tuhan pada setiap putusannya.[14] Sehingga setiap keputusan
hakim benar-benar berorientasi kepada penegakan nilai-nilai kebenaran dan keadilan
dari pada sekedar mengejar kepastian hukum sebagaimana yang diharapkan dalam
kode etik profesi hakim.
Kode
Etik profesi hakim bukanlah merupakan sesuatu yang datang dari luar tetapi
terwujud justru berasal dan diciptakan oleh anggota profesi sendiri, sehingga
merupakan pengaturan sendiri self regulation). Karena kalau di ciptakan dari
luar instansi atau pemerintah), maka tidak akan dijiwai oleh nilai-nilai yang
hidup di kalangan profesi.[15] Kode etik merupakan kesesuaian sikap yang harus
di junjung tinggi oleh hakim dengan jiwa-jiwa pancasila.[16] Padahal untuk
menegakkan supremasi hukum adalah menegakkan etika, profesionalisme serta
disiplin.[17] Meskipun demikian kode etik profesi hakim sebagai standar moral
belum memberikan dampak yang positif, sehingga kode etik yang sudah sekian lama
perlu dikaji kembali untuk disesuaikan dengan perubahan kondisi, sebagaimana
yang diungkapkan oleh Komisi Hukum Nasional (KHN) yang menilai bahwa banyak
para kalangan profesi hukum belum menghayati dan melaksanakan kode etik profesi
dalam melaksanakan profesinya sehari-hari. Oleh karena itu perlu dibentuk
standar kode etik profesi hukum yang akan menjadi pedoman untuk prilaku
profesi. Dan sebagai cara untuk memulihkan kepercayaan terhadap lembaga
peradilan khususnya hakim yang sedang
kacau.[18]
Munculnya wacana pemikiran tentang kode etik profesi hakim ini yang akan
menjadi penelitian yang dititik beratkan pada analisis nilai-nilai yang
terkandung dalam kode etik profesi hakim. Penelitian ini penyusun anggap
penting karena didorong oleh realitas profesi hakim yang mengabaikan
nilai-nilai moralitas. Dan untuk membangun kembali kepercayaan publik terhadap
lembaga peradilan sebagai benteng terakhir keadilan yang merupakan cita-cita
dan tujuan[19] (Khususnya Profesi hakim). Melihat permasalahan di atas penyusun
merasa tertarik untuk membahas kode etik profesi hakim[20] dan dikaitkan dengan
nilai-nilai etika Islam.[21] Masalah ini sangat menarik untuk dikaji
karena etika Islam yang bersumber dari al-Qur'an yang pada hakekatnya merupakan
dokumen Agama dan bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang bermoral.
B. Pokok Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka yang menjadi pokok masalah adalah
:
Apa dan bagaimana nilai-nilai dasar yang terkandung dalam kode etik profesi
hakim Indonesia?
Bagaimana pandangan hukum Islam terhadap kode etik profesi hakim Indonesia?
C. Tujuan dan
Kegunaan
Penelitian ini bertujuan untuk :
1.
Menjelaskan serta menganalisa nilai-nilai dasar yang terdapat dalam kode etik
profesi hakim Indonesia.
2.
Menjelaskan bagaimana pandangan Islam terhadap kode etik profesi hakim
Indonesia.
Adapun hasil dari
penelitian ini berguna untuk :
Menambah khazanah ilmu pengetahuan dalam bidang hukum khususnya dalam etika
profesi hakim (Kode Etik Hakim Indonesia) dan sebagai bahan studi awal untuk
penelitian lebih lanjut.
Memberikan masukan bagi pengambil kebijakan khususnya hakim dalam praktek di
lapangan baik berupa kerangka teori maupun praktek.
D. Telaah Pustaka.
Dari hasil telaah pustaka yang penyusun lakukan terdapat beberapa karya ilmiah
baik berupa buku maupun skripsi yang membahas tentang kode etik atau etika profesi
hukum. Dari telaah tersebut kami mengkatagorikan kedalam dua aspek yaitu:
Pertama, aspek teoritis, yaitu etika profesi hukum yang mencakup seluruh
aktivitas profesi dalam kehidupannya. Kadua, aspek penegakan kode etik profesi
baik secara individu maupun kelompok. Dengan kata lain pada aspek kedua inilah
etika profesi hakim berada sebagaimana yang di tetapkan Dewan Kehormatan dalam
aplikasinya di lapangan.
Diantara karya yang termasuk ke dalam aspek teoritis adalah: Karya Oemar Seno
Aji dalam bukunya Etika Professional dan Hukum : Profesi Advokat,karya ini
hanya menyoroti permasalahan etik dari profesi advokat, dokter dan
wartawan.[22] Namun dalam karya ini disebutkan bahwa kode etik secara umum
mengandung normative ethich dan adanya rahasia profesi yang menjadi asas yang
memberikan hak untuk menolak keterangan sebagai saksi (vershonings recht).[23]
Karya Suhrawardi K. Lubis, berjudul Etika Profesi Hukum,dalam karya ini mencoba
membahas etika profesi hukum secara global yang meliputi penasehat hukum dan
notaris, dan tidak membedakan antara penasehat hukum dengan advokat.[24]
Kemudian karya E. Sumaryono yang berjudul Etika Profesi Hukum: Norma-norma Bagi
Penegak Hukum, buku ini membahas etika profesi bagi para penegak hukum untuk
meningkatkan professionalitas kerja. Namun obyek pembahasannya hanya di
fokuskan pada empat jenis profesi yaitu jaksa, advokat, notaris dan polisi dan
tidak mengkaji masalah nilai-nilai etika hakim.[25] Dan skripsi saudara Rofiqoh
mahasiswa Ushuluddin, yang berjudul Etika Menurut fazlur Rahman, dalam
pandangan fazlur Rahman konsep etika adalah etika religius yang merupakan
rangkaian dari teologi, etika dan hukum. Sehingga menjadi manusia bermoral
merupakan pencapaian pada integritas individu dan kelompok. Integritas tersebut
dapat di peroleh dengan iman, Islam dan
taqwa.[26]
Sedangkan yang termasuk kedalam aspek kedua yaitu aspek penegakan kode etik
diantaranya : Skripsi saudara Muhammad Rodlin fakultas Ushuluddin, dengan judul
Etika Profesi : telaah pendekatan moral, penelitian ini hanya membahas hubungan
etika dan profesi secara konsep umum yang menyatakan hubungan tersebut sangat
erat karena merupakan jaminan pelayanan oleh profesi apapun.[27] Dan skripsi M
wahyudi fakultas Syari'ah, yang berjudul Tinjauan Hukum Islam Terhadap
Kebebasan Hakim: Study analisis pasal 1 ayat 1 dan pasal 14 ayat 1 UU. Nomor 35
tahun 1999 Tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan bahwa dalam menegakkan
keadilan dan kebenaran hakim harus terbebas dari pengaruh baik dari luar maupun
dari dalam yaitu : faktor moralis dan mentalis dalam menjalankan
profesinya.[28] Kemudian juga dalam buku Daryl Koehn yang berjudul Landasan
Etika Profesi yang menyatakan hubungan secara moral antara klien dan
professional berdasarkan atas janji dari professional untuk menjaga kepentingan
kliennya.[29] Dan dalam buku ini hanya di fokuskan kepada tiga profesi yaitu :
profesi hukum, kedokteran dan rohani.
Dari karya-karya tersebut, baru membahas tentang etika profesi secara umum dan
belum terdapat pembahasan yang secara khusus tentang kode etik hakim atau kode
kehormatan yang terkandung dalam etika profesi hakim dalam tinjauan etika
Islam. Maka dari itu penyusun akan membahas etika profesi hakim yang
diantaranya kode etik profesi hakim atau kode kehormatan hakim sebagai bahan
yang mendukung terhadap penyusunan ini.
E. Kerangka Teori
Teori etika adalah gambaran umum rasional mengenai hakekat dan dasar perbuatan
dan keputusan yang benar serta prinsip-prinsip yang menentukan klaim bahwa
perbuatan dan keputusan tersebut secara moral diperintahkan dan dilarang. Oleh
karena itu penelitian etika selalu menempatkan tekanan khusus terhadap definisi
konsep-konsep etika, justifikasi, dan penelitian terhadap keputusan moral,
sekaligus membedakan antara perbuatan atau keputusan yang baik dan buruk.[30]
1. Etika Sebagai Landasan Profesional
Sebagai cabang ilmu filsafat, etika dimengerti sebagai filsafat moral atau
filsafat mengenai tingkah laku. Etika berbeda dengan moral, moral berisi
ajaran-ajaran sedangkan etika berisi alasan-alasan mengenai moralitas itu
sendiri.[31] Menurut Hans Wenr
dalam bahasa arab etika disebut ahklak. Norma (norm) adalah standar, pola (pattern),
model (type). Hal tersebut merupakan aturan atau kaedah yang di pakai sebagai
tolak ukur untuk menilai sesuatu.[32]
Etika atau akhlak dalam khazanah Islam dipahami sebagai ilmu yang menjelaskan
baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya di lakukan kepada orang lain,
menyatukan tujuan apa yang harus dituju oleh manusia di dalam perbuatan mereka
dan menunjukan jalan untuk melakukan apa yang harus diperbuat.[33] Dengan
demikian Persoalan-persoalan etika adalah persoalan kehidupan manusia. Tidak
bertingkah laku semata-mata menurut naluri atau dorongan hati.
Sedangkan K. Bertens mengungkapkan bahwa moral itu adalah nilai-nilai dan
norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau kelompok tingkah lakunya.
Sedangkan profesi menurut K. Bertens menyatakan bahwa profesi adalah suatu
moral community (masyarakat moral) yang memiliki cita-cita dan nilai-nilai.[34]
Dari paparan diatas dapat dipahami bahwa dalam kata moral terdapat dua makna.
Pertama, sebagian cara seseorang atau kelompok untuk bertingkah laku dengan orang
lain. Kedua, adanya norma-norma atau nilai-nilai yang menjadi dasar bagi cara
bertingkah laku.
Dalam filsafat ilmu,
epistemologi moral dipelajari dengan dua cara yaitu telaah metodologik dan
telaah metafisik.
Telaah metodologik
bersifat induktif, menggunakan logika model koherensi. Salah satu yang menonjol
adalah telaah equilibrium reflektif. Proses penyusunan teori moral ini dimulai
dari penetapan moral yang dipilih; dilanjutkan dengan pemilihan prinsip-prinsip
yang hendak digunakan. Lalu diuji pada moral sentralnya; diketemukan konflik
dengan moral sentralnya atau tidak; bila ada konflik, diadakan revisi. Itu
prosedur menurut Goodman (1965).
Sedangkan Rewals
(1971) menyarankan untuk melihat koherensi dengan moral yang lebih jauh,
misalnya keyakinannya atau teori yang dianut.[35]
Cara telaah yang
kedua adalah telaah metafisik. Cara ini digunakan oleh realisme metafisik.
Dengan pandangan meta-ideologik, moral adalah fakta konstruktif. Kemauan Hakim
untuk membantu pihak adalah fakta konstruktif. Fakta konstruktif tersebut bukan
temuan pada obyek seperti fakta-fakta penelitian pada umumnya, melainkan fakta
konstruk pandangan human.[36] Pandangan human tersebut dapat dilihat dari
pandangan sosialogis, psikologis dan keyakinan agama.
Dari sisi cakupannya etika dapat dibagi dua yaitu, etika umum dan etika
terapan. Etika umum merupakan ilmu atau filsafat moral yakni teoritis yang
mencakup seluruh aktivitas kehidupan.[37] Sedangkan etika khusus adalah etika
individual atau sosial atau lingkungan hidup. Pada wilayah inilah etika pofesi
berada.[38]
Menurut Majid Fakhri, sistem etika Islam dalam dikelompokkan dengan empat tipe:
pertama, moral skriptualis. Kedua, etika teologis. Ketiga, teori-teori
filsafat. Keempat, etika religius.[39] Dari keempat tipologi di atas etika
religius akan menjadi pilihan sebagai landasan teori dalam penelitian ini
Dengan kerangka demikian dapat dikatakan bahwa etika profesi merupakan tuntutan
dasar hakim dalam Islam. Dan juga atas teori tersebut dapat diasumsikan bahwa
etika profesi hakim merupakan pengejawantahan nilai-nilai kebenaran, kejujuran,
keadilan dan pertanggung jawaban dalam realitas penegakan hukum oleh hakim. Ada
tiga komponen yang menopang tegaknya hukum dan keadilan di tengah masyarakat,
yaitu adanya aparat penegak hukum yang professional dan memiliki integritas
moral yang terpuji, adanya peraturan hukum yang sesuai dengan aspirasi
masyarakat dan adanya kesadaran masyarakat yang memungkinkan dilaksanakannya
penegakan hukum.[40]
Dalam penegakan hukum, menurut O. Notohamidjojo, ada empat norma yang penting
dalam penegakan hukum yaitu kemanusiaan artinya sebagai manusia jadikanlah
manusia. Kedua, keadilan yaitu memberikan sesuatu sesuai haknya. Ketiga
kepatutan yaitu pemberlakuan hukum harus melihat unsur kepatutan (equity) dalam
masyarakat. Keempat, kejujuran yaitu seorang hakim dalam menegakkan hukum harus
benar-benar bersikap jujur untuk mencari hukum dan kebenaran. [41]
2. Eksistensi Hakim Sebagai Penegak Hukum Dalam Islam
Hakim mempunyai tugas sangat penting. Disamping itu hakim harus mempunyai moral
yang tinggi, berbudi luhur, dan menegakan hukum secara benar dan adil.
Sehingga peranan hakim sebagai penegak hukum dan keadilan dapat dilihat dari
tugasnya :
1. Penggali Hukum
إذاحكم الحاكم فاجتهد
ثم اصاب فله اجران واذاحكم فاجتهد ثم أخطاء فله أجر[42]
2. Pemutus Perkara
اناانزلنا اليك الكتب
بالحق لتحكم بين الناس بما ارك الله ولا تكن للخاءنين خصيما[43]
3. Pemberi
Nasehat
....وتعاونوا على
البر والتقوى ولا تعاونوا على الاثم والعدوان[44]
Sementara dalam kaidah ushul Fiqh sendiri hakim sebagai pemegang amanah harus
dapat membawa kemaslahatan
تصرف الإمام على الر
عية منوط بالمصلحة[45]
Sebagai salah satu
bentuknya adalah dengan adanya kode etik profesi hakim yang tujuannya untuk
kemaslahatan bagi manusia, kemaslahatan tersebut tercantum dalam azas-azas yang
dituangkan dalam syariat hukum Darury yaitu hal yang pokok dalam kehidupan
manusia, hukum Hajjiy yaitu hukum yang menselaraskan dengan hajat dan kebutuhan
manusia, dan hukum Tahsiny yaitu merupakan keindahan hidup yang merupakam
pelengkap dalam kehidupan manusia.[46] Dengan demikian tujuan penegakkan
keadilan dan kebenaran dapat tercapai, dan kode etik profesi hakim benar-benar
membawa maslahat bagi manusia.
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini
merupakan penelitian pustaka (library research), yaitu penelitian yang
dilakukan dengan cara menelaah atau mengkaji sumber kepustakaan berupa
data-data primer dan sumber data sekunder yang relevan dengan pembahasan ini.
2. Sifat Penelitian.
Penelitian ini
bersifat deskriptif analitik[47] metode yang menggunakan pencarian fakta dan
data-data yang ada dalam kode kehormatan hakim dan kemudian dianalisa dengan
kerangka pemikiran yang telah disusun dengan cermat dan terarah.
3. Pengumpulan Data.
Penelitian ini adalah
penelitian pustaka, maka metode pengumpulan data dilakukan dengan mengumpulkan
buku-buku yang ada dan kemudian dikaji dan ditelaah dari berbagi literatur yang
ada yang berkaitan dengan skripsi ini. Adapun data primernya adalah : kode etik
profesi hakim dan UU No 4 TAhun 2004 Tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman,
sedangkan sumber sekundernya adalah : buku-buku dan tulisan para ahli hukum
yang membahas masalah ini. Adapun yang menjadi baham tersier adalah semua bahan
yang menunjang bahan primer dan sekunder seperti kamus hukum, eksiklopedia dan
lain sebagainya.
4. Pendekatan
Penelitian.
Pendekatan yang
dilakukan adalah pendekatan Filosofis-Normatif.Secara philisofis yaitu dengan
melakukan penganalisaan makna-makna secara fhilisofis terhadap kode etik
profesi hakim secara umum, sedangkan secara normatif yaitu melakukan analisa
terhadap suatu fenomena yang berdasarkan aturan hukum Islam (normatif). Analisa
dilakukan dengan metode content analisis (analisa isi)[48]
5. Analisis Data.
Analisis data yang
dilakukan oleh penyusun adalah dengan metode induktif dan deduktif. Metode
induktif adalah metode berfikir yang berangkat dari fakta khusus, peristiwa
kongkrit yang kemudian ditarik kesimpulan secara umum (generalisasi). Sedangkan
metode deduktif adalah metode yang menggunakan dalil-dalil yang bersifat umum
kemudian di sesuaikan faktor-faktor dari yang bersifat umum. Metode induktif
digunakan untuk mengkaji asas-asas atau nilai-nilai yang terkandung dalam kode
etik profesi hakim Indonesia. Sedangkan deduktif dipakai untuk melihat
pandangan Islam terhadap etika profesi hakim.
G. Sistematika
Pembahasan.
Adapun sistematika pembahasan skripsi ini terdiri dari :
Bab pertama, berisi pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah, pokok
masalah, tujuan dan kegunaan, telaah pustaka, kerangka teori, metode
penelitian, dan sistematika pembahasan.
Bab kedua, Pembahasan tentang kode etik profesi hakim Indonesia dan perkembangan
hakim saat ini, yang meliputi peranan hakim baik dari pengertian, tugas dan
wewenang. Hal ini akan menjadi landasan untuk mengkaji permasalahan
penyalahgunaan profesi hakim dengan melihat konstruksi perkembangan hakim dari
analisa kode etik profesi hakim Indonesia yang ada.
Bab ketiga, Merupakan eksplorasi hukum Islam terhadap kode etik profesi hakim
Indonesia, serta prinsip-prinsip peradilan dalam nilai etika Islam sebagai
landasan dalam profesi hakim.
Bab keempat, merupakan analisa tentang aplikasi nilai-nilai dari kode etik
profesi hakim dan etika hukum Islam setelah melihat dengan kode etik yang ada
dalam konsep etika Islam.
Bab kelima, berisikan penutup yang terdiri dari kesimpulan sebagai jawaban dari
pokok masalah dalam penyusunan ini, selain itu juga beberapa saran yang
berkaitan dengan kode etik profesi hakim.
BAB II
KODE ETIK PROFESI
HAKIM INDONESIA
A. Gambaran Umum
Peranan Hakim
1. Pengertian Hakim
Sebelum membahas pengertian kode etik, maka terlebih dahulu perlu dipahami
pengertian hakim. Hakim berasal dari kata حكم – يحكم – حاكم
: sama artinya dengan qod}i yang berasal dari kata قضى – يقضى – قا ض
artinya memutus. Sedangkan menurut bahasa adalah orang yang bijaksana atau
orang yang memutuskan perkara dan menetapkannya.[49] Adapun pengertian menurut
syar'a yaitu orang yang diangkat oleh kepala negara untuk menjadi hakim dalam
menyelesaikan gugatan, perselisihan-perselisihan dalam bidang hukum perdata
oleh karena penguasa sendiri tidak dapat menyelesaikan tugas peradilan,[50]
sebagaimana Nabi Muhammad SAW telah mengangkat qod}i untuk bertugas
menyelesaikan sengketa di antara manusia di tempat-tempat yang jauh, sebagaimana
ia telah melimpahkan wewenang ini pada sahabatnya.[51] Hal ini terjadi pada
sahabat dan terus berlanjut pada Bani Umayah dan Bani Abbasiah, diakibatkan
dari semakin luasnya wilayah Islam dan kompleknya masalah yang terjadi pada
masyarakat, sehingga diperlukan hakim – hakim untuk menyelesaikan perkara yang
terjadi.
