BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kekuasaan kehakiman
adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya
Negara Hukum Republik Indonesia. Pernyataan tersebut merupakan pengertian
kekuasaan kehakiman yang tercantum pula dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Sebagai konsekuensi
dari sistem pembagian kekuasaan yang diterapkan di negara ini, fungsi kekuasaan
kehakiman atau yudikatif dipegang oleh lembaga- lembaga yang telah ditentukan
oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Bab
IX UUD 1945 menyebutkan tiga lembaga negara yang termasuk dalam lingkup
kekuasaan kehakiman, yaitu Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), dan
Komisi Yudisial (KY). Namun, menurut Pasal 24 ayat (2), hanya MA (dan badan
peradilan di bawahnya) dan MK yang merupakan penyelenggara kekuasaan kehakiman,
sedangkan KY tidak memiliki kewenangan tersebut sehingga badan ini sering
disebut sebagai lembaga ekstra-yudisial.
Pengadilan, sebagai
pelaksana kekuasaan kehakiman, adalah salah satu unsur penting dalam sebuah
negara yang berdasarkan hukum (rechtsstaat). Hanya pengadilan yang memenuhi
kriteria mandiri (independen), netral (tidak berpihak), dan kompeten yang dapat
menjamin pemenuhan hak asasi manusia. Oleh karena itu, posisi hakim sebagai
aktor utama lembaga peradilan menjadi amat vital, terlebih lagi mengingat
segala kewenangan yang dimilikinya. Melalui putusannya, hakim dapat mengubah,
mengalihkan, atau bahkan mencabut hak dan kebebasan warga negara, dan semua itu
dilakukan dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan. Besarnya kewenangan dan
tingginya tanggung jawab hakim ditunjukkan melalui putusan pengadilan yang selalu
diucapkan dengan irah-irah "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa". Hal ini menegaskan bahwa kewajiban menegakkan keadilan tidak hanya
dipertanggungjawabkan kepada sesama manusia, tetapi juga kepada Tuhan Yang Maha
Esa.
Setiap profesi di
berbagai bidang memiliki nilai-nilai yang dijunjung untuk dijadikan pedoman
dalam kehidupan profesi yang bersangkutan. Demikian halnya dengan profesi hakim
di Indonesia, di mana terdapat suatu kode etik yang didasarkan pada nilai-nilai
yang berlaku di Indonesia serta nilai-nilai yang bersifat universal bagi hakim
sebagai pelaksana fungsi yudikatif. Kode etik penting bagi hakim untuk mengatur
tata tertib dan perilaku hakim dalam menjalankan profesinya.
Kode Etik Profesi
Hakim Indonesia pertama kali disusun oleh Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) pada
Kongres III IKAHI tanggal 5-7 April 1965.
Seiring berjalannya waktu, perkembangan berbagai hal seputar IKAHI sebagai
wadah profesi hakim dan Kode Etik Profesi Hakim Indonesia terus berlangsung.
Dan yang paling terkini adalah ketika MA menerbitkan Pedoman Perilaku Hakim
bersamaan dengan disosialisasikannya Pedoman Etika Perilaku Hakim yang disusun
KY, sehingga peristiwa ini menjadi bagian dari ketidaksepahaman antara MA dan
KY.
Berkaitan dengan
fenomena yang tengah berkembang di masyarakat seputar konflik antara MA dan KY,
Hakim Agung Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Sophian Marthabaya
berpendapat bahwa suatu kode etik berlaku bagi suatu profesi tertentu sehingga
sebuah kode etik harus disusun oleh profesi yang bersangkutan yang akan
menjalankan kode etik tersebut. Alangkah janggalnya apabila kode etik disusun
oleh suatu institusi di luar profesi yang akan menjadikan kode etik itu sebagai
pedomannya. Idealnya, sebuah pedoman untuk melakukan pekerjaan dibuat sendiri
oleh pihak yang akan menjalankan pekerjaan tersebut. Bagaimanapun, kode etik
dibuat untuk mengatur perilaku dan sepak terjang individu profesional dalam
menjalankan profesinya.