Hakim sendiri adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh
undang-undang untuk mengadili.[52] Sedangkan dalam Undang-undang kekuasaan
kehakiman adalah penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan
memahami nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat.[53] Dengan demikian hakim
adalah sebagai pejabat Negara yang diangkat oleh kepala Negara sebagai penegak
hukum dan keadilan yang diharapkan dapat menyelesaikan permasalahan yang telah
diembannya menurut Undang-undang yang berlaku.
Adapun pengertian qad}a sendiri ada beberapa makna yaitu : [54]
a. Menyelesaikan seperti dalam Firman Allah :
فلما قضى زيد منها
وطرازوجناكها[55]
b. Menunaikan dalam firman Allah
فإذا قضية الصلوة
فانتشروا فىالأرض...[56]
c. Menghalangi atau mencegah yang artinya hakim bisa melaksanakan amar ma'ruf
nahi munkar, menolong yang teraniaya dan menolak kez}oliman yang merupakan
kewajiban.
2. Dasar Dan Syarat Pengangkatan Hakim
Lembaga peradilan sebagai lembaga Negara yang ditugasi menerapkan hukum
(Izhar Al Hukm) terhadap perkara-perkara yang berkaitan dengan hukum dan adanya
hakim sebagai pelaksana dari Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang
Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman, ketetapan Majelis Permusyawarakatan Indonesia
Nomor X/MPR/1998 yang menyatakan perlunya reformasi di bidang hukum untuk
penanggulangan dibidang hukum dan ketetapan Majlis Permusyawatan Rakyat Nomor
III/MPR/1978 Tentang Hubungan Tata Kerja Lembaga Tinggi Negara .[57]
Dalam al-Quran di jelaskan :
يداودانّاجعلنك خليفة
فىالأرض فاحكم بين النّاس بالحق ولاتتبع الهوى...[58]
Dalam ayat lain di sebutkan :
وان احكم بينهم بما
انزل لله ولا تتبع اهواءهم واحدرهم ان يفتنوك عن بعض ماانزل لله اليك...[59]
Ayat tersebut menjelaskan bahwa Allah menciptakan Daud sebagai khalifah di muka
bumi ini supaya menghukumi di antara manusia dengan benar.
Sedangkan ayat
selanjutnya menegaskan bila menghukumi manusia harus sesuai dengan dengan apa
yang telah dianjurkan oleh Allah dan orang yang menghukumi tersebut
adalah hakim. Dalil hadis} antara lain
إذاحكم الحاكم فاجتهد
ثم اصاب فله اجران و اذاحكم فاجتهد ثم فأخطاء فله أجر [60]
فريضة محكمة وسنة
متبعة[61]
Dari hadis dan ijma' tersebut dijelaskan tentang keutamaan ijtihad, kemuliaan
ijtihad yang dilakukan dengan sungguh-sungguh baik benar atau salah akan
mendapat pahala. Maksudnya seorang hakim dalam memutuskan perkara yang
dihadapinya itu melalui qiyas yang mengacu kepada al-Kitab dan al-Sunah bukan
berdasarkan pendapat pribadi, yang terlepas dari keduanya.
Hal ini sebagai salah satu usaha menggali hukum guna melindungi
kepentingan-kepentingan orang-orang yang teraniaya dan untuk mernghilangkan
sengketa-sengketa yang timbul dalam masyarakat, akibat dari luasnya wilayah
Islam, seperti pada masa bani umayah khalifah hanya mengangkat qod}i pusat dan
didaerah diserahkan pada penguasa daerah dan hanya diberi wewenang untuk
memutuskan perkara, sedangkan untuk pelaksanaan putusan oleh khalifah langsung
atau oleh utusannya.[62] Sedangkan pada masa Bani Abbasiah dibentuknya Mahkamah
Agung, pembentukan hakim setiap wilayah, pembukuan dan mulainya organisasi
peradilan,[63] sehingga menempatkan hakim sebagi sosok yang sangat diperlukan
dan mempunyai peranan penting.
Hakim sebagai pelaksana hukum-hukum Allah mempunyai kedudukan yang sangat
penting sekaligus mempunyai beban yang yang sangat berat. Dipandang penting
karena melalui hakim akan tercipta produk-produk hukum baik melalui
ijtihad yang sangat dianjurkan sebagai keahlian hakim yang diharapkan dengan
produk tersebut segala bentuk kez}aliman yang terjadi dapat tercegah dan
diminimalisir sehingga ketentraman masyarakat terjamin. Dari tugas hakim ini menunjukkan
posisi hakim sangat penting sebagai unsur badan peradilan. Dari penjelasan
dasar hakim di atas menempatkan Hakim sebagai salah satu unsur peradilan yang
dipandang penting dalam menyelesaikan perkara yang diperselisihkan antara
sesama, oleh sebab itu harus didukung oleh pengetahuan dan kemampuan yang
professional dengan syarat-syarat yang umum dan khusus yang di tentukan oleh
oleh Mahkamah Agung atas kekuasaan kehakiman yang diatur oleh undang-undang
tersendiri, terkecuali Mahkamah Konstitusi yang kekuasaan dan kewenangannya
oleh Mahkamah Konstitusi.
Adapun syarat menjadi hakim secara umum adalah :
1. Warga Negara
Indonesia
2. Bertaqwa Kepada Tuhan Yang Maha Esa
3. Setia Pada Pancasila dan Undang-undang
4. Bukan anggota organisasi terlarang
5. Pegawai Negeri
6. Sarjana hukum
7. Berumur serendah-rendahnya 25 tahun
8. Berwibawa, jujur, adil dan berkelakuan baik.[64]
Mengenai ketentuan khuhusnya terdapat pada masing-masing lembaga peradilan.
Peradilan Agama mensyaratkan hakim harus beragama Islam dan sarjana syari'ah
atau sarjana hukum yang mempunyai kehlian dalam bidang hukum Islam. Dan pada
peradilan Tinggi Agama minimal berumur 40 tahun dan minimal harus 5 tahun
menjadi ketua Peradilan Agama dan 15 Tahun menjadi hakim pada Peradilan
Agama.[65] Peradilan Tata Usaha Negara mensyaratkan sarjana hukum yang memiliki
keahlian di bidang Tata Usaha Negara atau Administrasi Negara yang melaksanakan
fungsi untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan baik Pusat maupun Daerah,
sedangkan pada Peradilan Tinggi Tata Usaha Negara minimal berumur 40
tahun dan minimal harus 5 tahun menjadi ketua atau wakil Peradilan Tata Usaha
Negara dan 15 Tahun menjadi hakim pada Peradilan Tata Usaha Negara.[66] Pada
peradilan Militer mensyaratkan hakim harus pengalaman dalam peradilan,
berpangkat kapten dan berijazah sarjana hukum, dan pada Hakim Militer Tinggi
minimal berpangkat Letnan Kolonel, serta pada Hakim Militer Utama minimal
berpangkat kolonel dan pengalaman sebagai Hakim Militer Tinggi atau sebagai
Oditur Militer Tinggi,[67] Sedangkan pada Peradilan Militer ini tidak ada
batasan umur yang menjadi persyaratan. Adapun Peradilan adhoc pada Peradilan
Hak Azasi Manusia hakim harus mempunyai keahlian hukum, berumur minimal 45
tahun dan maksimal 65 tahun dan memiliki kepedulian di bidang hak azasi
manusia, serta pada hakim ad hoc pada Mahkamah Agung minimal berumur 50
tahun.[68] Sedangkan pada Mahkamah Agung atau Hakim Agung minimal umur 50 tahun
dan sekurang-kurangnya 20 Tahun menjadi hakim dan sekurang-kurangnya 3 Tahun
menjadi hakim tinggi. Dan apabila diangkat dari dari bukan karir yaitu dari
profesi hukum atau akademisi, sekurang-kurangnya telah menjalani rofesinya
selama 25 Tahun, dan berijazah magister hukum.[69] Dan Mahkamah Konstitusi
yaitu mempunyai kewenangan pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya
bersifat final, mensyaratkan hakim minimal berumur 40 tahun, tidak pernah
dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan dengan kekuatan hukum
tetap yang diancam lima tahun penjara serta tidak dinyatakan pailit dan
mempunyai pengalaman di bidang hukum minimal 10 Tahun, serta masa jabatan hakim
Mahkamah Konstitusi ini hanya 5 Tahun.[70] Adapun Cik Hasan
Bisri menyatakan persyaratan tersebut termasuk kedalam dua katagori. Pertama,
syarat kongkrit yaitu nomor 1-8, kecuali nomor 3 dan 8. kedua, sebagai syarat
Abstrak yaitu : Bertaqwa, Adil, jujur dan setia.[71]
Sedangkam Imam Mawardi menambahkan bahwa hakim harus diketahui identitasnya,
harus memahami tugas atas pekerjaanya, menyebut wewenangnya dan wilayah (Negara
atau Propinsi).[72] Sedangkan dalam literatur Islam atau fiqih ada beberapa
persyaratan yang menjadi persamaan dan perbedaan, persamaannya hakim harus
berakal, Islam, adil, berpengetahuan baik dalam pokok hukum agama dan
cabang-cabangnya, sehat pendengaran, penglihatan dan ucapan dan merdeka bukan
hamba sahaya.[73]. Adapun perbedaannya adalah pada fiqih Islam
disyaratkan hakim laki-laki dan tidak boleh perempuan yang terjadi khilafiyah
diantara para ulama dari empat maz\hab kecuali Abu Hanifah membolehkan selain
dalam urusan hadd dan qis}as}, karena kesaksian dalam dua hal tersebut tidak dapat
diterima.[74]
Dalam Hadis disebutkan :
لن يفلح قوم ولوامرهم
امرأة [75]
Hadis\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\ di atas menerangkan bahwa perempuan dianggap belum
mampu membawa kemenangan atau kemajuan. Ini merupakan pendapat lama karena melihat
kondisi perempuan yang berbeda dengan masa sekarang, sehingga
sekarang ini wanita boleh menjadi hakim asalkan mempunyai keahlian serta
memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan oleh hukum positif dan hukum Islam.
Persyaratan-persyaratan tersebut merupakan persyaratan pada masa dahulu
dikarenakan luasnya wilayah Islam dan banyaknya permasalahan yang muncul
sehingga menjadi komplek sedangkan lembaga peradilan masih sangat sedikit,
namun dalam kontek sekarang peradilan yang yang sudah merata dan laju kehidupan
yang semakin maju sehingga persyaratan-persyaratan itu menjadi dikontekkan
secara umum untuk lebih mewadahi pluralitas yang ada, kecuali dalam peradilan
agama yang memakai azas personalitas keIslaman sebagai lembaga peradilan khuhus
dari lembaga peradilan yang lainnya.
Dengan berbagai macam syarat tersebut diharapkan hakim dapat bermoral tinggi
dan tidak boleh melakukan perbuatan tercela, melanggar sumpah jabatan atau
melanggar larangan seperti menjadi pengusaha atau penasehat hukum, Karena
syarat tersebut termasuk dalam ajaran yang menuntut moral dan tanggungjawab
sebagai seorang hakim setelah disumpah sesuai agamanya masing-masing.
Adapun lafal sumpah dan janjinya sebagai berikut :
Sumpah :
" Demi Allah
saya bersumpah bahwa saya akan memenuhi kewajiban hakim dengan sebaik-baiknya
dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan segala peraturan perundang-undangan
dengan selurus-lurusnya menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
tahun 1945, serta berbakti kepada nusa dan bangsa."
Janji :
" Saya berjanji
bahwa saya dengan sungguh-sungguh akan memenuhi kewajiban hakim dengan
sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan segala peraturan
perundang-undangan dengan selurus-lurusnya menurut Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, serta berbakti kepada nusa dan bangsa."
[76]
Maka jika seorang hakim melanggar maka dapat diberhentikan secara tidak hormat
oleh Presiden dengan terlebih dahulu diberi kesempatan untuk membela diri.
3. Tugas, Fungsi Dan Tanggung Jawab Hakim
Dalam menjalankan tugasnya, hakim memiliki kebebasan untuk membuat keputusan
terlepas dari pengaruh pemerintah dan pengaruh lainnya.[77] ia menjadi
tumpuan dan harapan bagi pencari keadilan. Disamping itu mempunyai kewajiban
ganda, disatu pihak merupakan pejabat yang ditugasi menerapkan hukum (izhar
al-hukum) terhadap perkara yang kongkrit baik terhadap hukum tertulis maupun
tidak tertulis, dilain pihak sebagai penegak hukum dan keadilan dituntut untuk
dapat menggali, memahami, nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Secara makro
dituntut untuk memahami rasa hukum yang hidup di dalam masyarakat.
Dalam undang-undang disebutkan tugas pengadilan adalah : tidak boleh menolak
untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih
bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan
mengadilinya.[78] Artinya hakim sebagai unsur pengadilan wajib menggali,
mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat.[79] Nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat tersebut seperti
persepsi masyarakat tentang tentang keadilan, kepastian, hukum dan kemamfaatan.
Hal ini menjadi tuntutan bagi hakim untuk selalu meningkatkan kualitasnya
sehingga dalam memutuskan perkara benar-benar berdasarkan hukum yang ada dan
keputusannya dapat dipertanggungjawabkan.
Dalam hadis dijelaskan :
(اذا تقاضى اليك
رجلان فلا تقض للآول حتى تسمع كلا م الآخر فسوف تدرى كيف تقضى) قال على : فما زلت
قا ضيا بعد [80]
Dalam menyelesaikan suatu perkara ada beberapa tahapan yang harus di lakukan
oleh hakim diantaranya :[81]
Mengkonstatir yaitu yang dituangkan dalam Berita Acara Persidangan dan dalam
duduknya perkara pada putusan hakim. Mengkonstatir ini dilakukan dengan
terlebih dahulu melihat pokok perkara dan kemudian mengakui atau membenarkan
atas peristiwa yang diajukan, tetapi sebelumnya telah diadakan pembuktian
terlebih dahulu.
Mengkualifisir yaitu yang dituangkan dalam pertimbangan hukum dalam surat
putusan. Ini merupakan suatu penilaian terhadap peristiwa atas bukti-bukti,
fakta-fakta peristiwa atau fakta hukum dan menemukan hukumnya.
Mengkonstituir yaitu yang dituangkan dalam surat putusan. Tahap tiga ini
merupakan penetapan hukum atau merupakan pemberian konstitusi terhadap perkara.
Tahapan-tahapan tersebut menjadikan hakim dituntut untuk jeli dan hati-hati
untuk memberikan keputusan sekaligus menemukan hukumnya, karena pada dasarnya
hakim dianggap mengetahui hukum dan dapat mengambil keputusan berdasarkan ilmu
pengetahuan dan keyakinannya sesuai dengan doktrin Curia Ius
Novit[82].Karena dalam undang-undang dijelaskan bahwa hakim tidak boleh menolak
perkara yang diajukan kepadanya untuk diperiksa dan diputus, dengan alasan
bahwa hukum yang ada tidak ada atau kurang jelas.[83]
Sedangkan fungsi hakim adalah menegakkan kebenaran sesungguhnya dari apa yang
dikemukakan dan dituntut oleh para pihak tanpa melebihi atau menguranginya
terutama yang berkaitan dengan perkara perdata, sedangkan dalam perkara pidana
mencari kebenaran sesungguhnya secara mutlak tidak terbatas pada apa yang telah
dilakukan oleh terdakwa, melainkan dari itu harus diselidiki dari latar belakang
perbuatan terdakwa.[84] Artinya hakim mengejar kebenaran materil secara mutlak
dan tuntas.
Di sini terlihat intelektualitas hakim yang akan teruji dengan dikerahkannya
segenap kemampuan dan bekal ilmu pengetahuan yang mereka miliki, yang semua itu
akan terlihat pada proses pemeriksaan perkara apakah masih terdapat
pelanggaran-pelanggaran dalam teknis yustisial atau tidak.
Dengan demikian tugas hakim adalah melaksanakan semua tugas yang menjadi
tanggung jawabnya untuk memberikan kepastian hukum semua perkara yang masuk
baik perkara tersebut telah di atur dalam Undang-undang maupun yang tidak
terdapat ketentuannya. Disini terlihat dalam menjalankan tanggung jawabnya
hakim harus bersifat obyektif, karena merupakan fungsionaris yang ditunjuk
undang-undang untuk memeriksa dan mengadili perkara, dengan penilaian yang
obyektif pula karena harus berdiri di atas kedua belah pihak yang berperkara
dan tidak boleh memihak salah satu pihak.
B. Kode Etik Profesi
Hakim Indonesia
1. Pengertian kode
etik
Kata etika memiliki
banyak pengertian. Secara etimoligis, etika berasal dari bahasa Yunani kuno
ethos (bentuk tunggal) yang berarti adat; akhlak; watak; perasaan; sikap; cara
berfikir. Sedang dalam bentuk jamak, ta-etha, berarti adat kebiasaan, atau
akhlak yang baik.[85] Jadi secara etimologis etika dapat diartikan sebagai ilmu
tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan atau ilmu
yang menentukan bagaimana patutnya manusia hidup dalam masyarakat terhadap apa yang
baik dan apa yang buruk. Sehingga hal ini menjadi pemikiran dan pendirian
mereka mengenai apa yang baik dan tidak baik, patut dan tidak patut untuk
dilakukan.[86]
Kata yang cukup dekat
dengan kata etika adalah moral. Bahkan pada umumnya kata etika diidentikan
dengan moral (moralitas). Kata etika berasal dari bahasa latin mos (jamak:
mores)dan kata sifat : "Moralis" yang berarti kebiasaan, adat. Jadi
secara etimologis, kata “etika” identik dengan kata “moral” karena keduanya berasal
dari kata yang berarti adat kebiasaan, kelakuan , kesusilaan.[87] Hanya
bahasa asalnya yang berbeda, yang pertama berasal dari bahasaYunani, sedang
kedua berasal dari bahasa latin[88]
Pada dasarnya secara konseptual paradigmatik, kedua istilah ini mempunyai
sentralitas pengertian dan obyek yang sama, yaitu sama-sama membicarakan
totalitas tingkah laku manusia dari sudut pandang nilai-nilai yang baik dan
buruk. Akan tetapi pada dataran realitas penggunaannya kedua istilah tersebut
memiliki sedikit perbedaan dalam nuansa aplikatifnya. Moral atau moralitas
dipakai sebagai tolok ukur menilai suatu perbuatan yang sedang dilakukan oleh
seseorang. Sementara etika digunakan sebagai kerangka pemikiran untuk mengkaji
sistem-sistem nilai atau kode.[89] Jadi etika merupakan filsafat atau pemikiran
kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. Etika
dan ajaran-ajaran moral tidak berada pada tingkat yang sama. Yang menyatakan
bagaimana kita harus hidup, bukan etika melainkan ajaran moral. Etika mau
mengerti mengapa kita harus mengikuti ajaran moral tertentu, atau bagaimana
kita dapat mengambil sikap yang bertanggung jawab berhadapan dengan berbagai
ajaran moral.[90] Dan dari perbuatan yang dilakukan itu merupakan moralitas.
Karena moralitas adalah kualitas di dalam perbuatan itu benar atau salah, baik
atau jahat.[91]
Dengan demikian kata etika setidak-tidaknya mengandung tiga arti. Pertama,
nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau
suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Etika dalam arti ini bisa
dirumuskan juga sebagai “sistem nilai” yang berfungsi dalam hidup manusia
perorangan maupun pada taraf sosial. Kedua, etika berarti juga kumpulan asas
atau nilai moral. Yang dimaksud di sini adalah kode etik. Ketiga, etika
mempunyai arti sebagai ilmu tentang yang baik atau buruk. Etika di sini sama
artinya dengan filsafat moral.[92] Dan pada pengertian etika kedua ini, etika
sebagai kumpulan asas atau nilai moral, inilah yang akan menjadi fokus
pembahasan penyusun, khususnya etika yang ada di lingkungan profesi hakim, yang
tertuang dalam kode etik profesi hakim.
Sedangkan pengertian profesi sendiri adalah berasal dari kata profession yang
mengandung arti pernyataan, kesanggupan, atau sumpah yang dibuat karena
memasuki suatu kepercayaan agama, dalam hal ini suatu profesi.[93]
Sedangkan kata "profesi" merupakan lawan dari kata "amatir"
yakni melakukan suatu pekerjaan hanya sebagai kegiatan hoby atau kesukaan. K.
Bertens mengartikan profesi adalah suatu moral community (masyarakat moral)
yang memiliki cita-cita dan nilai-nilai bersama. Dengan keahlianya, kelompok
profesi menjadi kalangan yang sukar ditembus bagi orang luar.[94] Nugroho
Notosusanto mengatakan bisa dikatakan profesi apabila mempunyai ciri ciri
sebagai berikut, yaitu mempunyai expertise (keahlian), responsibility (tanggung
jawab), dan corporateners (kesejawatan). Ketiga ciri tersebut saling terkait
dalam suatu profesi.[95]
Dengan demikian sebuah profesi memiliki prinsip-prinsip etika yaitu; pertama,
prinsip tanggung jawab artinya para profesional harus bertanggung jawab
terhadap pelaksanaan pekerjaan itu dan dampak yang ditimbulkannya. Kedua,
prinsip keadilan, artinya para profesional harus memberikan kepada siapa saja
yang menjadi haknya tanpa memandang status sosialnya. Ketiga, otonomi artinya
setiap profesional memiliki dan diberi kebebasan dalam menjalankan profesinya
selama masih dalam koridor kode etik.[96] Karena kode etik merupakan
aturan-aturan susila atau sikap akhlak yang ditetapkan bersama dan ditaati
bersama oleh para anggota yang tergabung dalam suatu organisasi profesi. Jadi
kode etik berupa suatu ikatan, tatanan, kaidah atau norma yang harus
diperhatikan yang berisi petunjuk tentang apa yang boleh dan apa yang tidak
boleh diperbuat oleh anggota profesi dalam menjalankan profesinya, sebagai
pencegahan munculnya tindakan immoral yang pelanggarannya membawa akibat atau
konsekuensi tertentu.
Kode etik sebagai hasil kesepakatan anggota, bertujuan agar anggota tidak
terjebak kepada pelanggaran norma yang lebih fatal maka ditetapkan sistem
sanksi. Dalam dalam organisasi profesi hukum yang solid, keberadaan kode etik
profesi merupakan norma moral yang implikasinya mendekati efektifitas norma
hukum.[97] Sehingga organisasi dapat memberikan sanksi, dan sanksi tersebut
hanya sanksi organisasi atau dengan sanksi administrasi melalui pihak yang
berwenang terhadap anggota profesi yang tidak mematuhi kode etik antara lain
berupa pencabutan dari keanggotaannya.
Sehingga kode etik sendiri adalah hasil usaha pengarahan kesadaran moral para
anggota profesi tentang persoalan-persoalan khusus yang dihadapinya dan dapat
ditentukan aspek-aspek moral yang terkandung di dalam suatu profesi yang
memiliki nilai tinggi sebagai tujuan dari profesi tersebut. Ciri-ciri tersebut
tentang bagaimana profesional etis yang dapat mengcover perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi tanpa meninggalkan aspek sosial budaya bangsanya, ini
sekaligus memberikan pengertian bahwa kode etik profesi merupakan bagian dari
etika masyarakat. Oleh kerena itu kode etik profesi tidak boleh bertentangan
dengan etika masyarakat.
Kedudukan seorang profesional dalam suatu profesi, pada hakikatnya merupakan
suatu kedudukan yang terhormat, karena setiap profesi terlihat kewajiban agar
ilmu yang dimiliki dijalankan dengan ketulusan hati dan i’tikad baik bagi
kehidupan masyarakat luas.
2. Rincian Kode Etik Profesi Hakim Indonesia
Uraian mengenai kode
etik hakim meliputi: Ketentuan umum, pedoman tingkah laku, komisi kehormatan
profesi hakim, dan penutup. Adapun deskripsi lebih terperinci dari bagian kode
etik profesi hakim tersebut adalah sebagai berikut :
Bab I ketentuan umum pasal 1 berisi ketentuan umum. Pada bagian ini menguraikan
maksud dari istilah kode etik, pedoman tingkah laku, komisi kehormatan profesi
hakim, azas peradilan yang merupakan ketentuan yang ada, dan juga maksud dari
dibentuknya kode etik profesi hakim. Pertama, sebagai alat pembinaan dan
pembentukan karakter dan pengawasan tingkah laku hakim. Kedua, sebagai sarana
control sosial, pencegah campur tangan ekstra judicial serta pencegah timbulnya
konplik antar sesama anggota juga terhadap masyarakat. Ketiga sebagai jaminan
peningkatan moralitas dan kemandirian hakim, keempat menumbuhkan
kepercayaan masyarakat pada lembaga peradilan.[98] Selanjutnya,
Bab II mengatur tentang pedoman tingkah laku (Code of Conduct) hakim yang
merupakan penjabaran dari kode etik profesi hakim yang menjadi pedoman bagi
hakim Indonesia, yang tercermin dalam lambang hakim yang dikenal dengan
"Panca Dharma Hakim". Pasal ini menjelaskan bagaimana kepribadian
yang harus di miliki seorang hakim. Kartika artinya Hakim Indonesia adalah
memiliki sifat percaya dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Cakra, yaitu mampu
memusnahkan segala kebatilan, kezaliman dan ketidakadilan. Candra, yaitu
memiliki sifat bijaksana dan berwibawa. Sari, yaitu bersifat jujur.[99] Dan
juga dijelaskan bagaimana sikap hakim dalam persidangan yang telah tercantum
dalam tata aturan hukum acara yang berlaku, sikap terhadap sesama rekan,
terhadap bawahan atau pegawai, terhadap masyarakat, terhadap keluarga atau
rumah tangga. Serta kewajiban dan larangan bagi hakim tersebut.
Bab III mengatur tentang komisi kehormatan profesi hakim sebagai lembaga yang
di bentuk dari tingkat pusat sampai daerah.[100] Lembaga ini bertugas
memberikan pembinaan, meneliti dan memeriksa atas pelanggaran yang
dilakukan.[101] Kemudian diberikan sanksi baik dari tahap teguran sampai
pemberhentian sebagai anggota IKAHI.[102] Komisi kehormatan profesi hakim
tersebut dalam memproses pelanggaran melalui mekanisme hukum acara dari mulai
pemanggilan, pemeriksaan, pembelaan dan putusan dengan tata cara pengambilan
putusan dalam majelis hakim.
Bab IV penutup berisi tentang berlakunya kode etik profesi hakim. Dalam bab
terakhir ini disebutkan bahwa kode etik profesi hakim berlaku sejak disyahkan
oleh musyawarah nasional (MUNAS) ke XIII tanggal 30 Maret 2001.
Dari sistematika kode etik profesi hakim tersebut, maka yang menjadi bahasan
dalam penyusunan penelitian ini adalah ketentuan-ketentuan mengenai hukum
materiilnya yaitu dari Bab II.
Adapun uraian mengenai Kode Etik Profesi hakim meliputi sifat-sifat hakim,
sikap hakim dalam persidangan, terhadap sesama rekan, terhadap bawahan,
terhadap masyarakat, terhadap keluarga atau rumah tangga serta kewajiban dan
larangan profesi hakim.
Sifat hakim tercermin dalam lambang Hakim yang dikenal dengan "Panca
Dharma Hakim" :
1.
Kartika, yaitu memiliki sifat percaya dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing menurut dasar kemanusiaan
yang adil dan beradab.
2.
Cakra, yaitu sifat mampu memusnahkan segala kebathilan, kezaliman dan
ketidakadilan.
3.
Candra, yaitu memiliki sifat bijaksana dan berwibawa.
4.
Sari, yaitu berbudi luhur dan berkelakuan tidak tercela.
5.
Tirta yaitu sifat jujur.
Adapun
Setiap Hakim Indonesia memepunyai pegangan tingkah laku yang harus
dipedomaninya :
A. Dalam persidangan
:
1. Bersikap
dan bertindak menurut garis-garis yang ditentukan dalam hukum acara yang
berlaku, dengan memperhatikan azas-azas peradilan yang baik, yaitu :
a
Menjunjung tinggi hak seseorang untuk mendapat putusan (right to a decision)
dimana setiap orang berhak untuk mengajukan perkara dan dilarang menolak untuk
mengadilinya kecuali ditentukan lain oleh undang-undang serta putusan harus
dijatuhkan dalam waktu yang pantas dan tidak terlalu lama.
b
Semua pihak yang berperkara berhak atas kesempatan dan perlakuan yang sama
untuk didengar, diberikan kesempatan untuk membela diri, mengajukan bukti-bukti
serta memperoleh imformasi dalam proses pemeriksaan.(a fair hearing).
c
Putusan dijatuhkan secara obyektif tanpa dicemari oleh kepentingan pribadi
atau pihak lain (no bias) dengan menjunjung tinggi prinsip (nemo judex in
resua).
d
Putusan harus memuat alasan-alasan hukum yang jelas dan dapat dimengerti serta
bersifat konsisten dengan penalaran hukum yang sistematis (reasones and
argumentation of decision), dimana argumentasi tersebut harus diawasi
(controlerbaarheid) dan diikuti serta dapat dipertanggungjawabkan
(accountability) guna menjamin sifat keterbukaan (transparency) dan kepastian
hukum (legal certainity) dalam proses peradilan.
e
Menjunjung tinggi hak-hak azasi manusia.
2. Tidak
dibenarkan menunjukkan sikap memihak atau bersimpati ataupun antipati kepada
pihak-pihak yang berperkara, baik dalam ucapan maupun tingkah laku.
3. Harus
bersifat sopan, tegas dan bijaksana dalam memimpin sidang, baik dalam ucapan
maupun dalam perbuatan.
4. Harus
menjaga kewibawaan dan kehidmatan persidangan antara lain serius dalam
memeriksa, tidak melecehkan pihak-pihak baik dengan kata-kata maupun perbuatan.
5. Bersungguh-sunguh
mencari kebenaran dan keadilan.
B. Terhadap Sesama
Rekan
1. Memelihara
dan memupuk hubungan kerjasama yang baik antara sesama rekan.
2. Memiliki
rasa setia kawan, tenggang rasa dan saling menghargai antara sesama rekan.
3. Memiliki
kesadaran, kesetiaan, penghargaan terhadap korps Hakim secara wajar.
4. Menjaga
nama baik dan martabat rekan, baik di dalam maupun di luar kedinasan.
C. Terhadap Bawahan
atauPegawai
1. Harus
mempunyai sifat kepemimpinan.
2. Membimbing
bawahan atau pegawai untuk mempertinggi pengetahuan.
3. Harus
mempunyai sikap sebagai sebagai seorang bapak atau Ibu yang baik.
4. Memelihara
sikap kekeluargaan terhadap bawahan atau pegawai.
5. Memberi
contoh kedisiplinan.
D. Terhadap
Masyarakat.
1. Menghormati
dan menghargai orang lain.
2. Tidak
sombong dan tidak mau menang sendiri
3. Hidup sederhana.
E. Terhadap keluarga
atau rumah tangga
1. Menjaga
keluarga dari perbuatan-perbuatan tercela, menurut norma-norma hukum
kesusilaan.
2. Menjaga
ketentraman dan keutuhan keluarga.
3. Menyelesaikan
kehidupan rumah tangga dengan keadaan dan pandangan masyarakat.
Selain dijelaskan tentang sifat dan sikap hakim juga terdapat ketentuan
kewajiban dan larangan profesi hakim
1. Kewajiban :
a
Mendengar dan memperlakukan kedua belah pihak berperkara secara berimbang
dengan tidak memihak(impartial).
b
Sopan dalam bertutur dan bertindak.
c
Memeriksa perkara dengan arif, cermat dan sabar.
d
Memutus perkara berdasarkan atas hukum dan rasa keadilan.
e
Menjaga martabat, kedudukan dan kehormatan Hakim.
2. Larangan :
a
Melakukan kolusi dengan sipapun yang berkaitan dengan perkara yang akan dan
sedang ditangani.
b
Menerima suatu pemberian atau janji dari pihak-pihak yang berperkara.
c
Membicarakan suatu perkara yang ditanganinya diluar cara persidangan.
d
Mengeluarkan pendapat atas suatu kasus yang ditanganinya baik dalam
persidangan maupun diluar persidangan mendahului putusan.
e
Melecehkan sesama hakim, jaksa, penasehat Hukum para pihak berperkara, ataupun
pihak lain.
f
Memberikan komentar terbuka atas putusan hakim lain, kecuali dikeluarkan dalam
rangka pengkajian ilmiah.
g
Menjadi anggota atau salah satu partai Politik dan pekerjaan atau jabatan yang
dilarang undang-undang.
h
Mempergunakan nama jabatan korps untuk kepentingan pribadi ataupun
kelompoknya.
Uraian tersebut di atas merupakan standar minimal dalam pelayanan hukum bagi
seorang hakim. Apabila pelayanannya terdapat kesalahan baik yang diperbuat
dengan sengaja maupun tidak sengaja atau melebihi batas wewenangnya maka dia
dapat dikenakan sanksi baik berupa teguran, skorsing, maupun pemberhentian
sebagai anggota Ikatan hakim Indonesia.[103] Adapun proses pemeriksaannya
dilakukan secara tertutup yang sebelumnya diberikan kesempatan untuk melakukan
pembelaan diri dan kemudian dari hasil pemeriksaan tersebut dituangkan dalam
Berita Acara Pemeriksaan yang ditandatangani oleh semua anggota komisi
kehormatan profesi hakim dan yang diperiksa. Keputusan dari hasil pemeriksaan
itu diambil sesuai dengan tata cara pengambilan putusan dalam majlis hakim.
3. Nilai-nilai dalam Kode Etik Profesi Hakim.
Sebelumnya telah dijelaskan akan pentingnya etika dalam sebuah organisasi
profesi, dalam hal ini profesi hakim. Dan akan kita bahas tentang pokok-pokok
kode etik profesi hakim. Bagaimanakah pandangan etika terhadap profesi hakim,
Apa saja bentuk dan jenis norma etis yang dianut dan wajib dilaksanakan oleh
para hakim. Hal inilah yang menjadi permasalahan pada bagian ini. Pembahasan
pokok-pokok etika ini dimaksudkan untuk mengetahui bahwa nilai-nilai etika
dalam profesi hakim.
Profesi hukum merupakan salah satu profesi yang menuntut pemenuhan nilai moral
bagi pengembannya. Nilai moral tersebut akan menjadi landasan bagi tindakannya.
Ada 5 (lima) nilai moral yang terkandung dalam profesi hakim yaitu 1. Nilai
kemandirian atau kemerdekaan.
Di sini terkandung nilai profesi hakim adalah profesi yang mandiri, yang dalam
melaksanakan tugasnya, tidak boleh dipengaruhi oleh pihak manapun. Begitu pula
Hakim dalam menjalankan tugasnya tidak boleh dipengaruhi oleh pihak manapun.
Hakim dalam menjatuhkan putusan berdasarkan keyakinan yang dilandasi dengan
kejujuran dan keseksamaan, yang diambil setelah mendengar dan mempelajari
keterangan-keterangan dari semua pihak. Nilai kemandirian atau kemerdekaan ini
sangat penting karena tanpa nilai ini, nilai-nilai lain tidak akan bisa
ditegakkan.
Hal ini memperjelas bahwa untuk mendukung terlaksananya tugas-tugas profesi
hakim maka diperlukannya kemandirian hakim. Namun harus kita pahami bahwa
kemandirian ini adalah bukan dengan identik dengan kebebasan yang mengarah
kepada pada kesewenang wenangan. Tentu hal ini kembali kepada kemandirian moral
dan keberanian moral. Kemandirian moral artinya tidak mudah terpengaruh atau
tidak mudah mengikuti pandangan moral sekitarnya, melainkan membentuk
penilaian dan mempunyai pendirian sendiri. Mandiri secara moral berarti tidak
dapat dibeli oleh pendapat mayoritas, tidak terpengaruh pertimbangan untung
rugi, menyesuaikan diri dengan nilai kesusilaan dan agama. Sedangkan
keberanian moral adalah kesetiaan terhadap suara hati nurani yang menyatakan
kesediaan untuk menanggung resiko konflik. Keberanian tersebut antara lain
menolak segala bentuk korupsi, kolusi, suap, pungli; menolak segala bentuk
penyelesaian melaui jalan belakang yang tidak sah.[104] Hal ini dapat
menjadikan seorang hakim menjadi kuat, demikian pula faktor kemandirian moral
dan keberanian moral yang kedua-duanya saling mengikat.
2. Nilai keadilan.
Kewajiban menegakan keadilan tidak hanya dipertanggungjawabkan secara
horizontal kepada sesama manusia, tetapi juga secara vertikal kepada Tuhan Yang
Maha Esa. Maka pengadilan harus mengadili menurut hukum dan tidak
membeda-bedakan orang Yang dicerminkan dalam proses penyelengaraan peradilan
yaitu membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan
rintangan untuk dapat tercapainya peradilan secara sederhana, cepat, dan biaya
ringan.[105] Agar keadilan tersebut dapat dijangkau oleh seluruh lapisan
masyaarakat, dengan tidak memutar balikan fakta dan tidak membedakan orang
dengan tetap memegang asas praduga tak bersalah. Dan nilai ini dapat diperluas
sampai kepada hakim wajib menghormati hak seseorang (setiap orang yang
tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum).[106] Serta memperoleh
ganti rugi dan rehabilitasi akibat kekeliruan tentang orang atau hukum yang
diterapkan.[107]
3. Nilai kerja sama
dan kewibawaan korp
Nilai kerja sama ini diwujudkan dalam persidangan salah satunya dalam bentuk
majlis dengan sekurang-kurangnya berjumlah sebanyak tiga orang hakim untuk
memusyawarahkan hasil dari persidangan secara rahasia yang kemudian menjatuhkan
putusan, disamping itu perlunya saling memberi bantuan dan adanya kerja sama
dengan negara lain yang meminta keterangan, pertimbangan, atau nasehat-nasehat
yang berkaitan dengan hukum.
4. Nilai
pertanggungjawaban.
Sikap pertanggungjawaban ini berdimensi vertical dan horizontal. Secara
vertical berarti bertanggungjawab kepada Tuhan Yang Maha Esa. Secara horizontal
berarti bertanggung jawab kepada sesama manusia, baik kepada lembaga peradilan
maupun kepada masyarakat luas.[108] Dan dalam kaitanya dengan putusan
pengadilan harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar atas pasal-pasal tertentu
dari peraturan yang bersangkutan atau sumberhukum yang tidak tertulis yang
dijadikan dasar untuk mengadili.[109] Nilai ini penting dalam meletakan
tanggung jawab hakim terhadap keputusan yang dibuatnya, sehingga putusan itu
memenuhi tujuan hukum berupa keadilan (Gerectigkeit), kepastian hukum
(Rechtssicherheit), dan kemamfaatan (Zweckmassigkeit).
Menurut O. Notohamidjojo, ada empat norma yang penting dalam penegakan hukum
yaitu kemanusiaan, keadilan, kepatutan, dan kejujuran. Keempat norma etis
inilah yang akan dieksplorasi lebih jauh dalam penelitian ini.
a. Kemanusiaan
Norma kemanusiaan menuntut supaya dalam penegakan hukum, manusia senantiasa
diperlakukan sebagai manusia, sebab ia memiliki keluhuran pribadi. Dalam
hubungan person dengan kesejahteraan umum, maka diperlukan adanya penjernihan
makna tentang individu dan person. Karena pada dasarnya manusia itu mempunyai
dua dimensi metafisis, yaitu individualitas dan sosialitas, berbeda dari yang
lain namun tidak terpisahkan dari yang lain, satu sama lainnya saling
menentukan. Individualitas berakar didalam unsur-unsur yang dalam susunan badan
manusia menentukan prilaku temperamen (keadaan rasa dan pikiran) dan menyatakan
dirinya dalam bentuk emosi yang bersifat infrarasional, sedangkan dari aspek
sosialitasnya manusia pribadi itu senantiasa hidup dalam masyarakat atau
persekutuan manusia. Sebagai akibatnya sering menimbulkan kerja sama dan
konflik akibat dari adanya saling menilai baik sebagai individu (nilai primer)
maupun masyarakat (sekunder).[110]
Dihadapan hukum, manusia harus dimanusiakan artinya dalam penegakan hukum
manusia harus dihormati sebagai pribadi dan sekaligus sebagai makhluk
sosial.[111] Manusia menurut kodratnya adalah baik,namun kondisi sosial yang
kadangkala memaksa manusia berbuat jahat justru untuk mempertahankan kodratnya
itu. Sebagai contoh seorang mencuri hak orang lain dalam rangka mempertahankan
hidupnya, meskipun sadar bahwa mencuri dilarang oleh hukum positif. menurut
pertimbangannya, dari pada mati kelaparan lebih baik bertahan hidup dengan
barang curian, dan hidup adalah hak asasi yang wajib dipertahankan. Oleh karena
itu, manusia yang diancam sanksi dalam kerangka penegakan hukum positif yang
telah dilanggarnya tetap diperlakukana sebagai manusia, yang wajib dihormati
hak-hak asasinya.[112] Manusia memang mempunyai kodrat bebas atau merdeka,
karena ia memiliki hak-hak individual. Namun dalam pelaksanaanya hak-hak
tersebut berbenturan dengan hak-hak orang lain dan tidak boleh membahayakan
orang lain. Kebebasan adalah hak milik setiap manusia sejak lahirnya. Tidak ada
satupun hukum buatan manusia yang dapat merampas hak tersebut, sebab hak kebebasan
itu diperoleh dari hukum alam.[113]
Dalam menjalankan profesinya, para profesional dituntut untuk menjalankan dua
keharusan yaitu keharusan untuk menjalankan profesinya secara bertanggung jawab
terhadap pekerjaan yang dilakukan dan dampak pekerjaannya kepada orang lain,
serta keharusan untuk tidak melanggar hak-hak orang lain, artinya keadilan
menuntut kita untuk senantiasa kita berikan kepada yang berhak.