Penegakan supremasi
hukum sebagai bagian dari agenda reformasi telah menjadi komitmen pemerintah
sejak masa keruntuhan rezim Orde Baru hingga saat ini. Namun demikian, harapan
pencari keadilan terhadap lembaga peradilan sebagai benteng terakhir untuk
memperoleh keadilan belum sepenuhnya dapat memuaskan seluruh pihak. Masyarakat
mengkritik bahwa lembaga peradilan belum seperti yang diharapkan. Lambat
menangani perkara, biaya yang mahal, administrasi yang berbelit-belit,
perbuatan dan tingkah laku pejabat peradilan yang dianggap tercela, hingga
dugaan adanya mafia peradilan (judicial corruption) menjadi alasan tidak
percayanya sebagian besar masyarakat terhadap lembaga peradilan.
Seiring berjalannya
pemerintahan sejak awal reformasi hingga saat ini, publik sadar bahwa praktik
penyalahgunaan wewenang di badan peradilan cenderung menguat dan merusak
seluruh sendi peradilan. Hal ini mengakibatkan menurunnya kewibawaan dan
kepercayaan badan peradilan terhadap masyarakat dan dunia internasional.
Keadaan badan peradilan yang demikian mendesak pihak- pihak yang berwenang
dalam menjalankan negara ini untuk melakukan upaya- upaya luar biasa yang
berorientasi kepada terciptanya badan peradilan dan hakim yang dapat menjamin
masyarakat memperoleh keadilan, dan diperlakukan secara adil dalam proses
pengadilan sesuai peraturan perundang-undangan.
Terjadinya praktik
penyalahgunaan wewenang di lembaga peradilan disebabkan oleh banyak faktor,
antara lain adalah tidak efektifnya pengawasan internal yang diterapkan di
badan peradilan selama ini. Dengan kata lain, tingginya urgensi pembentukan
Komisi Yudisial sebagai lembaga pengawas eksternal didasarkan pada lemahnya
pengawasan internal tersebut. Menurut Mas Achmad Santosa, lemahnya pengawasan
internal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:
1.
kualitas dan integritas pengawas yang tidak memadai;
2.
proses pemeriksaan disiplin yang tidak transparan;
3.
belum adanya kemudahan bagi masyarakat yang
dirugikan untuk menyampaikan pengaduan, memantau proses serta hasilnya
(ketiadaan akses);
4.
semangat membela sesama korps (esprit de corps) yang
mengakibatkan penjatuhan hukuman tidak seimbang dengan perbuatan. Setiap upaya
untuk memperbaiki suatu kondisi yang buruk pasti akan mendapat reaksi dari
pihak yang selama ini mendapatkan keuntungan dari kondisi yang buruk itu; dan
5.
tidak terdapat kehendak yang kuat dari pimpinan
lembaga penegak hukum untuk menindaklanjuti hasil pengawasan.
Hal-hal yang
diuraikan di atas menunjukkan bahwa tidak efektifnya fungsi pengawasan internal
badan peradilan pada dasarnya disebabkan oleh dua faktor utama, yaitu adanya
semangat membela sesama korps (esprit de corps) dan tidak adanya
kehendak yang sungguh-sungguh dari pimpinan badan peradilan untuk
menindaklanjuti hasil pengawasan internal terhadap hakim. Akibatnya, peluang
bagi hakim yang terbukti melakukan pelanggaran hukum dan kode etik untuk
mendapat "pengampunan" dari pimpinan badan peradilan yang
bersangkutan akan semakin terbuka. Oleh karena itu, kehadiran suatu lembaga
khusus yang menjalankan fungsi pengawasan eksternal terhadap hakim dirasakan
sangat mendesak.
1.2 Identifikasi
Masalah
Identifikasi masalah dalam paper ini adalah :
A.
Bagaimanakah Profesi Hakim dan Karakteristiknya..?
B.
Bagaimanakah tangung jawab profesi Hakim...?
C.