Seorang hakim dalam dalam bertindak harus memperhatikan sesuai yang ditentukan
dalam hukum acara yang berlaku dengan memperhatikan azas-azas peradilan, tidak
menunjukan sikap memihak atau antipati kepada pihak yang berperkara dan tidak
boleh bersikap diskrimimanatif karena perbedaan agama, kepercayaan, suku,
keturunan, jenis kelamin, keyakinan politik dan kedudukan sosialnya. Semua
warga negara mempunyai hak yang sama dihadapan hukum.
b. Keadilan
Menurut Thomas Aquinas, keadilan didefinisikan sebagai kebiasaan di mana orang
satu sama lain saling memberikan apa yang menjadi haknya didasarkan atas
kehendak yang bersifat ajeg dan kekal. Keadilan sebagai salah satu bentuk
kebajikan yang menuntun manusia dalam berhubungan dengan sesamanya. Dalam
pengertian ini Segala hal yang bertentangan dengan hak dianggap tidak adil. Dan
seseorang disebut adil bila ia mengenali dan mengakui yang lain sebagai yang
benar-benar berbeda dari dirinya sendiri.[114] Oleh karena itu seorang hakim
disebut adil dalam keputusannya apabila memberi sanksi hukuman pada pelanggar
hukum, atau membantu seseorang untuk memperoleh apa yang menjadi haknya,
melalui segala keputusan yang dibuatnya.
Ada dua jenis tuntutan keadilan yaitu mentaatinya secara hukum dan secara
moral. Secara hukum seorang pejabat telah disumpah untuk menjadi pengayom bagi
setiap warga Negara, termasuk bawahannya sendiri, maka secara moral tidak dapat
dibenarkan bila lari dari tanggung jawab setelah perbuatannya ternyata
merugikan atau mendatangkan penderitaan bagi bawahannya. Keadilan dapat juga
dalam bentuk kewajiban yang harus dibayarkan kepada orang lain. Seperti sanksi
pidana terhadap pelaku kejahatan berfungsi untuk memulihkan pelanggaran pidana
yang telah dilakukannya. Sanksi pidana berfungsi untuk memulihkan keadilan yang
telah dirusak oleh pelaku kejahatan.[115]
Ada tiga bentuk dasar keadilan yaitu :
Keadilan tukar secara timbal balik (iustitia commutative), yaitu keadilan yang
mengatur hubungan antara individu dengan individu lain sebagai partner.
Keadilan pelayanan atau distributive (iustutia distributive), yaitu keadilan
yang menertibkan hubungan di antara masyarakat atau negara dengan individu
sebagai warga masyarakat atau negara.
Keadilan legal atau keadilan umum (iustitia legalis, iustitia generalis),
yaitu keadilan yang menertibkan hubungan antara individu terhadap masyarakat
atau negara.[116]
Dalam melaksanakan tugasnya hakim dilarang melakukan kolusi dengan siapapun
yang berkaitan dengan perkara yang akan dan sedang ditangani sehingga
keputusan yang dibuat benar-benar adil, tidak berpihak. Hakim dalam memutuskan
perkara tumbuh dari integritas (kejujuran dan keterbukaan) dan keberanian
without fear ar favor tanpa takut dan memberikan keuntungan kepada pihak yang
berperkara.[117] Karena apabila terdapat atau terjadi penyelewengan terhadap
kode etik sebagai salah satu acuan atau pedoman tingkah laku dalam menjalani
profesinya, maka tempat untuk menyelesaikan sengketa tersebut melalui wadah
formal yang ada yaitu komisi kehormatan profesi hakim.
c. Kejujuran
Kejujuran ialah hal yang berhubungan dengan pengertian tentang kebenaran
terutama berkaitan dengan bidang hukum dan moral. Kejujuran sendiri merupakan
kebajikan yang mengatur semua kehendak yang jujur dan terdapat dalam pergaulan
masyarakat, terutama dalam hubungan antar individu. Sehingga Setiap penegak
hukum perlu kejujuran dalam menegakkan hukum, dalam melayani pencari hukum dan
keadilan, serta diharapkan menjauhi perbuatan-perbuatan yang curang dalam
pengurusan perkara. Kejujuran berkaitan erat dengan kebenaran, keadilan,
kepatutan yang semuanya itu menyatakan sikap bersih dan ketulusan pribadi
seseorang yang sadar akan pengendalian diri terhadap apa yang seharusnya tidak
boleh dilakukan. Kejujuran adalah kendali untuk berbuat menurut apa adanya
sesuai dengan kebenaran akal (ratio) dan kebenaran hati nurani.
d. Kepatutan
Kepatutan (equity) merupakan satu term yang tidak dapat dipisahkan dengan term
keadilan Kepatutan (equity). Kepatutan dilakukan secara praktis. Biasanya
berupa nilai atau penilaian atas berbagai macam kasus tertentu yang bukan
merupakan pokok bahasan putusan hakim yang didasarkan atas keberadaan suatu
hukum tertentu. Segala bentuk hukum pada dasarnya merupakan generalisasi
universal, yang keberlakuannya tidak mengenal perkara, kasus istimewa, barulah
menenguk makna "equity" atau apa yang patut atau layak.
Keadilan pada dasarnya merupakan kebajikan yang diwujudkan dalam sikap
objektif, apa adanya dan umum. Sikap ini yang mengatur hubungan yang hakiki di
dalam masyarakat. Jika keadilan dipahami seperti ini, maka makna keadilan akan
sangat abstrak dan kurang mengenai situasi dan keadilan manusia secara
individual. Yang diperlukan manusia adalah koreksi dan perhatian khusus bagi
dirinya, sesuai dengan kualitas, situasi serta keberadaannya sendiri. Dalam hal
ini pula orang memerlukan kepatutan, sebab kepatutan memperhatikan dan
memperhitungkan situasi dan keadilan manusia sebagai individual. Jadi kepatutan
akan menyingkirkan kekerasan dan kekejaman hukum terutama dalam situasi dan
kondisi khusus.[118] Dan kepatutan sendiri menempatkan apa yang patut atau apa
yang layak, dalam hukum bukan saja keadilan menurut hukum, melainkan juga adil
secara moral. Karena putusan hakim akan patut apabila menunjukkan
perbuatan yang patut dibuat, dan tidak mengandung cacat bagi putusan
pengadilan.
BAB III
KODE ETIK PROFESI
HAKIM DALAM ISLAM
A. Pengertian Etika
Islam
Pemahaman terhadap
eksistensi kode etik profesi hakim dalam wacana pemikiran hukum Islam adalah
sistem etika Islam yang akan menjadi landasan berfikir untuk melihat
nilai-nilai yang ada dalam kode etik profesi hakim.
Etika dalam Islam
disebut dengan akhlak. Akhlak berasal dari bahasa arab yang artinya perangai,
tabiat, rasa malu dan adat kebiasaan atau dalam pengertian sehari-hari disebut
budi pekerti, kesusilaan atau sopan santun. Dengan demikian ahklak merupakan
gambaran bentuk lahir manusia.[119]
Ahmad Amin memberikan
definsi akhlak adalah suatu ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk,
menerangkan apa yang harusnya dilakukan oleh sebagian manusia kepada manusia
lainnya, menyatakan apa yang harus dituju oleh manusia dalam hal perbuatan
mereka dan menunjukkan jalan apa yang harus diperbuat.[120]
Sedangkan menurut A.
Mustofa akhlak dalam Islam (akhlak Islam) adalah merupakan sistem moral atau
akhlak yang berdasarkan Islam, yakni bertitik tolak dari akidah yang diwahyukan
Allah pada Nabi atau Rasul-Nya yang kemudian disampaikan pada umatnya.[121] Akidah
tersebut diwujudkan menjadi tabiat atau sifat seseorang, yakni telah biasanya
dalam jiwa seseorang yang benar-benar telah melekat sifat-sifat yang melahirkan
perbuatan-perbuatan dengan mudah dan spontan tanpa dipikirkan. Perbuatan
tersebut terkadang berbentuk baik dan terkadang juga berbentuk buruk.
Dengan demikian pada tahap pertama merupakan hasil pemikiran atau pertimbangan
tetapi lama-lama menjadi melekat dan tanpa pertimbangan dan pemikiran. Dan
dapat dikatakan akhlak merupakan manifestasi iman, Islam dan ihsan yang
merupakan repleksi sifat dan jiwa secara spontan yang terpola pada diri sendiri
sendiri sehingga dapat melahirkan perilaku secara konsisten dan tidak
tergantung pada pertimbangan interes tertentu.[122]
Sehingga Majid Fakhry
menyebutkan etika atau akhlak adalah gambaran rasional mengenai hakikat dan
menjadi dasar perbuatan dan keputusan yang benar serta prinsip-prinsip yang
menentukan klaim bahwa perbuatan dan keputusan tersebut secara moral
diperintahkan atau dilarang.[123] Lebih ditegaskan lagi etika adalah merupakan
hal keyakinan religius tertentu (I'tiqadat) untuk diamalkan, dan bukan demi
pengetahuan belaka.[124] Dari pengertian di atas etika dan akhlak kalau
dipahami adalah merupakan dua kata yang mempunyai kesamaan dan juga perbedaan,
persamaanya adalah pada obyek yakni sama-sama membahas tentang baik dan buruk
tingkah laku manusia sedangkan perbedaanya adalah pada parameternya yaitu etika
terhadap akal, dan akhlak terhadap agama (al-Qur'an dan Hadis}).
Dengan demikian etika mempunyai peranan penting karena lebih menekankan pada
bentuk bathiniyah yang berkaitan dengan pelaksanaan hukum (syari'ah) yang
berbentuk bat}iniyah. Lebih jauh lagi merupakan aspek penting bagi penegak
hukum, khususnya profesi hakim. Karena moralitas atau etika sebagai dorongan
terhadap keadaan jiwa yang diwujudkan dalam melaksanakan profesinya.
B. Landasan Etika
Profesi Dalam Islam
Persoalan etika dalam Islam sudah banyak dibicarakan dan termuat dalam
al-Qur'an dan al-Hadis. Etika Islam adalah merupakan sistem akhlak yang
berdasarkan kepercayaan kepada tuhan, dan sudah tentu berdasarkan kepada agama,
dengan demikian al-Qur'an dan al-Hadis adalah merupakan sumber utama yang
dijadikan landasan dalam menentukan batasan-batasan dalam tindakan sehari-hari
bagi manusia, ada yang menerangkan tentang baik dan buruk, boleh dan dilarang,
maka etika profesi hakim di sini merupakan bagian dari perbuatan yang menjadi
fokus bahasan.
Namun al-Qur'an yang
menerangkan tentang kehidupan moral, keagamaan dan sosial muslim tidak
menjelaskan teori-teori etika dalam arti yang khusus sekalipun menjelaskan
konsep etika Islam, tetapi hanya membentuk dasar etika Islam, bukan teori-teori
etika dalam bentuk baku.[125] Tetapi masalah yang paling utama adalah bagaimana
mengeluarkan ethik Islam yang bersumber dari al-Qur'an yang melibatkan seluruh
moral, keagamaan, dan sosial masyarakat muslim guna menjawab semua permasalahan
yang timbul baik dari dalam maupun dari luar.
Dengan demikian perlu dari kedua sumber tersebut yang pada umumnya memiliki
sifat yang umum, karena itu perlu dilakukan upaya-upaya dan kualifikasi agar
dipahami sehingga perlu melalui penjelasan dan penafsiran. Permasalahan
kehidupan manusia yang semakin kompleks dengan dinamika masyarakat yang semakin
berkembang. Maka akan dijumpai berbagai macam persoalan – persoalan terutama
masalah moralitas masyarakat muslim, pada masa Nabi Muhammad yang
terbentuk setelah turunnya wahyu al-Qur'an, sehingga masih bisa dikembalikan kepada
sumber al-Qur'an dan penjelasan dari Nabi sendiri. Seiring dengan perkembangan
masyarakat dan keagamaan ketika itu yang dihadapkan dengan masalah budaya, adat
dan pola pikir masyarakat yang berkembang saat itu, maka keadaan moralitas
menjadi sangat penting dan komplek.
Al-Qur'an sendiri menjelaskan tentang etika dengan berdasarkan tiga terma
kunci, utama yang merupakan pandangan dunia al-Qur'an. Ketiga terma kunci
tersebut adalah iman, Islam, dan taqwa yang jika direnungkan akan memperlihatkan
arti yang identik. Istilah iman berasal dari akar kata (ا مّن) yang artinya
”keamanan”, “bebas dari bahaya, “damai”, Islam yang akar katanya (سلم )yang
artinya “aman dan integral”, “terlindungi dari disintegrasi dan kehancuran”.
Dan taqwa yang sangat mendasar bagi al-Qur'an disamping kedua istilah di atas,
yang memiliki akar kata (وقي) juga berarti “melindungi dari bahaya”,
“menjaga kemusnahan, kesia-siaan, atau disintegrasi”.[126] Sehingga pembahasan
etika yang terdapat dalam al-Qur'an mengandung cakrawala yang luas karena
menyagkut nilai-nilai yang terkandung dalam kehidupan manusia baik secara
individu, masyarakat dan Negara secara umum demi mencapai kebahagian baik di
dunia dan di akhirat.
Menurut Madjid Fakhri, sistem etika Islam dapat dikelompokkan menjadi empat
tipe. Pertama, moral skripturalis. Kedua, etika teleologis. Ketiga, teori-teori
etika filsafat. Keempat, etika religius.[127] Dari keempat tipologi etika Islam
tersebut, etika religius akan menjadi pilihan sebagai landasan teori yaitu
nilai-nilai etika yang didasarkan pada konsep al-Qur'an tentang nilai-nilai
etika hukum dalam Islam. Dengan demikian penyusun hanya akan menjelaskan salah
satu macam etika yaitu etika religius yang menjadi landasan.
Etika religius adalah etika yang dikembangkan dari akar konsepsi-konsepsi
al-Qur'an tentang manusia dan kedudukannya di muka bumi, dan cenderung
melepaskan dari kepelikan dialektika dan memusatkan pada usaha untuk
mengeluarkan spirit moralitas Islam secara utuh.[128] Bahan-bahan etika
religius adalah pandangan-pandangan dunia al-Qur'an, konsep-konsep teologis,
kategori-kategori filsafat dan dalam beberapa hal sufisme. Karena itu sistem
etika religius muncul dalam berbagai bentuk yang kompleks sekaligus memiliki
karakteristik yang paling Islami. Diantara eksponennya adalah Hasan al-Basri,
al-Mawardi, al-Raghib al-Isfahani, al-Ghazali, dan Fakhruddin ar-Razi.
al-Ghazali yang sistem etikanya mencakup moralitas filosofis, teologis, dan
sufi, adalah contoh yang paling representatif dari etika religius.[129]
Sementara kajian epistemologi terhadap nilai-nilai suatu perbuatan, oleh F.
Huorani dikelompokkan menjadi empat aliran, yaitu: Pertama, Obyektifisme;
“right” memiliki arti yang obyektif, yaitu suatu perbuatan itu disebut benar
apabila terdapat kualitas benar pada perbuatan itu. Aliran ini biasanya
dimiliki oleh aliran mu’tazilah dan filsuf muslim. Kedua, Subyektivism; “right”
tidak memiliki arti yang obyektif, tetapi sesuai dengan kehendak dan perintah
dan ketetapan Allah swt. Tipe ini disebut secara spesifik oleh George F.
Huorani dengan theistic subjectivisme atau divine subjectivisme. Terma ini
disepadankan oleh George F. Huorani dengan sebutan ethical voluntarism. Ketiga,
Rationalism; ‘right” itu dapat diketahui dengan akal semata atau akal bebas.
Artinya, akal manusia dinilai mampu membuat keputusan etika yang benar
berdasarkan data pengalaman tanpa menunjuk kepada wahyu. Aliran ini dengan
pendayaannya terhadap akal disepadankan oleh George F. Huorani dengan kelompok
intuitionist. Aliran ini dibagi 2 yaitu: pertama, “right” selalu dapat
diketahui oleh akal secara bebas. Kedua, “right” dalam beberapa kasus dapat
diketahui oleh akal semata, pada kasus lain diketahui oleh wahyu, sunnah,
ijma', dan qiyas, atau dapat diketahui oleh akal dan wahyu dan seterusnya.
Aliran ini secara spesifik disebut dengan partial rationalism.
Keempat,Traditionalism; “right” tidak akan pernah dapat diketahui dengan akal
semata tetapi hanya dapat diketahui dengan wahyu dan sumber-sumber lain yang
merujuk kepada wahyu. Menurut George F. Huorani, aliran ini bukan tidak sama
sekali tidak memanfaatkan kemampuan akal, tetapi kemampuan akal dipergunakan
pada saat menafsirkan al-Qur'an dan sunnah, menetapkan ijma' atau menarik
qiyas. Aliran seperti ini biasanya dianut oleh para fuqoha dan
mutakallimun.[130]
Sedangkan kata-kata profesi sendiri dalam Al-Qur'an disebutkan dengan kata-kata
'aml ( عمل ) yang disebut berulang-ulang, belum lagi dengan penyebutan yang
lain atau kiasan lain. Namun ada sebagian orang yang menyebutkan bahwa Islam
tidak progresif terhadap budaya kerja. Hal ini karena disebabkan didalam Islam
adanya takdir, yang sering dipahami secara negatif atas pemahaman bahwa dalam Islam
tidak terlalu penting. Ini bias dari teologi jabariyah (aliran aqidah yang
berpendapat bahwa manusia tidak punya faktor atau penentu). Sehingga faktor
adanya kemiskinan akibat dari faktor dari teologis ini.[131]
C. Sistem Etika Islam
Dalam Penegakan Hukum
Sistem etika Islam yang berkembang terlebih dahulu dalam pemahaman agama,
sehingga hubungan antara agama dengan etika mempunyai relasi yang erat.
Keduanya memang tidak dapat dipisahkan. Keterbatasan kemampuan manusia untuk
mamahami ajaran agama menyebabkan perlunya manusia mencari jalan dan
berfikir yang tepat untuk membantu manusia dalam menafsirkan agama, karena
tidak semua orang sepakat dalam suatu pendapat. Begitu juga terhadap
peristiwa-peristiwa sekarang yang dulunya masih belum menjadi persoalan agama
dapat dipecahkan melalui etika dengan memperhatikan ketentuan agama.
Agama biasanya dipahami semata-mata membicarakan urusan spiritual, karenanya
ada ketegangan antara agama dan hukum. Hukum utuk memenuhi kebutuhan sosial dan
karenanya mengabdi kepada masyarakat untuk mengontrolnya dan tidak
membiarkannya menyimpang dari kaedahnya, yaitu norma-norma yang ditentukan oleh
agama.[132] Agama
di sini menekankan moralitas, perbedaan antara yang benar dan salah, baik dan
buruk, sedangkan hukum duniawi memfokuskan diri kepada kesejahteraan material
dan kurang memperhatikan etika. Terlihat dengan adanya perbedaan antara fungsi
antara etika dengan ilmu hukum yaitu etika dalam agama memerintahkan berbuat
apa yang berguna dan melarang segala perbuatan yang dilarang dan madarat
sedangkan ilmu hukum tidak karena banyak perbuatan yang baik dan berguna yang
tidak diperintahkan oleh ilmu hukum. Dari fungsi di atas menjadikan etika atau
akhlak mendalami gerak jiwa manusia secara batin walaupun tidak menimbulkan
perbuatan lahir sedangkan ilmu hukum melihat segala perbuatan yang berakibat
kepada lahir.
Hukum agama sebenarnya merupakan hukum moral "farexcellence",
sedangkan menurut Khan : "hukum moral adalah hukum dalam arti sebenarnya.Tidak
ada pemisahan total hukum dari moralitas". Oleh karena itu hukum yang
dipisahkan dari keadilan dan moralitas bukanlah hukum.[133]
Dengan demikian etika sangat bermanfaat sekali bagi seorang walaupun pada
dasarnya manusia itu sudah bermoral. Manfaat etika itu antara lain agar manusia
dapat mengadakan refleksi kritis dalam menghadapi masyarakat yang semakin
pluralistik dimana kesatuan normatif sudah tidak ada lagi. Perubahan-perubahan
masyarakat karena arus modernisasi mengakibatkan goncangan nilai budaya yang
bisa saja berubah dan mana nilai yang tetap dan tidak mungkin berubah. Etika
dapat juga membuat kita sanggup menghadapi ideologi yang menawarkan darinya
sebagai penyelamat dengan memecahkanya secara kritis dan obyektif. Karena itu
dengan etika kita akan dapat memantapkan iman kita.[134]
Etika Islam sebagai landasan yang harus dijunjung oleh seorang profesi
dalam hal ini seorang hakim (Qadi) dalam menjalankan profesinya adalah memberi
keputusan ( Judgement ) bukan menghadiahkan keadilan dan keputusan yang
diberikan harus berdasarkan hukum. Hal ini dalam konsep Islam, profesi hakim
harus benar-benar menegakkan etika, dan bagaimana etika yang harus ditegakkan
dalam menjalani profesi dalam Islam, atau yang disebut etika profesi dalam
Islam.
Konsep profesi dalam Islam tersebut adalah : [135]
1.
Meletakkan kerja sebagai sebuah amal shaleh yang dilakukan dalam kontek dan
tahapan yang runtut atas iman, ilmu, dan amal. Disini kerja terorientasi kepada
dua pandangan : aktifitas yang bernilai ibadah dan sebuah aktifitas untuk
memperoleh keuntungan financial.
2.
Menunuaikan kerja sebagai suatu penunaian amanah yang harus dilakukan secara
professional.
3.
Melakukan kerja dengan wawasan masa depan dan wawasan ukhrawi artinya dalam
melakukan kerja, seseorang harus mengingat kepentingan akan hari depannya.
[136]
Dari uraian di atas etika profesi dalam Islam adalah merupakan aktivitas yang
bukan hanya bersifat duniawi, melainkan juga sangat ukhrawi. Artinya Islam
melibatkan aspek transendental dalam beribadah, sehingga bekerja tidak hanya
bisa dilihat sebagai prilaku ekonomi tetapi juga ibadah, sehingga profesi hakim
yang dijalani adalah suatu profesi yang profesi yang harus dipertanggung jawabkan
di akhirat.
Dalam hadis\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\ di sebutkan :
القضاة ثلا ثة : اثنان
فىالناروواحد فىالجنة : رجل عرف الحق فقضى به فهوفىالجنة ورجل عرف الحق فلم يقض به
وجار فىالحكم فهوا فىالنار ورجل لم يعرف الحق فقضىللناس على جهل فهوا فى
النار[137]
Hadits} diatas menjelaskan pembagian hakim, sehingga apabila haim tidak
menjalankan amanahnya sesuai dengan sistem etika profesi dalam Islam maka
termasuk salah satu golongan hakim yang celaka, karena mengimgkari tujuan dari
etika profesi hakim yang ada, dan tidak bisa mempertanggungjawabkan akan
tugasnya diakhirat nanti.
Hal ini diungkapkan oleh al-Ghazali, bahwa tujuan etika dalam Islam berpangkal
dari pengabdian sepenuhnya pada Tuhan. Pemikiran etika al-Ghazali sangat
menekankan pada keselamatan individu baik di dunia sekarang maupun di akhirat
nanti. Adanya kewajiban bagi manusia pada hakekatnya dimaksudkan untuk
keselamatan individu.[138]
D. Prinsip-prinsip
Peradilan Dalam Nilai Etika Islam
Setelah dijelaskan landasan dan hubungan etika agama dalam penegakkan hukum,
selanjutnya akan dipaparkan suatu konsep dari suatu paradigma etika
profesi yang dikontruksi dari nilai-nilai atau prinsip-prinsip
etika profesi hakim dari lintasan sejarah secara normatif. Seperti dikatakan A.
Hanafi, sistem etika Islam selalu tercermin dalam konsep tauhid.[139] Oleh
karena itu bagi seorang hakim dalam melaksanakan profesinya harus taat pada
prinsip-prinsip peradilan yang telah yang telah digariskan oleh al-Qur'an,
sebagai pertimbangan dalam menjalani profesinya, karena ketaatan terhadap
prinsip-prinsip akan memberikan jaminan terhadap terlaksananya tujuan hukum.
Dalam lintasan sejarah peradailan Islam, Umar Bin Khattab mengatakan ada
sepuluh macam prinsip peradilan yang harus dijadikan pedoman pelaksanaan
peradilan, prinsip tersebut dinamakan Risala>latul Qad}a> Umar, prinsip
tersebut adalah :
بسم الله الرحمن
الرحيم
من عمراميرالمؤمنين
الىعبدالله بن قيس السلا م عليك ورحمة الله وبراكاته امابعد :
.فان القضاء فريضة
محكمة وسنة متبعة.
.فأفهم اذا ادلي اليك
وانفذ اذا تبين لك فانه لاينفع تكلم بحق لانفاذ له.
.اس الناس فىمجلسك
وفىوجهك وقضائك حتىلايطمع شريف فىخيفك .ولاييأس ضعيف من عدلك.
.البينة علىالمدعى
واليمين على من انكر
.والصلح جائزبين
المسلمين الاّصلحااحلّ حرامااوحرم حلالا
.ومن ادعى حقا
غائبااوبينة فاضرب له امدا ينتهىاليه فان بينه اعطيته بحقه, وان اعجزه ذلك استحللت
عليه القضية فان ذلك هوابلغ للعذرواجلىللعمي.
.ولايمنعك قضاء قضيت
فيه اليوم فراجعت فيه رأيك فهديت فيه اليوم لرشدك ان تراجع فيه الحق, فان الحق
قديم لايبطله شىء ومراجعة الحق خيرمن التمادى فىالباطل.
.ثم الفهم الفهم فيما
ادلىاليك مماوردعليك مما ليس فى قرأن ولافىسنة, ثم قايس الأمورعندذلك واعرف
الأمثال ثم اعمد فيماترى الى احبهاالىالله واشبهها باالحق.
.والمسلمون عدول بعضهم
على بعض الا مجربا عليه شهادة زوراومجلودا فىحد اوظنينا فى ولاء اوقرابة فاءن الله
تعالىتولى من العباد السرائروستر عليهم الحدود الا باالبينات والايمان.
.واياك والغضب والقلق
والضجر والتأذى بالناس والتنكر عندالخصومة فان القضاء فىمواطن الحق ممايوجب الله
به الاجرويحسن به الذكر, فمن خلصت نيته فى الحق ولوعلىنفسه كفاه الله ما بينه وبين
الناس, ومن تزين بماليس فى نفسه شانه الله فإن الله تعالى لايقبل من العباد الا
ماكان خالصاوما ظنك بثواب عندالله فىعاجل رزقه وخزائن رحمته والسلام عليك ورحمة
الله .[140]
Disamping prinsip-prinsip diatas, paradigma etika profesi dalam perspektif
al-Qur'an tentang profesi yang dilandasi aksioma-aksioma yang menjadi bahan
analisis untuk menkaji kode etik profesi hakim. Aksioma nilai tersebut ialah:
1. Keadilan
Keadilan atau keseimbangan (equiblirium) menggambarkan dimensi horizontal
ajaran Islam yang berhubungan dengan keseluruhan hubungan antara alam semesta.
Sifat keadilan atau keseimbangan bukan hanya karakteristik alami,melainkan merupakan
karakteristik dinamis yang harus diperjuangkan oleh setiap muslim dalam
kehidupannya.[141]
Kata keadilan dalam
al-Qur'an menggunakan kata ‘adl dan qist. ‘adl mengandung pengertian yang
identik dengan samiyyah berarti penyamarataan (equalizing), dan kesamaan
(leveling). Penyamarataan dan kesamaan ini berlawanan dengan zulm dan jaur
(kejahatan dan penindasan).[142]
Dalam al-Quran
dijelaskan :
اذا حكمتم بين الناس
ان تحكموابالعدل ان لله نعما يعظكم به ان لله كان سميعا بصيرا [143]
ان لله يأمر بالعد ل
والاحسان وايتائ ذىالقرب...[144]
Sedangkan kata Qist
mengandung makna “distribusi, angsuran, jarak yang merata”. Juga berarti
“keadilan, kejujuran, dan kewajaran”. [145] Dalam Al-Quran Kata-kata Al-Qist
terdapat dalam surat Al-An'am :
...واوفواالكيل
والميزان بالقسط...[146]
يا ايهاالذين
امنوا كونوا قوامين بالقسط شهداء لله...[147]
Dengan demikian al-Qura'n memiliki banyak keterangan tentang dalil keadilan
yang meliputi perintah penegakkan keadilan baik melalui perkataan, tindakan,
sikap; baik hati ataupun pikiran, disamping perintah penegakkan keadilan dalam
kode etik yang mempunyai unsur nilai, obyek dan tujuan dari keadilan sendiri.
Keadilan yang
ditunjukkan hukum Islam adalah keadilan yang mutlak dan sempurna bukan keadilan
yang relatif dan parsial. Maka keadilan hukum Islam adalah mencari motif
keadilan yang paling dalam, misalnya, perbuatan itu ditentukan oleh niat dan
kita berbuat seolah-olah di hadapan Allah.[148] Dalam persfektif Islam dijelaskan
keadilan sebagai prinsip yang menunjukan kejujuran, keseimbangan, kesederhanaan
dan keterusterangan yang merupakan nilai-nilai moral yang ditekankan dalam
al-Qur'an.[149] Karena hukum Islam sendiri mempunyai standar keadilan mutlak
karena dilandaskan pada prinsip-prinsip hukum yang fundamental, sehingga
keadilan dalam hukum Islam merupakan perpaduan yang menyenangkan antara hukum
dan moralitas.
Hukum Islam tidak
menghancurkan kebebasan individu tetapi mengontrolnya demi kepentingan
masyarakat yang terdiri dari individu itu sendiri dan karenanya juga melindungi
kepentingan pribadi dengan kepentingan masyarakat dan bukan sebaliknya.
Individu diperbolehkan mengembangkan hak pribadinya dengan syarat tidak
mengganggu kepentingan masyarakat, karena manusia hidup berada ditengah
perjuangan dalam diri sendiri dan orang lain dalam menegakkan keadilan.[150]
Ini mengakhiri perselisihan dan memenuhi tuntutan keadilan karena itu, berlaku
adil berarti hidup menurut prinsip-prinsip Islam.[151]
2. Kebenaran
Kebenaran selain mengandung makna kebenaran lawan kesalahan, mengandung juga
unsur kebajikan dan kejujuran. Nilai kebenaran adalah merupakan nilai yang
dianjurkan dalam ajaran Islam. Dalam al-Qur'an aksioma kebenaran yang
mengandung kebajikan dan kejujuran dapat ditegaskan atas keharusan memenuhi
perjanjian dalam melaksanakan profesi. Dalam kontek etika profesi hakim yang
harus di lakukan adalah dalam hal sikap dan prilaku yang benar yang meliputi
dari proses penerimaan perkara, pemeriksaan perkara serta menggali nilai-nilai
yang ada atau hukum-hukum yang ada untuk menyelesaikan perkara yang masuk
sampai kepada pemutusan perkara yang benar-benar sesuai hukum yang berlaku.
Kebajikan adalah sikap ihsan, yang merupakan tindakan yang memberikan keuntungan
bagi orang lain. Dalam pandangan Islam sikap ini sangat dianjurkan, sedangkan
kejujuran dipandang sebagai suatu nilai yang paling unggul dan harus miliki
oleh seluruh masyarakat karena menjadi corak nilai manusia yang berakar.[152]
Dalam al-Qur'an sendiri bukan memperlihatkan tujuan dari kebenaran tetapi
memperlihatkan proses. al-Qur'an menekankan adanya kebenaran suatu profesi yang
dilandasi oleh kebaikan dan kejujuran.[153]
Al-Quran menjelaskan :
ياايهاالذين امنوا
اركعوا واسجدو واعبدوا ربكم وافعلواالخير لعلكم تفلحون[154]
Pengejawantahan aksioma kebenaran dengan dua makna kebajikan dan kejujuran
secara jelas telah di teladankan oleh Nabi Muhammad SAW yang juga merupakan
seorang yang seiring memutuskan perkara dengan bijaksana. Dalam menjalankan
profesinya nabi tidak pernah sekalipun melakukan kebohongan atau berpihak
kepada salah satu yang berperkara, namun sebaliknya menganjurkan agar melakukan
profesi dengan kebenaran dan kejujuran.
Dalam al-Qur'an :
يؤامنون بالله واليوم
الأخر ويأمرون باالمعروف وينهون عن المنكر ويسارعوا.[155]
Dengan aksioma-aksioma kebenaran ini maka etika profesi hakim dalam Islam
sangat menjaga dan berlaku preventif terhadap kemungkinan adanya penyalahgunaan
profesi hakim.
3. Kehendak Bebas
Manusia sebagai khalifah dimuka bumi sampai batas-batas tertentu mempunyai
kehendak bebas atau kebebasan untuk mengarahkan kehidupannya kepada tujuan
pencapaian kesucian diri. Manusia dianugrahi kehendak bebas atau kebebasan
(free Will) untuk membimbing kehidupannya sebagai khalifah.[156] Berdasarkan
aksioma kehendak bebas ini etika profesi dalam Islam mempunyai kehendak bebas
dalam menjalani profesinya baik dari perjanjian yang dibuatnya, apakah akan
ditepati atau mengingkarinya. Seorang muslim yang percaya terhadap Tuhannya
maka ia akan menepati janji atau sumpah dalam melaksanakan profesinya.
Dalam al-Qura'n disebutkan :
ياايهاالذين
امنواأوفوابالعقود...[157]
Ayat di atas menjelaskan bahwa kebebasan manusia dalam membuat janji itu harus
dipenuhi baik yang dibuat sendiri ataupun dengan masyarakat. Dalam masalah
etika profesi yaitu dengan adanya kode etik profesi atau sumpah jabatannya yang
harus dilaksanakan. Dengan demikian manusia memiliki kebebasan karena kebebasan
adalah kemampuan manusia untuk menentukan dirinya sendiri yang disebut
kebebasan eksistensial dari unsur rohani manusia (penguasaan manusia terhadap
bat\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\inya). Dan kebebasan dari unsur-unsur yang
diakibatkan dari orang lain adalah kebebasan sosial.
Namun di satu sisi manusia berada dalam keterpaksaan dan tidak mempunyai
kebebasan kehendak yang merdeka bahkan kepastian yang menjalankan menurut apa
yang digambarkan. Karena kebebasan adalah merupakan hakikat kemanusiaan, dan
kebebasan adalah kebebasan yang ada. Sehingga Herbet Spencer mengatakan "
nilai tertinggi yang ia letakkan kepada teori keadilan bukanlah kesamaan tetapi
kebebasan " artinya setiap orang bebas asalkan tidak mengganggu orang
lain.[158]
Dari uraian di atas prinsip kebebasan dalam etika profesi Islam mutlak untuk
dikembangkan dan dijamin pelaksanaanya sehingga akan terjaminnya keutuhan dalam
masyarakat yang pluralistik, dan harus sesuai dengan kaidah umum hukum Islam
yaitu melaksanakan yang benar dan menghapus ataupun menghindari yang salah.
4. Pertanggungjawaban
Kebebasan apapun yang terjadi tanpa batasan, pasti menuntut adanya
pertanggungjawaban dan akuntabilitas. Untuk memenuhi keadilan, kebenaran, dan
kehendak bebas maka perlu adanya pertanggungjawaban dalam tindakannya. Secara
logis aksioma terakhir ini sangat berkaitan erat dengan aksioma kehendak bebas.
Ia menetapkan batasan mengenai apa yang bebas dilakukan oleh manusia dengan
bertanggungjawab atas semua yang dilakukannya.
Al-Qur'an menegaskan :
من يشفع شفاعة حسنة
يكن له نصيب منها ومن يشفع شفاعة سيئة يكن له كفل منها وكان الله على كل شيئ
مقيتا[159]
Tanggung jawab
merupakan suatu prinsip dinamis yang berhubungan dengan perilaku manusia.
Bahkan merupakan kekuatan dinamis individu untuk mempertahankan kualitas
kesetimbangan dalam masyarakat.[160] Karena manusia yang hidup sebagai mahkluk
sosial, tidak bisa bebas, dan semua tindakannya harus dipertanggungjawabkan. Dalam
al-Qur'an disebutkan :
ايحسب الانسان ان يترك
سدى[161]
Secara teologis
prinsip pertanggungjawaban berhubungan dengan tiga paradigma qur'anik[162].
Pertama, Allah memberikan karunia kepada manusia (baik melalui Rasul maupun
lewat kekuatan akal) yang memungkinkannya mengenali nilai-nilai moral. Dalam
jiwa manusia telah ditanamkan pengertian tentang makna baik dan buruk.
Sebagaimana
disebutkan dalam al-Qur'an :
من عمل صالحامن ذكر
اوانثى وهومؤمن فلنحيينه حيوة [163]
من عمل صالحا فلنفسه
ومن اساء فعليها وما ربك بظلام للعبيد[164]
Kedua,
meskipun manusia diberi kemungkinan mengetahui kualitas moral dari semua
perbuatannya, namun secara prinsip mereka adalah bebas untuk menentukan jalan
hidupnya sendiri-sendiri. Tidak ada paksaan untuk mengikuti atau tidak
mengikuti pesan-pesan-Nya.
Allah Swt berfirman :
لااكراه فى الدين قد
تبين الرشد من الغي...[165]
Ketiga, Allah swt
senantiasa mengamati dan mencatat gerak-gerik tubuh dan hati manusia
sekecil-kecilnya, Dia mengetahui apa saja yang disembunyikan dalam hati dan apa
yang ditampakkan.
Allah swt berfirman :
...والله اعلم
بماكانوا يكتمون[166]
فمن يعمل مثقال ذرة
خيرا يره ، ومن يعمل مثقال ذرة شرايره [167]
Tiga paradigma
diatas, yaitu kemungkinan mengetahui kualitas moral, kebebasan berbuat serta
doktrin tentang pencatatan amal, secara bersama-sama merupakan condition sine
qua non sekaligus jaminan obyektifitas penilaian Allah. Namun demikian ukuran
kemuliaan yang hakiki di hadapan Allah adalah kualitas taqwa dan apabila
berbuat keburukan maka keburukan tersebut akan menyebabkan martabatnya menjadi
rendah.