Bagaimanakah tanggung jawab moral Hakim...?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Profesi Hakim dan
Karakteristiknya
Sebagai sebuah
profesi yang berkaitan dengan proses di pengadilan, definisi hakim tercantum
dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau yang
biasa disebut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pasal 1 angka 8
KUHAP menyebutkan, hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang
oleh undang-undang untuk mengadili. Sedangkan
mengadili diartikan sebagai serangkaian tindakan hakim untuk menerima,
memeriksa, dan memutus perkara berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak
di sidang pengadilan dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam
undang-undang.
Hakim memiliki
kedudukan dan peranan yang penting demi tegaknya negara hukum. Oleh karena itu,
terdapat beberapa nilai yang dianut dan wajib dihormati oleh penyandang profesi
hakim dalam menjalankan tugasnya. Nilai di sini diartikan sebagai sifat atau
kualitas dari sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan manusia, baik lahir maupun
batin. Bagi manusia, nilai dijadikan landasan, alasan, atau motivasi dalam
bersikap dan bertingkah laku, baik disadari maupun tidak. Nilai-nilai itu adalah
sebagai berikut:
1.
Profesi hakim adalah profesi yang merdeka guna
menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya
negara hukum Republik Indonesia. Di sini terkandung nilai kemerdekaan dan
keadilan.
2.
Selanjutnya, nilai keadilan juga tercermin dari
kewajiban hakim untuk menyelenggarakan peradilan secara sederhana, cepat, dan
biaya ringan, agar keadilan tersebut dapat dijangkau semua orang. Dalam
mengadili, hakim juga tidak boleh membeda-bedakan orang dan wajib menghormati
asas praduga tak bersalah. Kewajiban menegakkan keadilan ini tidak hanya
dipertanggungjawabkan secara horizontal kepada sesama manusia, tetapi juga
secara vertikal kepada Tuhan Yang Maha Esa.
3.
Hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa dan
mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukumnya tidak ada
atau kurang jelas. Apabila hakim melihat adanya kekosongan hukum karena tidak
ada atau kurang jelasnya hukum yang mengatur suatu hal, maka ia wajib menggali
nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Nilai ini dinamakan sebagai
nilai keterbukaan.
4.
Hakim wajib menjunjung tinggi kerja sama dan
kewibawaan korps. Nilai kerja sama ini tampak dari persidangan yang berbentuk
majelis, dengan sekurang-kurangnya terdiri dari tiga orang hakim. Sebelum
menjatuhkan putusannya, para hakim ini melakukan musyawarah secara tertutup.
5.
Hakim harus senantiasa mempertanggungjawabkan segala
sikap dan tindakannya. Secara vertikal berarti ia bertanggung jawab kepada
Tuhan Yang Maha Esa. Sedangkan pertanggungjawaban secara horizontal berarti
ditujukan terhadap sesama manusia, baik kepada lembaga peradilan yang lebih
tinggi maupun kepada masyarakat luas. Berkaitan dengan pertanggungjawaban horizontal,
Pasal 25 ayat (1) Undang- Undang tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa:
"Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan
tersebut, memuat pula pasal tertentu dari perundang-undangan yang bersangkutan
atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili."
6.
Hakim wajib menjunjung tinggi nilai obyektivitas.
Hal ini tercermin dalam Pasal 29 ayat (3) yang menyatakan bahwa hakim wajib
mengundurkan diri dalam pemeriksaan suatu perkara apabila ia mempunyai hubungan
darah dengan pihak-pihak yang terlibat dalam proses pemeriksaan perkara
tersebut, baik dengan terdakwa, jaksa, penasihat hukum, panitera, maupun sesama
majelis hakim.
Profesi hakim sebagai
salah satu bentuk profesi hukum sering digambarkan sebagai pemberi keadilan.
Oleh karena itu, hakim juga digolongkan sebagai profesi luhur (officium
nobile), yaitu profesi yang pada hakikatnya merupakan pelayanan pada
manusia dan masyarakat. Setiap profesi memiliki etika yang pada prinsipnya
terdiri dari kaidah-kaidah pokok sebagai berikut.
1.
Profesi harus dipandang sebagai pelayanan, oleh
karenanya, sifat "tanpa pamrih" menjadi ciri khas dalam mengembangkan
profesi.
2.
Pelayanan profesional dalam mendahulukan kepentingan
pencari keadilan mengacu pada nilai-nilai luhur.