Tidak seperti pada
kajian-kajian tafsir tradisional yang pada umumnya cenderung membatasi pada
sisi pertanggungjawaban yang bersifat ukhrawi dan individual, pada konteks
kekinian perlu ditelaah lebih lanjut adalah sisi pertanggungjawaban yang
bersifat kolektif duniawi. Al-Qur'an hanya menyampaikan pesan-pesan kepada umat
manusia sebagai individu-individu mandiri, tetapi juga memberikan bimbingan
tentang kehidupan kolektif. Dalam Islam ada pokok-pokok ajaran tentang etika
pergaulan antar manusia, dan dalam hubungan antara manusia dengan lingkungan
hidupnya. Mengabaikan ajaran-ajaran moral tersebut akan berakibat tidak hanya
penderitaan batin dan siksaan (akhirat) secara individual, tetapi secara
kolektif (generasi) mereka juga akan menerima hukuman, sekarang di dunia ini
juga.[168]
BAB IV
PANDANGAN HUKUM ISLAM
TERHADAP KODE ETIK
PROFESI HAKIM
INDONESIA
A. Etika
Pertanggungjawaban Hakim Terhadap Amal Manusia
Sebagaimana telah dijelaskan dalam landasan teori, etika adalah gambaran umum
rasional mengenai hakikat, dasar perbuatan dan keputusan secara moral
diperintahkan dan dilarang, serta membedakan mana yang baik dan mana yang
buruk. Pada pembahasan ini menunjukkan dimensi etika pertanggungjawaban hakim
terhadap manusia mempunyai pengertian untuk apa dan kenapa manusia harus
mempertanggungjawabkan amal perbuatannya sebagai bagian yang tidak dapat
terpisahkan dari amal perbuatan. Untuk apa hakim harus ada tanggung jawab
terhadap hukum dan masyarakat ?.
Pertama perlu di pahami tentang konsep manusia dan kebebasan untuk memahami
kehendak bebas manusia. Secara fhilosofis ada beberapa pandangan mengenai
manusia, Plato mengatakan : " Manusia adalah jiwa atau pribadinya ",
sedangkan John Murray " Manusia adalah pelaku bukan pemikir " serta
John Dewey Mengatakan " Manusia adalah wakil dari rakyat ".[169]
Dalam konsepsi Islam manusia diposisikan sebagai makhluk Theomorfis yaitu makhluk
dengan potensi yang dimiliki serta berbuat menyerupai sifat-sifat Tuhan.
Kegiatan moral, spiritual, dan keduniaan manusia harus diintegrasikan untuk
direfleksikan secara bersama dengan kebebasannya. Kebebasan yang dapat
dipertanggungjawabkan, artinya kebebasan mutlak yang ada batasan terhadap
dirinya dan orang lain.
Dalam al-Qur'an dijelaskan :
لقد خلقنا الإنسان في
احسن تقويم. ثم رددنه اسفل سا فلين. الاالذين امنوا وعملواالصلحت فلهم اجر غير
ممنون [170]
Ungkapan di atas menunjukkan bahwa amal manusia harus dipertanggungjawabkan
dibawah hukum, manusia, masyarakat dan Tuhan. Manusia adalah makhluk yang
memiliki sifat tanggungjawab karena ia memiliki untuk memilih secara sadar.
Sadar melakukan berarti sadar akan konsekuensinya yang ditimbulkan. Secara
normatif perbuatan manusia telah digariskan dalam al- Qur'an,
dalam bahasa arab di sebut amal ( عمل ) berikut penjelasan-penjelasannya.
Sehingga menunjukkan bahwa tidak ada sedikitpun manusia yang lepas dari
"penglihatan" Allah. Manusia akan memperoleh akibat dari apa yang
diperbuatnya,[171] Karena itu tidak dapat terpisahkan dari etika pertanggung
jawaban.[172]
Dalam kontek profesi hakim, hakim sebagai profesi yang istimewa dan terhormat
(Offilium Nobille) dalam menjalankan tugasnya, karena berupaya merumuskan dan
menggali nilai-nilai hukum dengan menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan di
masyarakakat. Sehingga merupakan suatu perbuatan yang dilandasi etika yang
harus di pertanggungjawabkan atas gagasan dan tindakannya baik terhadap
dirinya, masyarakat dan Tuhan. Bertanggung jawab terhadap dirinya berarti
memberikan pelayanan hukum berdasarkan integritas moral, intelektual dan
profesionalisme. Bertanggung jawab terhadap masyarakat berarti dalam wujud
pemberian putusan-putusan yang mengandung nilai keadilan dan kebenaran. Serta
tanggung jawab terhadap Tuhan adalah tanggung jawab moral atas tindakan sekecil
apapun (zarrah). Tanggung jawab ini merupakan konsekuensi dari aksioma
kehenddak bebas manusia yang dibatasi konsep tanggung jawab di hadapan Tuhan.
Kode etik sebagai perwujudan nilai etika yang merupakan pengontrol moral dan
standar moaral serta kaidah seperangkat hukum formal bagi aparat penegak hukum
(Legal Aparatus). Sebagaimana yang tertuang dalam kode etik pasal 1-2 yaitu :
merupakan aturan tertulis untuk dijadikan pedoman tingkah laku (Code of
Conduct) hakim Indonesia, baik dalam menjalankan tugas profesinya untuk
mewujudkan keadilan dan kebenaran maupun dalam pergaulan sebagai anggota
masyarakat yang harus memberikan contoh dan suri tauladan dalam kepatuhan dan
ketaatan kepada hukum.[173]
Dalam Islam, kode etik merupakan etika religius yang menggambarkan
prinsip-prinsip secara moral diperintahkan atau dilarang. Secara spesifiknya
dari al-Qur'an di wujudkan secara sistematis dalam bentuk hukum-hukum moralitas
dan etika, yang kemudian dikembangkan dari akar konsepsi-konsepsi al-Qur'an
tentang manusia dan kedudukannya di muka bumi.
Tujuan dari kode etik sendiri adalah sebagai alat Pembinaan dan
pembentukan karakter, Pengawasan tingkah laku dan sebagai sarana kontrol sosial
serta mencegah campur tangan ekstra yudicial, Sehingga mencegah timbulnya
kesalah pahaman dan konflik antar sesama anggota, masyarakat dan memberikan
jaminan peningkatan moralitas Hakim dan kemandirian fungsional serta
menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan.[174]
Tetapi terjadinya perbuatan immoral hakim diakibatkan kurangnya pemahaman agama
maka diperlukan penfsiran-penafsiran terhadap ajaran tersebut sehingga bisa
memahami fungsi dari etika agama dan hukum atau kode etik, etika sebagai gerak
jiwa manusia dalam bentuk batin dan hukum melihat sebagai perbuatan yang
berakibat pada lahir. Hal ini menjadikan hakim faham akan profesinadikan hakim
faham akan profesintidak terpisahkan dari etika dan merupakan aktivitas
yang mempunyai struktur fundamental dan menjadi pemahaman masyarakat.
Dalam Islam tujuan tersebut terwujud dalam tujuan hukum Islam (syari'ah), yang
tujuan tersebut dapat dilihat dari sisi manusia (hakim) dan tujuan dari adanya
hukum atau aturan (kode etik) yang semuanya untuk mewujudkan kemaslahatan.
Kemaslahatan dalam tujuan kehidupan manusia yaitu mencapai kebahagiaan dan
mempertahankannya. Dalam kaedah ushul fiqh ditegaskan :
التحصل و الإبقاء[175]
Dalam kaedah lain :
درءالمفسدة مقدم على
جلب المصلحة[176]
Dengan demikian adanya peraturan tersebut adalah untuk menciptakan kemaslahatan
dan mencegah akan adanya kerusakan. Sedangkan dari pembuat hukum (syari'ah)
dapat diketahui melalui penalaran induktif atas sumber-sumber naqli baik
al-Qur'an maupun sunnah. Yang dilihat dari sebuah jaminan terhadap kepentingan
dari profesi hakim yang memiliki kode etik terhadap kepentingan umum, khususnya
kepentingan manusia atas kebutuhan hidup dari profesi hakim sendiri sebagai
suatu profesi dalam mewujudkan maqa>s}id al-Syari'ah, yang salah satunya
mencari nafkah (d}aruri), pemenuhan kepentingan hukum untuk mewujudkan keadilan
dan kebenaran (Haziyyi) dan terwujudnya etika moralitas hakim atas adanya kode
etik (tahsi>ni),dan kemudian apa yang dinamakan konsep d}aruri secara
umum akan terbentuk. Artinya pelaksanaan kode etik dalam mewujudkan tujuan
hukum baik hukum positif maupun hukum Islam terhadap kehormatan diri dan
profesi hakim (عرض), gagasan hakim (عقل), etika dan moralitas dalam
agama ( ( د ين, pemenuhan nafkah hidup sebagai profesi (الما ل)
serta jiwa yang diwujudkan dalam tindakan (نفس ).
Sehingga apabila
hakim dapat melaksanakan etika yang memenuhi aturan seperti di atas, maka
setidaknya akan menghilangkan image jelek terhadap hakim sendiri dan kembali
memandang peradilan sebagai benteng penegak keadilan dan kebenaran. Adapun
terjadinya perilaku hakim yang jauh dari nilai-nilai moralitas mengharuskan
adanya pemahaman terhadap struktur fundamental peran hakim dan eksistensinya
yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan.
B. Aplikasi Kode Etik
Profesi Hakim Indonesia
Kode etik profesi hakim merupakan kumpulan asas-asas atau nilai moral yang
disepakati oleh anggota hakim dan harus di laksanakan agar tidak terjebak
kepada pelanggaran norma, maka dibentuklah kode etik sebagai pengarah kesadaran
moral di dalam organisasi profesi hakim. Hal ini terwujud dalam sifat-sifat
hakim yang dikenal dengan "Panca Dharma Hakim" yaitu kartika, cakra,
candra, sari, dan tirta, yang menempatkan sifat percaya dan taqwa kepada Tuha
yang Maha Esa, memusnahkan kebatilan, kezaliman dan ketidakadilan, memiliki
sifat bijaksana dan berwibawa, berbudi luhur dan tidak tercela, serta bersifat
jujur. Pengertian ini menjadikan kode etik merupakan suatu keyakinan religius
tertentu (I'tiqad}at) untuk di amalkan dan bukan pengetahuan belaka, karena
mempunyai peranan dalam bentuk bat}iniyah yang berkaitan dengan pelaksanaan
hukum (Syari'ah) dalam etika profesi hakim. Sehingga etika merupakan moralitas
sebagai dorongan jiwa yang diwujudkan dalam melaksanakan profesi hakim.
Untuk melihat relevansi dan implementasi kode etik profesi hakim dalam
penegakan hukum yang sesuai dengan etika Islam, maka akan dipaparkan beberapa
hal melalui analisa beberapa pasal terutama bab II karena merupakan hukum
materiilnya.
Profesi hakim adalah profesi yang mempunyai tugas menyelesaikan setiap perkara
yang masuk ke pengadilan atau diajukan dari piahak yang bersengketa. Sedangkan
para pihak adalah orang yang mencari perlindungan hukum terhadap lembaga
peradilan. Karena itu kewajiban hakim untuk melindunginya.[177] Sehingga
terlihat harus berpegang teguh pada tingkah laku yang di wujudkan dalam sikap
hakim yang dipedomaninya,[178] sebagai berikut :
1.Dalam Persidangan.
Pertama, dalam persidangan hakim harus memperhatikan azas-azas peradilan yang
berlaku dalam hukum acara peradilan, yaitu : menjungjung tinggi hak para pihak
baik dari mulai pengajuan perkara, proses persidangan, baik meliputi pembelaan
diri, pemeriksaan perkara, sampai pada keluarnya putusan yang benar-benar
memuat alasan yang jelas, sistematis, serta dapat dipertanggungjawabkan
(accountability). Kedua, memposisikan para pihak dalam keadaan sama tidak
memihak salah satu pihak. Ketiga harus berbuat sopan, tegas dan bijaksana dalam
memimpin persidangan baik ucapan maupun perbuatan. Keempat, menjaga kewibawaan
dan kehidmatan persidangan antara lain serius dalam memeriksa dan tidak melecehkan
para pihak. Kelima,bersungguh-sungguh mencari kebenaran dan keadilan.
Dalam persidangan hakim harus memproses segala perkara yang diajukan dan
menyelesaikan sengketa antara pihak tersebut demi terciptanya kedamaian
diantara manusia. Dalam undang-undang disebutkan : hakim membantu para pencari
keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat
tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan.[179] Dalam Islam
dijelaskan hubungan hakim dengan para pihak adalah merupakan hubungan yang
saling terkait (simbiosis mutualisme), sehingga hakim mempunyai tuntutan untuk
menyelesaikan perkara. Dalam al-Qur'an dijelaskan :
وان طائفتان من
المؤمنين اقتتلوا فاصلحوا بينهما[180]
لايقضى الحكم بين
اثنين وهو غضبان[181]
Namun dalam arti kata hakim adalah profesi yang bebas yang tidak boleh
mempunyai ikatan-ikatan yang membatasi kewajibannya untuk menegakan hukum yang
adil dan benar dengan cara yang jujur dan bertanggung jawab, tentu hal ini harus
harus didukung oleh kondisi hakim yang harus siap baik secara mental maupun
sikap seperti sikap hakim ketika memimpin persidangan harus dalam kondisi tidak
marah, karena akan mempengaruhi proses persidangan. Disamping itu dalam proses
persidangan tidak boleh adanya konspirasi antara para pihak yang berperkara
dengan hakim atau melalui pengacara untuk memenangkan perkara.
Hal jelas dilarang oleh agama dalam hadis\ ditegaskan :
الراشى والمر تشى
فىالحكم [182]
Di sini terlihat integritas
hakim diuji apakah mampu menjungjung hukum (keadilan dan kebenaran), apakah
mementingkan pihak tertentu, jelas–jelas ini dilarang untuk menggunakan tugas
di luar tujuan dan kewajiban yang seharusnya mendamaikan kedua belah pihak,
sesuai proses peradilan yang telah di tentukan.
Dalam al-Qur'an di
sebutkan :
الصلح جائز بين
المسلمين الا صلحا حرم حلالا اواحل حراما والمسلمون على شروطهم الا شرطا حرم حلالا
او احل حراما[183]
Dalam pasal ini
terkandung nilai kebebasan hakim dan tidak terpengaruh dari apa dan siapapun.
Dari kebeasan ini tercipta kehendak bebas dari seorang manusia (hakim) yang
dianugerahi kehendak bebas (Free Will), yang berdasarkan aksioma kehendak bebas
dari etika Islam. Kemudian dari kebebasan ini diharapkan akan terwujud keputusan-keputusan
yang benar dan adil, bukan sekedar mengejar kepastian hukum (Legal Centainity).
Islam menetapkan prinsip keadilan untuk seluruh umat manusia dan menjadi
perhatian umat walaupun terhadap musuh yang menyerang kita hendaknya tetap
berlaku adil.
Dalam al-Qur'an di
tegaskan :
اذا حكمتم بين الناس
ان تحكموابالعدل ان لله نعما يعظكم به ان لله كان سميعا بصيرا [184]
Adil di sini adil
dalam konsep Islam adalah yang menunjukkan keseimbangan dalam standar keadilan
yaitu keadilan yang berlandaskan pada prinsip-prinsip hukum yang fundamental
dalam hukum Islam. Walaupun Islam memerintahkan keadilan secara umum tidak
menentukan dalam bidang apa saja melainkan dalam bermacam urusan, karena
keadilan adalah milik Allah sedang manusia hamba Allah, oleh karena itu semua
orang sama tidak ada yang lebih di depan hukum.[185] Apalagi di hadapan Tuhan,
yang membedakan adalah ketaqwaan.
عن ابى هريرة ر ضي
الله : قال قال رسو ل الله ص م : ان الله لاينظر الى صوركم واموالكم ولكن ينظر الى
قلوبكم واعمالكم[186]
Dari sisi nilai
filosifis keadilan adalah merupakan tujuan tertinggi dari penerapan keadilan,
sehingga disinilah terkandung nilai keadilan yang terdapat dalm kode etik
profesi hakim Indonesia.
Putusan-putusan hakim
yang dikeluarkan adalah merupakan produk hukum untuk menyelasaikan perkara,
sehingga harus tercipta putusan yang benar-benar memuat alasan yang jelas[187]
dan bisa dipertanggung jawabkan, mulai pemeriksaan perkara dengan tahapan
mengkonstatir, mengkualifisir dan mengkonstituir sehingga putusan tersebut benar-benar
dilandasi kejujuran dan kepatutan. Kejujuran dalam menggali dasar-dasar hukum
baik undang-undang maupun ketentuan lain, sehingga patut artinya sesuai kondisi
masyaakat. Dalam kosep nilai etika Islam kejujuran adalah merupakan sesutu
perkara yang terlahir dari kebenaran (aksioma Kebenaran).
2. Hubungan sesama
hakim atau pegawai.
Dalam kode etik profesi hakim, hakim harus menjaga kewibawaan korps yang
diwujudakan dalam sikap kerjasama, kesadaran, saling menghargai dan tingkah
laku atau martabat yang baik baik dalam dinas maupun di luar dinas serta
memberikan suri tauladan kepada bawahan.
Hakim sebagai salah satu pilar penegak hukum, maka mempunyai tanggung jawab
untuk saling tolong-menolong dalam menegakan keadilan dan kebenaran. Hal ini
akan tercapai apabila hakim mampu menjalin hubungan dengan komponen yang ada di
bawahnya, baik antara hakim sendiri, panitera, serta juru sita karena mempunyai
kewajiban yang saling berkaitan, sebagaimana dalam sumpah dan janji di
pengadilan.[188] Di sini perlunya kerjasama yang harus dilakukan demi
tercapainya kewajiban seorang profesi.
Dalam al-Qur'an di sebutkan :
....وتعاونوا على
البر والتقوى ولا تعاونوا على الاثم والعدوان [189]
Hal ini bisa dilakukan dengan saling mendiskusikan permasalahan (perkara) yang
di hadapi dalam persidangan baik dengan sesama hakim ataupun dengan para pakar
ilmu hukum sebelum membuat keputusan. Langkah tersebut pada masa masa peradilan
sahabat sering dilakukan,[190] karena musyawarah merupakan salah satu sumber
setelah dari sumber-sumber lain tidak ada atau telah melakukan
tingkatan-tingkatan pengambilan dalil. Karena hakim dalam memberikan pandangan
harus rasional serta berdasarkan ijtihad yang ketat, maka apabila tidak
tercapai haruslah dengan musyawarah.secara jujur. Dengan demikian musyawarah adalah
merupakan salah satu bentuk solidaritas antara hakim.
...وأمرهم شورى
بينهم ومما رزقنهم ينفقون[191]
Islam memerintahkan musyawarah demi mencapai hasil yang tepat dalam membangun
suatu putusan benar-benar tepat dalam azas musyawarah dan nilai kepatutan
terwujud dalam memberikan keputusan yang akan di bebankan kepada para pihak,
walaupun sering terjadi diantara hakim banyak yang mengabaikan moralitas dan
sering terjadi pengabaian terhadap kode etik yang mengakibatkan Pelanggaran-pelanggaran
tersebut sangat mengaburkan idealisme profesi hukum yang mempunyai ciri-ciri
pokok pengabdian kepada kemanusiaan, kebenaran dan kejujuran. Menurut
Busyro Muqoddas, melemahnya motivasi pengabdian tersebut terjadi ketika iman
dan independensi berada dalam keadaan krisis.[192] Ketika iman dalam kondisi
kokoh, maka ia akan memancar dalam segala aktivitasnya. Etika Islam tidak
sekedar melihat aktivitas lahir, tetapi lebih jauh melihat dorongan terdalam
dari motif (niyat) tindakan tersebut.
Kode etik profesi
hakim Indonesia merupakan alat pembinaan hakim dan pengawasan tingkah laku
hakim[193], dengan artian Profesi hakim merupakan kesatuan profesi yang diikat
oleh suatu tata aturan tertulis dan kesadaran serta solidaritas diantara
anggota korp untuk melaksanakan kode etik profesi hakim tersebut. Yang
diharapkan saling menjaga kesolidaritasan antara hakim maupun korp sebagaimana
dalam tertuang dalam kode etik hakim.[194] Karena dari kesolidaritasan hakim
akan tumbuh kejujuran dalam menegakan hukum, sehingga terjauh dari perbuatan
curang baik yang dilakukan hakim sendiri maupun secara bersama-sama .
Dalam hadis}
disebutkan :
يدعى بالقا ضى العادل
يوم القيامة فيلقى من شدةالحساب[195]
وان كثيرا من الخلطاء
ليبغي بعضهم على بعض الاالذين امنوا وعملواالصلحت[196]
Dalam korp hakim yang
harus dibangun adalah kerjasama yang berlandaskan moral, iman dan taqwa karena
apabila dibangun diatas tiga nilai tersebut akan melahirkan kejujuran
(ama>nah) dan tanggung jawab. Dalam Islam konsep kejujuran adalah
perwujudan dari nilai kebenaran yaitu jujur atas pelaksanaan janji terhadap
pelaksanaan kode etik profesi. sehingga nilai kejujuran merupakan prinsip
nilai dari kode etik profesi, sekaligus kebenaran dalam konsep Islam yaitu
menjalankan yang hak atau diperintahkan. Dengan demikian solidaritas
korps sangat diperlukan dalam menjaga nama baik profesi hakim karena selain
harus dipertanggungjawaban terhadap masyarakat didunia yang diminta oleh Tuhan
diakhirat nanti.
3. Tanggung Jawab Sosial Hakim Terhadap Hukum
Dalam kode etik
profesi hakim didalam masyarakat hakim harus saling menghormati, menghargai,
dan hidup sederhana, serta dalam keluarga hakim harus menjaga keluarga dari
perbuatan tercela, menjaga ketentraman keluarga dan keutuhan keluarga dan
menyelesaikan masalah keluarga dengan norma-norma hukum kesusilaan yang berlaku
di masyarakat.
Ketentuan di atas
merupakan tanggung jawab hakim baik terhadap dirinya sendiri (keluarga) maupun
masyarakat. Prinsip yang terkandung etika profesi di mana tanggung jawab hakim
dalam melaksanakan tanggung jawabnya di tuntut untuk bertanggungjawab terhadap
pekerjaan, hasil serta dampak pekerjaan terhadap kehidupan orang lain dan
bertanggung jawab untuk kehidupan dengan tidak melanggar hak orang lain. Dalam
Islam tanggung jawab merupakan amanah yang harus dipertanggungjawabkan, artinya
tanggung jawab sendiri yang diwujudkan dalam pola prilaku dalam hubungannya
dengan masyarakat atau institusi, sedangkan terhadap masyarakat dengan
memberikan hak kepada siapa saja yang menjadi haknya. Sehingga fungsi hakim
sebagai makhluk sosial tidak bisa terbebas dari semua tindakannya yang harus
dipertanggungjawabkan. Karena tanggung jawab sosial adalah kaitannya dengan
moral terhadap masyarakat. Secara moral bahwa perbuatan itu tidak tercela,
karena apabila tercela maka akan mendapatkan sanksi sosial, karena itu tanggung
jawab sosial dibarengi dengan norma sosial.[197]
Dalam al-Qur'an
ditegaskan :
من يشفع شفاعة حسنة
يكن له نصيب منها ومن يشفع شفاعة سيئة يكن له كفل منها وكان الله على كل شيئ
مقيتا[198]
Dalam ayat lain :
ايحسب الانسان ان يترك
سدى[199]
Ayat di atas
menjadikan perlunya kesadaran hukum bagi hukum. Karena keasadaran hukum adalah
merupakan nilai-nilai yang terkandung dalam diri manusia mengenai perilaku yang
telah diatur dalam hukum.[200] Sehingga hukum dipahami untuk memenuhi kebutuhan
sosial sedangkan agama sebagai pengontrol dan tidak membiarkannya menyimpang
dari kaidah norma-norma yang ditentukan oleh agama.[201]
Dalam konsep Islam
kesadaran hukum yang timbul akan menjadi sesuatu amal perbuatan yang didasarkan
iman, ilmu, dan amal, sehingga tanggungjawab ini dijadikan amanah yang harus
dilakukan secara profesionalisme karena akan diminta pertangjawabannya dan
dijadikan kebutuhan ukhrawi untuk masa depan.artinya dalam Islam diartikan
sebagai asfek transendental dalam beribadah, sehingga tidak sekedar pemenuhan
keluarga dan masyarakat tetapi untuk ibadah.
Secara teologi dan
sosial hakim diberi amanah untuk menjalani profesinya sesuai dengan apa
yang diperintahkan oleh Allah di samping untuk melangsungkan kehidupannya
secara manusiawi, karena diakui atau tidak manusia hidup secara bersama dan di
masyarakat adanya unsur yang menduduki tempat tertinggi dan sebaliknya. Karena
itu adanya hubungan timbal balik sebagai sosial masyarakat. Secara tidak
langsung di sini terletak nilai kepatutan sebagai seorang profsi hakim akan apa
yang sebenarnya yang harus di lakukan. Karena putusan hakim akan dikatakan
patut apabila menunjukan perbuatan yang tidak mengandung cacat bagi pengadilan
melainkan sesuai dengan undang-undang. Maka nilai kepatutan ini akan terwujud
apabila ada nilai tanggung jawab yang dibarengi dengan kesadaran.
Pada hakekatnya
tanggung jawab yang didasari kesadaran hukum adalah merupakan etika Islam yang
dianjurkan. Karena etika menekankan keselamatan individu baik di dunia maupun
diakhirat, sehingga adanya tanggung jawab sosial hakim terhadap hukum adalah
merupakan untuk keselamatan individu. Maka disi jelas bahwa fungsi hakim adalah
mempunyai tanggung jawab terhadap masyarakat adalah sebagai penegak keadilan
dan ketertiban dalam masyarakat.
Sedangkan kewajiban
dan larangan yang terdapat dalam kode etik adalah merupakan kumpulan
nilai-nilai atau moralitas dalam profesi hakim dan etika religius dalam Islam
yang harus dilaksanakan oleh profesi hakim, sebagaimana merupakan aplikasi
nilai kode etik yang sesuai dengan etika hukum Islam yang telah di bahas
sebelumnya. Sehingga hakim patut untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut.
Adanya komisi
kehormatan adalah merupakan lembaga dari proses pertanggung jawaban
hakim, namun komisi kehormatan ini kurang berperan karena berada dalam
lembaga sendiri tidak secara independen yang di khawatirkan terjadi konspirasi
di antara hakim sendiri. Hal ini terlihat dengan masih banyaknya pelanggaran
baik ringan, sedang dan berat yang di lakukan oleh hakim dalam melakukan
profesinya serta pengabaian terhadap kode etik yang seharusnya menjadi pedoman.
Komisi kehormatan ini sebenarnya merupakan perwujudan dari pertanggungjawaban di
dunia, sebelum nanti seorang hakim harus mempertangjawabkan di
akhirat.
BAB V
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari uraian dan
pembahasan tentang etika profesi hakim dalam perspektif hukum Islam (studi
analisis terhadap kode etik profesi hakim Indonesia) dapat diambil beberapa
kesimpulan sebagai berikut :
1.
Kode etik profesi hakim mengandung nilai nilai moral yang menjadi landasan
kepribadian hakim secara professional yaitu: pertama, kebebasan artinya
sebagai manusia mempunyai kebebasan baik kemandirian moral maupun keberanian
moral yang dibatasi norma-norma yang berlaku. Kedua, keadilan, yaitu
memperlakukan sama terhadap manusia dengan memberikan apa yang menjadi haknya.
Ketiga, kejujuran yaitu dalam penegakan hukum harus dilandasi sifat kejujuran
dalam hati nurani dan kebenaran akal (ratio) dari mulai pemeriksaan perkara,
pencarian hukum sampai pada pemutusan perkara secara patut (equity) dengan
melihat situasi, apa yang seharusnya diperbuat berdasarkan undang-undang yang
mengandung keadilan dan kebenaran di masyarakat.
2.
Etika profesi hakim dan hukum adalah merupakan satu kesatuan yang secara
inheren terdapat nilai-nilai etika Islam yang landasannya merupakan pemahaman
dari al-Qur'an, sehingga pada dasarnya Kode etik profesi hakim sejalan dengan
nilai-nilai dalam sistem etika Islam. Etika hukum Islam dibangun di atas empat
nilai dasar yaitu pertama, kebenaran yaitu adanya konsep kebenaran menjadikan
manusia percaya untuk berbuat baik karena taat akan hubungan makhluk dan
khaliq. kedua, keadilan yaitu adanya penyemarataan (Equalizing) dan kesamaan
(leveling) hak dalam bidang hukum yang dibangun dengan konsep keadilan mutlak
dan sempurna secara transendental antara hukum dan moralitas. Ketiga, kehendak
bebas yaitu manusia walaupun dibatasai oleh norma-norma yang ada tetapi
mempunyai kehendak bebas / kebebasan (free Will). Keempat., pertanggung jawaban
yaitu sebagai tuntutan dari kehendak bebas yaitu adanya pertangungjawaban
sebagai batasan dari apa yang diperbuat manusia dan harus dipertanggungjawabkan
baik didunia maupun diakhirat. Terjadinya penyalahgunaan dan pengabaian
terhadap kode etik profesi hakim diakibatkan rendahnya etika dan moralitas
hakim. Sehingga tidak terlaksananya nilai-nilai kebenaran, keadilan, kehendak
bebas dan pertanggungjawaban ssebagai profesi hakim.
B.
Saran-saran
Dari kesimpulan
diatas, menjadikan etika sebagai suatu persoalan yang sangat fundamental
terhadap lemahnya integritas hakim baik dari sisi intelektualitas maupun
kepribadiannya. Maka dari itu ada beberapa saran diantaranya :
1.
Perlu dibentuknya lembaga independen diluar organisasi kehakiman untuk
melakukan pengawasan secara internal terhadap hakim sebagai penindak
pelanggaran terhadap profesi hakim baik dari mulai pemeriksaaan sampai pada
keputusan.
2.
Memfungsikan kembali lembaga interen seperti komisi kehormatan untuk lebih
berperan sebagai pengontrol intern lembaga IKAHI, diluar lembaga
independent yang punya wewenang khusus.
3.
Penanaman nilai religiusitas dan kesadaran hukum akan nilai-nilai profesi
sehingga dalam gerak langkahnya selalu akan tersirat kehadiran tuhan yang
nantinya akan meminta pertanggung jawaban atas perbuatannya.
4.
Perlu adanya penelitian lanjutan dalam dataran praktis, karena penelitian ini
lebih difokuskan pada pencarian nilai-nilai serta analisisnya pada dataran
normatif-fhilisofis. Sehingga penelitian lapangan tersebut akan lebih bisa
menganalisis fakta-fakta yang terjadi dilapangan secara akurat.
[1] Priyo Utomo, Etika Dan Profesi, cet. ke-1 (Jakarta : Gramedia, 1992),
hlm.1.
[2] Semua masing-masing mempunyai tugas yang saling tergantung dan saling
melengkapi seperti hakim, yang memutuskan perkara. Jaksa, duduk sebagai wakil
dari kepentingan umum sebagai penuntut. Pengacara, sebagai wakil rakyat yang
terkena tuduhan dan polisi yang melakukan pemeriksaan atau penyilidikan yang
akan dicantumkan dalam BAP sebelum kepengadilan.
[3] Hakim adalah sebuah gelar yang mempunyai pengetahuan tentang masalah-masalah
yang tinggi nilainya, Dalam literatur Islam istilah hakim sering disebut dan
digunakan untuk filosof. lihat Ensiklopedia Indonesia, (Jakarta :
Gramedia 1983), hlm.1208.
[4] Sebuah lembaga independent yang berkedudukan di Hongkong yang
memantau tingkat resiko investasi di Negara-negara Asia. Lihat,Wasingatu
Zakiyah,dkk, Menyingkap Tabir mafia Peradilan, cet. ke-1 (Jakarta : ICW, 2002),
hlm.9.
[5] Berdasarkan laporan Transparansi Internasional (T I) yang setiap
tahunnya menerbitkan hasil survei Corruption Perseption Indek sejak tahun 1998
sampai sekarang. lihat Wasingatu Zakiyah dkk, Menyingkap Tabir., hlm.11.
[6] Indonesia Corruption Watch (ICW), lahir pada tanggal 21 Juni 1998di
tengah-tengah gerakan reformasi yang menghendaki pemerintahan i yang
menghendaki pemerintahan ebas dari KKN, lihat Wasingatu Zakiyah dkk,
Menyikap Tabir., hlm.245.
[7] Mafia peradilan adalah konspirasi-konspirasi di pengadilan untuk
memenangkan salah satu pihak tertentu dan sebutan bagi pihak-pihak yang
mengambil keuntungan pribadi dari sistem hukum yang ada di pengadilan.
[8] Suhrawardi K. Lubis, Etika Profesi Hukum, (Jakarta : Sinar Grafika, 1994),
hlm.8.
[9] E. Sumaryono, Etika Profesi Hukum,:Norma-norma bagi Penegak Hukum cet.
ke-1 (Yogyakarta Kanisius, 1995), hlm.31.
[10] Undang – undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 28
ayat (1).
[11] Bismar Siregar, Hukum Hakim Dan Keadilan Tuhan, cet. ke-1 (Jakarta : Gema
Insani Press, 1995), hlm.18.
[12]An nisa> (4) : 58.
[13] Al Wisnubroto, Hakim Dan Peradilan Di Indonesia,cet. ke-1 (Yogyakarta :
Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 1997), hlm.65.
[14] Pada setiap putusan hakim selalu diawali dengan kata " Demi
Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa".
[15] Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman R I, Analisis Evaluasi
Tentang Kode Etik Advokat dan Konsultan Hukum, (Jakarta : 1997),hlm 18. Lihat
K.Bertens, Etika, cet.ke-2 , (Jakarta : Gramamedia Pustaka Utama, 1994),
hlm.148.
[16] Kesesuaian sifat dan sikap yang harus dijungjung tinggi oleh hakim
sebagaimana tercantum dalam sila, pertama : Ketuhanan Yang Maha Esa, Kedua :
Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab, dan kelima : Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat
Indonesia.
[17] Kompas,Etika Profesi Kunci Pas Penegakan Hukum,29 Mei 2002.
[18] K.Bertens, Etika., hlm.279.
[19] Takdir Ali Mukti dkk, Membangun Moralitas Bangsa, cet. ke-1 (Yogyakarta : Lembaga
Penelitian dan Pengamalan Islam Universitas Muhamadiyah Yogyakarta, 1998),
hlm.64.
[20] Kode Kehormatan yang menjadi bahasan disini adalah kode etik hasil dari
musyawarah nasional XIII IKAHI (Ikatan Hakim Indonesia) pada tahun 2001.
[21] Nilai-nilai etika Islam disini adalah nilai etika yang mempunyai korelasi
dengan nilai-nilai penegakkan hukum yang tidak hanya berbicara sebatas
kesopanan saja melainkan pandangan hidup tentang baik atau buruk dan perintah
atau larangan.
[22] Oemar Seno Adji, Etika Profesional dan Hukum, Profesi Advokat, cet I
(Jakarta : Erlangga, 1991), hlm. 41.
[23] Martias Gelar Imam Raharjo, Pembahasan Hukum : Penjelasan Istilah-istilah
Hukum Belanda-Indonesia, cet I (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1982), hlm.218
[24] Suhrawardi K. Lubis, EtikaProfesi Hukum, hlm.28-37.
[25] E. Sumaryono, Etika., hlm.21.
[26] Rofiqoh,"Etika Menurut Fazlur Rahman",
Skripsi tidak diterbitkan, (Yogyakarta : IAIN Sunan kalijaga, 1999), hlm. 82.
[27] Muhammad Rodlin, "Etika Profesi" : Telaah Pendekatan Filsafat
Moral, skripsi tidak di terbitkan, (Yogyakarta : IAIN Sunan Kalijaga, 1998),
hlm.61.
[28] M Wahyudi, "Tinjauan Hukum Islam Terhadap Kebebasan hakim" :
Study analisis pasal 1 ayat (1) dan pasal 14 ayat (1) UU. Nomor 35
tahun 1999 tentang Kekuasaan Kehakiman, Skripsi tidak di terbitkan, (Yogyakarta
: IAIN Sunan kalijaga, 2000), hlm.70.
[29] Daryl Koehn, Landasan Etika Profesi, alih bahasa Agus M Hardjana, cet.
ke-4, (Jakarta : Kanisius, 2002), hlm.27-71.
[30] Majid fakhry, Etika Dalam Islam, alih bahasa Zakiyuddin Baidawi, cet.
ke-1, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996), hlm.xv.
[31] Namun demikian adapula yang memandang etika dan moral mempunyai makna yang
sama, karena yang membedakan adalah bahasa. Dan etika berasal dari bahasa
yunani yaitu ethos yang mempunyai pengertian adat istiadat,kebiasan sikap,cara
berfikir,dll. Sebaliknya moral dari bahasa latin yang berarti kebiasaan,adat.
Lihat K. Bertens, Etika (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1999) ,
hlm.4-6.
[32] Dikutip oleh Suparman , "Etika Religius Abu Hasan Al-mawardi,(364
atau 974-450atau1058 kajian kitab Adab wa addin", Disertasi doctor tidak
diterbitkan, (Yogyakarta : IAIN Sunan kalijaga, 2001),hlm.33.
[33] Ahmad Amin, Etika, (Jakarta : Bulan Bintang, 1991),
hlm.3.
[34] K. Bertens., hlm.33
[35] Noeng Muhadjir, “Postpositifisme Realisme
Metafisik” dalam M. Amin Abdullah, dkk (Ed.), Antologi Studi Islam, Teori &
Metodolog, cet. ke-1 (Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2000), hlm. 166. Noeng
Muhadjir, Filsafat ilmu, Positifisme, Postpositifisme, dan Postmodernisme,
Edisi II, (Yogyakarta: Rakesarasin, 2001), hlm. 138.
[36] Ibid.,
[37] Menurut K. Bertens, Etika., hlm.6.
[38] Franz Magnis Suseno dkk, Etika Sosial, cet. ke-3, (Jakarta :
Gramedia Pustaka, 1993), hlm.89.
[39] Pembagian ini mengikuti pendapat Majid Fahkry,dalam bukunya Etika Islam.,
hlm.xxi – xxiv.
[40] Bustanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam Di Indonesia ( Jakarta : Gema
Insani Press, 1996), hlm.56.
[41] E. Sumaryono, Etika., hlm.115.
[42] Ima>m Abi> Husain Muslim Bin al-Hajjaj Ibn Muslim
al-Qusyairi> Annisaburi>, Kitab Ja>mi' I As}ah}ih}, Bab Baya>nu
Ajrul Ha>kim Iz|a> ajtahidu fa as}oba au akhtou , (Bairut : Dar al-Fikr,
tt), juz 5, hlm.131.
[43] An- Nisaa (4) : 105.
[44] Al-Maidah (5) : 2.
[45] Muhtar Yahya dan Faturrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqih
Islam, cet. ke-1, ( Bandung : Ma'arif ), hlm. 527.
[46] Dahlan Idhamy, Karakteristik Hukum Islam,cet. ke-1, (Surabaya : al-Ikhlas,
1994), hlm.20.
[47] Penelitian ini adalah di tentukan oleh tujuan penelitian yang berangkat
dari fakta dengan interpretasi atau analisis yang tepat dan akurat yang
kemudian dikembangkan dari hasil analisis. Lihat : Soejono dan Abdurrahman,
Metode Penelitian Hukum, cet. ke-3, (Jakarta : Rineka Cipta, 2003), hlm.20-21.
[48] Content analisis (analisa isi) adalah teknik yang digunakan untuk menarik
kesimpulan melalui usaha menemukan kerakteristik pesan dan dilakukan secara
obyektif dan sistematis. lihat. Lexy J.Meleong, Metodologi Penelitian
Kualitatif, cet. ke-15 (Bandung : Remaja Rosda Karya, 2001), hlm.163.
[49] Muhammad Salam Madkur, Al-Qad}a> Fil Isla>m, (Ttp : tt)
hlm.11.
[50] Tengku Muhammad Hasbi Ash S{idiqi, Peradilan Dan Hukum Acara Islam cet.
ke-1, Semarang : PT Pustaka Rizki Putera, 1997), hlm.39.
[51] Muhammad Salam Madkur, Al-Qad}a> Fil Isla>m., hlm.11.
[52] Mengadili diartikan sebagai serangkaian tindakan hakim untuk menerima,
memeriksa dan memutus perkara berdasarkan asas bebas, jujur dan tidak memihak
di sidang pengadilan dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam
undang-undang.lihat Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara
Pidana (KUHAP) Pasal 1 (1)
[53] Ketentuan ini dimaksudkan agar putusan hakim sesuai dengan hukum dan rasa
keadilan masyarakat. lihat Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan
Kehakiman beserta penjelasannya, Pasal 28 Ayat (1)
[54] Tengku Muhammad Hasbi ash Shidiqi, Peradilan., hlm.33-34.