3.
Pengembanan profesi harus selalu berorientasi pada
masyarakat sebagai keseluruhan.
4.
Persaingan dalam pelayanan berlangsung secara sehat
sehingga dapat menjamin mutu dan peningkatan mutu pengemban profesi.
Sebagai suatu profesi
di bidang hukum yang secara fungsional merupakan pelaku utama dalam
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, hakim dituntut untuk memiliki suatu
keahlian khusus sekaligus memahami secara mendalam mengenai ruang lingkup tugas
dan kewajibannya. Salah satu unsur yang membedakan profesi hakim dengan profesi
lainnya adalah adanya proses rekrutmen serta pendidikan bersifat khusus yang
diterapkan bagi setiap orang yang akan mengemban profesi ini.
2.2 Persyaratan
Calon Hakim
Berdasarkan Pasal 14
angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, seseorang hanya dapat diangkat
menjadi hakim jika telah memenuhi persyaratan sebagai berikut.
a.
Warga Negara Indonesia.
b.
Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
c.
Setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
d.
Bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai
Komunis Indonesia termasuk organisasi massanya atau bukan seorang yang terlibat
langsung ataupun tak langsung dalam Gerakan Kontra Revolusi G30S/PKI atau
organisasi terlarang lainnya.
e.
Pegawai Negeri.
f.
Sarjana hukum.
g.
Berumur serendah-rendahnya 25 (dua puluh lima)
tahun.
h.
Berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan baik.
2.3
Pendidikan dan Pelatihan Calon Hakim
Proses pendidikan dan
pelatihan (diklat) bagi calon hakim dilaksanakan pada awal masa pra-jabatan dan
sangat erat kaitannya dengan proses rekrutmen hakim. Selain digunakan sebagai
program orientasi bagi para calon hakim, diklat juga ditujukan untuk menjadi
sarana seleksi hakim. Program diklat dimulai dari kewajiban para peserta untuk
memenuhi masa magang selama kurang lebih satu tahun sebagai Calon Pegawai
Negeri Sipil (CPNS) di pengadilan-pengadilan negeri di wilayah Indonesia.
Program pembinaan yang terarah belum terlihat pada tahap yang disebut Diklat
Praktik I ini. Para peserta diklat masih sebatas dikaryakan sebagai staf
administrasi pengadilan, hingga saatnya mereka mengikuti ujian prajabatan,
yang merupakan fase seleksi kepegawaian secara umum.
Setelah melalui
proses pengangkatan dan memperoleh status Pegawai Negeri Sipil (PNS), para
peserta diikutsertakan dalam Diklat Klasikal yang diadakan secara terpusat oleh
Pusat Pendidikan dan Latihan (Pusdiklat) Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia
(Dephukham). Pada tahap ini, para peserta akan menerima berbagai materi keahlian
di bidang hukum, dan mulai dipersiapkan secara teoritis untuk mengemban jabatan
sebagai hakim. Apabila dinyatakan lulus, para peserta diharuskan memenuhi masa
magang kembali dengan status sebagai calon hakim di berbagai pengadilan negeri
selama minimal satu tahun. Pada tahapan yang disebut Diklat Praktik II ini
diterapkan suatu pola pembinaan yang sudah lebih mengarah pada pelaksanaan
tugas hakim. Selanjutnya, Ketua Pengadilan Negeri di mana calon hakim tersebut
ditempatkan akan mengusulkan para peserta yang dianggap layak untuk diangkat
penuh sebagai hakim. Pengangkatannya sendiri akan dilakukan oleh Presiden
melalui Menhukham.
2.4 Pola
Rekrutmen dan Kualitas Hakim
Bagaimana mekanisme
perekrutan seorang individu untuk menjadi hakim akan menentukan kualitas
putusan pengadilan ke depannya. Individu yang sejak awal memang memiliki
kapabilitas dan wawasan hukum yang mendalam sudah selayaknya terjaring dalam
rekrutmen hakim sehingga mereka yang nantinya duduk di muka ruang pengadilan
sebagai pemimpin sidang adalah hakim-hakim yang berkualitas terbaik. Faktanya,
berbagai putusan pengadilan yang kontroversial terus bermunculan sehingga
berbagai pihak menilai hakim-hakim di negeri ini belum memahami rasa keadilan
masyarakat. Banyaknya kelemahan ataupun cacat hukum pada putusan yang
dikeluarkan oleh para hakim bisa jadi merupakan gambaran dari tidak efektifnya
pola rekrutmen hakim yang selama ini diterapkan di Indonesia.
Rifqi S. Assegaf
mencontohkan, putusan Mahkamah Agung pada kasus Buloggate yang membebaskan
terdakwa Akbar Tandjung mengandung sangat banyak kelemahan dari segi hukum dan
amat mencederai perasaan hukum dan keadilan sebagian masyarakat. Dari kelima
hakim dalam majelis yang memutus perkara tersebut, dua orang bukan merupakan
hakim karir melainkan berasal dari partai politik, sedangkan sisanya adalah
hakim karir. Salah seorang hakim non-karir, yakni Abdul Rahman Saleh mengajukan
dissenting opinion dalam putusan perkara korupsi dana non-budgeter Bulog
tersebut. Berkaca pada pendapat Rifqi mengenai kualitas putusan kasus ini,
barangkali perbedaan pendapat antarhakim tersebut menggambarkan adanya
disparitas kualitas antara hakim karir dan hakim non- karir.
Dalam buku "The
Civil Law Tradition", Merryman, seorang ahli perbandingan hukum,
menyatakan bahwa hakim karir (yang lahir dari sistem Civil LaW) cenderung
memiliki mentalitas birokrat, kurang memiliki kepercayaan diri dan pemikiran
yang mandiri. Hal ini mengakibatkan mereka cenderung ragu atau takut untuk
membuat keputusan yang kontroversial dan memiliki dampak politik yang besar.
Hal ini berbeda dengan hakim di negara penganut sistem Common Law yang sebelum
menjadi hakim biasanya berprofesi sebagai pengacara, pejabat publik, atau
akademisi.
Menurut Reza
Indragiri Amriel, ahli psikologi forensik lulusan The University of Melbourne,
pembenahan aset terpenting institusi peradilan, yaitu individu hakim, harus
menjadi fokus agar sumber daya manusia (SDM) dapat berkontribusi dalam
meningkatkan kualitas produk peradilan (putusan pengadilan). Dalam
artikelnya, "Pengembangan Integritas Profesi Hakim", Reza memaparkan
kondisi yang ada dalam dunia peradilan berkaitan dengan kualitas profesi hakim
seperti di bawah ini.
1.
Kesulitan mencari hakim, termasuk Hakim Agung (dan
para pemangku otoritas hukum pada umumnya) nyatanya tidak hanya terjadi di
Indonesia. Amerika Serikat pun mengalami keterbatasan jumlah hakim sejak
usainya Perang Sipil di negara itu. Dalam konteks Indonesia, kesulitan ini
terutama bersumber dari tidak adanya model kompetensi yang menjadi acuan
mengenai karakter ideal yang sepatutnya dipunyai oleh setiap individu hakim.
2.
Dalam survei yang dilakukan oleh United Nations
Office on Drugs and Crime (UNODC) tahun 2006, saat ditanyakan kepada para
hakim, banyak hakim yang menyebutkan bahwa penambahan jumlah hakim dan staf
pendukung sebagai prasyarat efektif kedua—dari tujuh faktor— terpenting dalam
rangka peningkatan kualitas peradilan. Di sisi lain, banyak peneliti justru
menyimpulkan bahwa kualitas personel lembaga kehakiman tidak dipengaruhi oleh
jumlah aparat peradilan. Mutu putusan para hakim berbanding lurus dengan
peningkatan profesionalisme mereka.
Selanjutnya, Reza
menguraikan dua hal yang dapat menjadi alternatif solusi untuk mengembangkan
integritas hakim sebagai berikut.
1.