7 Al-Ahza>b (33) : 37.
[56] Al-Jumu>'ah (62) : 10.
[57] Sebagai salah satu dasar atas terbentuknya lembaga Mahkamah Agung
sebagai lembaga tertinggi dan lembaga peradilan di bawahnya.
[58] S}a>d (38) : 26.
[59] Al-Ma>'idah (5) : 49.
[60] Ima>m Abi> Husain Muslim Bin al-Hajjaj Ibn Muslim al-Qusyairi>
Annisaburi>, Kitab Ja>mi' I As}ah}ih}, Bab Baya>nu Ajrul Ha>kim
Iz|a> ajtahidu fa as}oba au akhtou , (Bairut : Dar al-Fikr, tt), juz
5, hlm.131. dan lihat juga Al-Hafizh Bin Hajar al-Asqolani, Bulu>bul
Ma>ram, Kitab al-Qod}o, Hadis} nomor 4 (Semarang : Toha Putra, tt),
hlm.315.
[61] Tengku Muhammad Hasbi ash Shidiqi, Peradilan., hlm.37.
[62] Muhammad Salam Madkur, Al-Qad}a> Fil Isla>m, (Ttp : tt)
hlm.29.
[63] Ibid.,hal.30-32
[64] Undang-undang No 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum Pasal 14
Ayat ( 1 ) dan Ketentuan tersebut dipakai di secara umum di lingkungan
peradilan tingkat pertama sampai Mahkamah Agung, tetapi ada persyaratan khusus
atau persyaratan lain yang ditentukan oleh masing–masing undang-undang di
tingkat peradilan masing.
[65] Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama Pasal
13 Ayat (1). Dan lihat juga Pasal Pasal 14 Ayat (1) Butir (a-c).
[66] Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Tata Usaha Negara
Pasal 14 Ayat (1) dan Pasal 15 Ayat (1) Butir (a-c).
[67] Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan Militer, Pasal 18
Butir (d dan e), Pasal 19 Butir (d),serta Pasal 20 Butir (d-e).
[68] Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Peradilan Hak Azasi Manusia,
Pasal 29 Butir (3, 4 dan 8).
[69] Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 beserta penjelasannya Tentang Mahkamah
Agung, Pasal 7 ayat (1) Butir (a dan F) dan Ayat (2) Butir (b) dan (c).
[77] Cik Hasan Bisri, Peradilan Islam Dalam Tatanan Masyarakat Indonesia,
(Bandung : Rosda Karya , 1997), hlm. 104.
[78] Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal
16 Ayat (1) dan lihat Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang
Pengadilan Agama Pasal 56 ayat (1)
[79] Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal
28 Ayat (1)
[80] Al-Hafizh Bin Hajar al-Asqolani, Bulu>bul Ma>ram, Kitab
al-Qod}o, Hadis} nomor 6 (Semarang : Toha Putra, tt), hlm.316.
[81] H.A. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama,
cet. ke-3, ( Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 37.
[82] Abdul Kadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Bandung :
Citra Aditya Bakti, 1992), hlm.37.
[83] Undang-undang Nomor 07 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama Pasal 56
Ayat (1).
[84] Abdul Kadir Muhammad, Hukum Acara.,.hlm.38.
[85] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta :
Gramedia 1996), hlm. 217.
[86] A. Gunawan Setiardja, Dialektika Hukum Dan Moral Dalam Pembangunan Masyarakat
Indonesia, (Yogyakarta : Kanisius, 1990), hlm.91.
[87] A.Rahman Ritonga, dkk, Ensiklopedia Hukum Islam, cet. ke-1, (Jakarta :
Ichtiar Baru Van Hoeve), hlm.90-91.
[88] K. Bertens, Etika., hlm. 5.
[89] H. Muh. Said, Etika Masyarakat Indonesia,
(Jakarta: Pradya Paramita, 1980), hlm. 23-24.
[90] Frans Magnis Suseno, Etika Dasar:
Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral, (Yogyakarta: Kanisius, 1990), hlm.
16.
[91] E. Sumaryono, Etika Profesi Hukum Norma-Norma Bagi Penegak Hukum, cet.
ke-1, (Yogyakarta : Kanisius, 1995), hlm. 51.
[92] K. Bertens, Etika, hlm. 6.
[93] CT.Onions (ed) The Shorter Oxford English Dictionary (London :
Clarendon Press Oxford, 1944), hlm. 1680.
[94] K. Bertens, Etika, hlm. 278.
[95] Dikutip oleh Badan Pembangunan Hukum Nasional
Departemen Kehakiman RI, Analisis., hlm.9
[96] Burhanuddin Salam, Etika Sosial, Asas Moral
Dalam Kehidupan Manusia,Cet. ke-1, (Jakarta: Aneka Rineka Cipta, 1997), hlm.
143-144.
[97] Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, cet. ke-4,
(Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2002),hlm. 319.
[98] Bab I Pasal 2 Butir ( 1-4).
[99] Bab II Pasal 3 ayat (1-5).
[100] Bab III Pasal 6 Butir (a-b).
[101] Bab III Pasal 8 ayat (1) butir (a-c)
[102] Bab III Pasal 9 ayat (1-3)
[103] Bab III Pasal 9 Ayat (1-3).
[104] Dikutip dari Abdulkadir Muhammad, Etika
Profesi Hukum, cet. ke-2, (Bandung : Citra Aditya bakti, 2001), hlm. 62-64.
[105] Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman,
Pasal 5 Ayat (1) dan (2).
[106] Ibid.., Pasal 37.
[107] Ibid.., Pasal 9.
[108] Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-pokok Filsafat Hukum, cet. ke-6,
(Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2002), hlm.288-291.
[109] Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Pokok-pokok .., Pasal 25
Ayat (1).
[110] E. Sumaryono, Etika Profesi Hukum., hlm.115-118.
[111] Abdulkadir Muhammad, Etika Profesi Hukum.,
hlm. 115-116.
[112] Ibid., hlm. 116.
[113] Ibid.., hlm. 118-119.
[114] I bid.., hlm.122.
[115] Ibid.., hlm. 123-124.
[116] Ibid.., hlm. 125.
[117] Ruway 'I ar-ruhaily, Fiqih Umar II, (Jakarta : Daar-AlGharbi Al Islami,
Beirut). hlm.114.
[118] Sumaryono, Etika Profesi Hukum., hlm. 131-132.
[119] Salihun A Nasir, Tinjauan Akhlak, cet. ke-1, (Surabaya : al-Ikhlas,
1991), hlm.14.
[120] Ahmad Amin, Etika (Ilmu Akhlak), alih bahasa
Farid Ma’ruf, cet. ke-8, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), hlm. 3.
lebih jauh pada hlm. 5, beliau menjelaskan bahwa pokok persoalan yang dapat
diniali “baik dan buruk” adalah segala perbuatan yang timbul dari orang yang
melakukan dengan ikhtiar dan sengaja, dan ia mengetahui waktu melakukannya.
[121] A. Mustofa, Akhlak Tasauf, cet. ke-1, (Bandung : Pustaka
Setia, 1997), hlm.149.
[122] Sidiktono, dkk, ed. Ainur Rahim Faqih dan Amir Muallim, Ibadah dan Akhlak
Dalam Islam, cet. ke-1, (Yogyakarta : UII Press, 1998), hlm. 89.
[123] Majid Fakhry, Etika Dalam Islam, terj. Zakiyuddin Baidhawy, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1996), hlm. xv-xvi.
[124] M. Abdul Quasem, Etika Al-Ghazali Etika Majemuk Di Dalam Islam, cet.
ke-1, (Bandung : Pustaka, 1988), hlm.10.
[125] Majid Fakhry, Etika Dalam Islam.,hlm. xv.
[126] Fazlur Rahman, Metode dan Alternatif
Neomodernisme Islam Fazlurrahman, Taufiq Adnan Amal (peny.) (Bandung: Mizan,
1992), hlm. 66.
[127] Madjid Fakhry, Etika Dalam Islam, alih bahasa Zakiyuddin Baidawi, cet.
ke-1 (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996), hlm. xxi-xxiii
[128] Ibid., hlm. 68.
[129] Majid Fakhry, Etika dalam Islam., hlm. xxi –
xxiii.
[130] Amril M., "Studi Pemikiran Filsafat Moral
Raghib Al-Isfahani (w.+ 1108 M)," disertasi IAIN Sunan Kalijaga,
(2001), hlm. 25-27.
[131] Sidik Tono, dkk, ed. Ainur Rahim Faqih dan Amir Muallim, Ibadah dan
Akhlak Dalam Islam, cet. ke-1, (Yogyakarta : UII Press, 1998), hlm.133-134.
[132] Muhammad Muslehuddin, penerj. Yudian Wahyudi Amin, Filsaafat Hukum Islam
dan pemikiran orientalis Studi Perbandingan, cet. ke-3, (Yogyakarta : Tiara
Wacana, 1997). hlm. 70.
[133] Ibid., hlm. 70.
[134] Frans Magnis Suseno, Etika Dasar:
Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral (Yogyakarta: Kanisius, 1990), hlm. 15-16.
[135] Sidiktono, dkk, ed. Ainur Rahim Faqih dan Amir Muallim, Ibadah., hlm.
138.
[136] Sementara itu yang dimaksud dengan bekerja dengan wawasan ukhrawi adalah
dalam melaksanakan sebuah profesi seorang muslim harus merasakan semua
akibat diakhirat nanti. Oleh karena itu seorang muslim tidak boleh
Melakukan kecurangan dan tindakan yang dilarang atau diharamkan dalam
menyelesaikan sebuah kerja inilah salah satu kelebihan yang dimiliki oleh
Islam. Ibid. hlm. 139.
[137] Al-Hafizh Bin Hajar al-Asqolani, Bulu>bul Ma>ram, Kitab
al-Qod}o, Hadis} nomor 1 (Semarang : Toha Putra, tt), hlm.315.
[138] M. Amin Abdullah, Filsafat Etika Islam, alih
bahasa Hamzah, cet. ke-1, (Bandung: Mizan, 2002), hlm. 202-205.
[139] A. Hanafi mengemukakan bahwa tauhid adalah
percaya tentang wujud Tuhan yang esa, yang tidak ada sekutu bagiNya, baik zat,
zifat maupun perbuatanNya. Lihat A. Hanafi, Pengantar Theologi Islam, (Jakarta:
Pustaka al-Husna, 1992), hlm. 12.
[140] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah Peradilan Islam, cet ke-3
(Jakarta : Bulan Bintang, 1970),hlm.27-30.
[141] Muhammad dkk, Visi al-Qur'an Tentang Etika Dan Bisnis,cet. ke-1, (Jakarta
: Salemba Diniyah, 2002), hlm.12.
[142] Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi
Pembebasan, alih bahasa Agung Prihantoro, cet. ke-2 (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2000), hlm. 59.
[143] An- Nisa> (4) : 58.
[144] An-Nahl (16) : 90.
[145] Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi
Pembebasan., hlm. 60.
[146] Al-An'am (6) : 152.
[147] An-Nisa> (4) : 135.
[148] Muslehuddin, Filsafat Hukum Islam, dan
Pemikiran Orientalis, Studi Perbandingan Sistem Hukum Islam, alih bahasa Yudian
Wahyudi Asmin (Yogyakarta: Tiara Wacana: 1991), hlm. 81.
[149] Abd A'la, Melampaui Diaolog Agama, ed. Qamaruddin SF, cet. ke-1, (Jakarta
: Kompas Media Nusantara, 2002), hlm. 159.
[150] Muslim Nurdin, Moral Dan Kognisi Islam, cet. ke-1, (Bandung : Alfa Beta,
1993), hlm.266.
[151] Muslehuddin, Filsafat Hukum Islam., hlm. 83.
Dalam hal ini Qodri Azizy mengungkapkan bahwa jika ada pertentangan antara
maslahah 'ammah (kepentingan publik) dengan maslahah khassah (kemaslahatan
pribadi) maka harus didahulukan yang pertama. Lihat Qodri Azizy, Reformasi
Bermazhab: Sebuah Ikhtiar Menuju Ijtihad Sesuai Saintifik-Modern, cet. ke-1
(Jakarta: Teraju, 2003), hlm. 122-125.
[152] Toshihiko Izutsu, Etika Beragama Dalam Islam, cet. ke-1 ( Jakarta :
Pustaka Firdaus, 1993 ), hlm. 148.
[153] Muhammad dkk, Visi al-Qur'an Tentang Etika Dan Bisnis,cet. ke-1 (Jakarta
: Salemba Diniyah, 2002), hlm. 20-21.
[154] Al-Hajj (22) : 77.
[155] Al-Imra>n (3) : 114.
[156] Muhammad dkk, Visi Al-Qur'an Tentang Etika Dan Bisnis,cet. ke-1, (Jakarta
: Salemba Diniyah, 2002), hlm.15.
[157] Al-Maidah (5) : 1.
[158] Muslehuddin, Filsafat Hukum Islam,
dan Pemikiran Orientalis, Studi Perbandingan Sistem Hukum Islam, alih bahasa
Yudian Wahyudi Asmin (Yogyakarta: Tiara Wacana: 1991), hlm. 36.
[159] An-Nisa> (4) : 85.
[160] R. Lukman Fauroni, "Etika Bisnis dalam
al-Qur'an," tesis IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (2001), hlm. 125.
[161] Al-Qiya>mah (75) : 36.
[162] Miftahul Huda, "Dimensi Etis Pesan-pesan
al-Quran: Sebuah Telaah Filsafat," Tesis IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
(1996), hlm. 119-121.
[163] An-Nah}l (16) : 97
[164] As-Sajadah (41) : 46
[165] Al-Baqara>h (2) : 256
[166] Al-Ma>'idah (5) : 61.
[167] Az-Zalzala>h (99): 7-8.
[168] Miftahul Huda, "Dimensi.," hlm. 122.
[169] Hardono Hadi, Jati Diri Manusia Berdasarkan Filsafat Organisasi
Whitehead, (Yogyakarta : Kanisius, 1966), hlm. 32.
[170] Qs. at Ti>n (95) : 4-6.
[171] Musa Asy'ari, Manusia Pembentuk Kebudayaan Dalam Al-Qur'an
(Yogyakarta : LESFI, 1992), hlm. 89.
[172] Ibid., hlm. 90.
[173] Pasal 1 Ayat (1-2), Kode Etik Profesi Hakim Indonesia.
6. Pasal 2 Ayat (1-4) Kode Etik Profesi Hakim Indonesia
[175] Juhaya S Praja, Filsafat Hukum Islam, (Bandung : Universitas Islam
Bandung, 1995), hlm.100.
[176] Ibid.,
[177] Perlindungan disini adalah perlindungan hukum terhadap
masyarakat (yang lemah) karena dalam Undang-undang semua hak warga negara
adalah sama. Lihat Undang-undang Pokok Kekuasaan Kehakiman. Nomor 4 Tahun 2004,
Pasal (37) mengatakan " Setiap orang yang tersdangkut perkara berhak
memperoleh bantuan hukum".
[178] Pasal 4 Ayat (1-5) Kode Etik Profesi Hakim Indonesia.
[179] Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Pokok-pokok Kekuasan
Kehakiman, Pasal 5 Ayat (2).
[180] Al-Hujura>t (49): 9.
[181] Al-Hafizh Bin Hajar al-Asqolani, Bulu>bul Ma>ram, Kitab
al-Qod}o, Hadis} nomor 5 (Semarang : Toha Putra, tt), hlm.315.
[182] Al-Hafizh Bin Hajar al-Asqolani, Bulu>bul Mara>m Bab
al-Qod}o, Hadis} nomor 12 (Semarang : Toha Putra, tt), hlm.317.
[183] Abi Dawud Sulaiman bin al-'asy'as
as-Sajsatani, Sunan Abi Dawud, "Bab as-Sulhu," "Kitab
al-Aqdiyah," (Bairut: Dar al-Fikr, 1414atau1994), juz 3, hlm. 295-296,
hadis nomor 3594 dari Abu Hurairah.
[184] An- Nisa> (4) : 58.
[185] Faturrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, cet. ke-1, (Jakarta : Logos
Wacana Ilmu, 1997), hlm.73. lihat juga Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004
Tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman, Pasal 5 Ayat (1) menyatakan : Pengadilan
mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang.
[186] Ima>m Abi> Husain Muslim Bin al-Hajjaj Ibn Muslim
al-Qusyairi> Annisaburi>, Kitab Ja>mi' I As}ah}ih}, Bab Tahrimi D}olmi
Muslim Wakhiz\luhu Waikhtiqo>ruhu wadimmuhu Wai'rduhu Wama>luh, (Bairut :
Dar al-Fikr, tt), juz 7, hlm.11.
[187] Ibid., Pasal 25 Ayat (1) Menyatakan : Segala putusan pengadian selain
harus memuat alasan dan dasar putusan, memuat pula pasal tertentu dari eraturan
perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang
dijadikan dasar untuk mengadili.
[188] Keterkaitan tugas ini karena antara hakim dan pegawai lainnya merupakan
rangkaian proses peradilan dari mulai pendaftaran perkara sampai pada
eksekusi., maka dengan itu mereka disumpah dan janji. Lihat. Undang-undang
Nomor 4 ., menyatakan sebelum memangku jabatan hakim, panitera, juru sita
untukmsing-masing lingkungan peradilan wajib mengucapkan sumpah dan janji
menurut agamanya.
[189] Al-Ma>'idah (5) : 2
[190] Tingkatan pengambilan dalil pada masa sahabat seperti yang
dilakukan oleh Khalifah Umar Bin Khatab yaitu al-Quran, as-Sunnah, dan
penetapan-penetapan sahabat lainnya dan apabila tidak ada maka melakukan
musyawarah. Lihat Atiyah Musrifah, al-Qada> fi al-Isla>m, (Ttp : Syarkat
al-Ausaq, 1996), hlm. 105.
[191] Asy-Syu>ra (42) : 38.
[192] Busyro Muqoddas, “Etika Profesi: fungsi dan
Prospek”, makalah Karya Latihan Hukum (Kartikum) XV yang diselenggarakan oleh
Laboratorium Fakultas Hukum UII Yogyakarta, 1997, hlm. 3.
[193] Pasal 2 Ayat (1) butir (a) dan (b), Kode Etik Profesi Hakim.
[194] Pasal 4 Ayat (1-4), Kode Etik Profesi Hakim Tentang hubungan sesama rekan
Menyatakan " Memelihara dan memupuk kerjasama antara sesama rekan,
memiliki rasa setia kawan, tenggang rasa, dan saling menghargai antara sesama
rekan memiliki kesadaran kesetiaan, penghargaan terhadap korp hakim secara
wajar dan menjaga nama baik dan martabat rekan, baik dalam kedinasan maupun
diluar kedinasan.
[195] Al-Hafizh Bin Hajar al-Asqolani, Bulu>bul Mara>m, Kitab
al-Qod}o, Hadis} nomor 9 (Semarang : Toha Putra, tt), hlm.316.
[196] As-S}a>d (38) : 24
[197] Asafri Jaya Bakri, Konsep Syari'ah Menurut Syatibi, cet. ke-1(Jakarta :
Raja Grapindo Persada, 1996), hlm. 94.
[198] An-Nisa> (4) : 85.
[199] Al-Qiya>mah (50) : 36.
[200] Kesadaran lahir dari pengetahuan yang kemudian diperkuat oleh
perilaku yang dilakukan secara terus menerus. Karena itu upaya merubah suatu
kesadaran akan dapat berhasil bila diawali dengan suatu pengetahuan atau wawasan
yang baru. Karena kesadaran adalah keinsyafan dan kadaan mengerti sedangkan
hukum peraturan yang mengikat yang diteteapkan pemerintah atau yang mengatur
pergaulan dalam masyarakat atau kaidah atau patokan mengenai peristiwa. lihat.
Meretas kebekuan Ijtihad., hlm. 247.
[201] Muhammad Muslehuddin, penerj. Yudian Wahyudi Amin, Filsaafat Hukum
Islam dan pemikiran orientalis Studi Perbandingan, cet. ke-3, (Yogyakarta :
Tiara Wacana, 1997). hlm. 70.
Komentar