Sebagai sumber daya manusia, para hakim juga
idealnya dikenakan perlakuan SDM (HR/human resources treatment) secara
terintegrasi, komprehensif, dan berkesinambungan. Ini artinya, penilaian ketat
tidak hanya diterapkan pada para kandidat hakim. Setelah menjabat, para
kandidat terpilih harus diberikan penilaian secara berkala pula. Prinsipnya,
semakin sentral peran SDM terhadap kinerja suatu organisasi, semakin ketat pula
idealnya manajemen SDM diberlakukan pada organisasi tersebut.
2.
Ke depan perlu dirumuskan acuan kinerja (performance
standards atau distinct job manual) dan perangkat aturan organisasi lainnya
sebagai pedoman pengembangan karir para hakim.
2.5 Tanggung Jawab
Profesi
Pada dasarnya,
terdapat setidaknya tiga unsur pokok yang harus ada dalam pelaksanaan suatu
fungsi dalam profesi dan bidang apapun. Unsur-unsur tersebut adalah sebagai
berikut.
1.
Tugas, yaitu kewajiban dan kewenangan atau kekuasaan
yang harus dilaksanakan untuk kemudian diperinci lebih lanjut tentang cara
melaksanakannya.
2.
Aparat, yaitu pelaksana tugas tersebut yang terdiri
atas komponen pelaksana, pendukung, dan penunjang.
3.
Lembaga, yaitu wadah (struktur dan organisasi)
beserta sarana dan prasarana tempat para aparat melaksanakan tugasnya.
Bagi seorang aparat,
mendapat suatu tugas berarti memperoleh sebuah tanggung jawab yang terkait tiga
hal, yaitu:
1.
mendapat kepercayaan untuk dapat mengemban tugas;
2.
merupakan suatu kehormatan sebagai pengemban tugas;
dan
3.
merupakan suatu amanat yang harus dijaga dan
dijalankan.
Tanggung jawab dapat
dibedakan atas tiga jenis, yaitu tanggung jawab moral, tanggung jawab hukum,
dan tanggung jawab teknis profesi. Tanggung jawab moral adalah tanggung jawab
sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dalam lingkungan
kehidupan profesi yang bersangkutan, baik bersifat pribadi maupun bersifat
kelembagaan bagi suatu lembaga yang merupakan wadah para aparat bersangkutan.
Sementara tanggung jawab hukum diartikan sebagai tanggung jawab yang menjadi
beban aparat untuk dapat melaksanakan tugasnya dengan tidak melanggar
rambu-rambu hukum. Sedangkan tanggung jawab teknis profesi merupakan tuntutan
bagi aparat untuk melaksanakan tugasnya secara profesional sesuai dengan
kriteria teknis yang berlaku dalam bidang profesi yang bersangkutan, baik
bersifat umum maupun ketentuan khusus dalam lembaganya.
2.6 Tanggung
Jawab Moral Hakim
Secara filosofis,
tujuan akhir profesi hakim adalah ditegakkannya keadilan. Cita hukum keadilan
yang terapat dalam das sollen (kenyataan normatif) harus dapat diwujudkan dalam
das sein (kenyataan alamiah) melalui nilai-nilai yang terdapat dalam etika
profesi. Salah satu etika profesi yang telah lama menjadi pedoman profesi ini
sejak masa awal perkembangan hukum dalam peradaban manusia adalah The Four
Commandments for Judges dari Socrates. Kode etik hakim tersebut terdiri dari
empat butir di bawah ini.
1.
To hear corteously (mendengar dengan sopan dan
beradab).
2.
To answer wisely (menjawab dengan arif dan
bijaksana).
3.
To consider soberly (mempertimbangkan tanpa
terpengaruh apapun).
4.
To decide impartially (memutus tidak berat sebelah).
Peradaban Islam pun
memiliki literatur sejarah di bidang peradilan, salah satu yang masih tercatat
ialah risalah Khalfah Umar bin Khatab kepada Musa Al- Asy'ari, seorang hakim di
Kufah, yang selain mengungkapkan tentang pentingnya peradilan, cara pemeriksaan,
dan pembuktian, juga menjelaskan tentang etika profesi. Dalam risalah
dituliskan kode etik hakim antara lain di bawah ini.
1.
Mempersamakan kedudukan para pihak dalam majelis,
pandangan, dan putusan sehingga pihak yang merasa lebih mulia tidak mengharapkan
kecurangan hakim, sementara pihak yang lemah tidak berputus asa dalam usaha
memperoleh keadilan hakim.
2.
Perdamaian hendaklah selalu diusahakan di antara
para pihak yang bersengketa kecuali perdamaian yang menghalalkan yang haram
atau mengharamkan yang halal.
Dalam bertingkah
laku, sikap dan sifat hakim tercermin dalam lambang kehakiman dikenal sebagai
Panca Dharma Hakim, yaitu:
Ø
Kartika, melambangkan Ketuhanan Yang Maha Esa;
Ø
Cakra, berarti seorang hakim dituntut untuk bersikap
adil;
Ø
Candra, berarti hakim harus bersikap bijaksana atau
berwibawa;
Ø
Sari, berarti hakim haruslah berbudi luhur atau
tidak tercela; dan
Ø
Tirta, berarti seorang hakim harus jujur.
Sebagai perwujudan
dari sikap dan sifat di atas, maka sebagai pejabat hukum, hakim harus memiliki
etika kepribadian, yakni:
a.
percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b.
menjunjung tinggi citra, wibawa, dan martabat hakim;
c.
berkelakuan baik dan tidak tercela;
d.
menjadi teladan bagi masyarakat;
e.
menjauhkan diri dari perbuatan asusila dan kelakuan yang
dicela oleh masyarakat;
f.
tidak melakukan perbuatan yang merendahkan martabat
hakim;
g.
bersikap jujur, adil, penuh rasa tanggung jawab;
h.
berkepribadian, sabar, bijaksana, berilmu;
i.
bersemangat ingin maju (meningkatkan nilai
peradilan);
j.
dapat dipercaya; dan
k.
berpandangan luas.
2.7 Sikap Hakim
dalam Kedinasan
Sikap, sifat, dan
etika kepribadian yang harus dimiliki oleh hakim seperti telah diuraikan di
atas selanjutnya diimplementasikan di persidangan pada saat hakim menjalankan
tugasnya. Edy Risdianto, hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
mencontohkan salah satu bentuk tanggung jawab moral hakim yang ia terapkan
dalam menjalankan tugasnya adalah tidak mengikutsertakan istri ke ruang sidang
di pengadilan ketika sedang memimpin persidangan.
Secara umum, yang harus dilakukan hakim terhadap pihak ketiga yang menjadi
pencari keadilan dalam persidangan adalah:
1.
bersikap dan bertindak menurut garis-garis yang
ditentukan dalam hukum acara yang berlaku;
2.
tidak dibenarkan bersikap yang menunjukkan memihak
atau bersimpati atau antipati terhadap pihak-piha yang berperkara;
3.
harus bersikap sopan, tegas, dan bijaksana dalam
memimpin sidang, baik dalam ucapan maupun perbuatan;
4.
harus menjaga kewibawaan dan kekhidmatan
persidangan; dan
5.
bersungguh-sungguh mencari kebenaran dan keadilan.
Sementara itu, terhadap profesinya sendiri, seorang hakim juga harus menjaga
perilakunya, baik kepada atasan, sesama rekan, maupun bawahan. Terhadap atasan,
seorang hakim harus bersikap:
a.
taat kepada pimpinan;
b.
menjaankan tugas-tugas yang telah digariskan dengan
jujur dan ikhlas;
c.
berusaha memberi saran-saran yang membangun;
d.
mempunyai kesanggupan untuk mengeluarkan serta
mengemukakan pendapat tanpa meningalkan norma-norma kedinasan; dan
e.
tidak dibenarkan mengadakan resolusi terhadap atasan
dalam bentuk apapun.
Sedangkan terhadap sesama
rekan, hakim haruslah:
a.
memelihara dan memupuk hubungan kerja sama yang baik
antarsesama rekan;
2.
memiliki rasa setia kawan, tenggang rasa, dan saling menghargai antarsesama
rekan;
3.
memiliki kesadaran, kesetiaan, penghargaan terhadap korps hakim; dan
4.
menjaga nama baik dan martabat rekan-rekan, baik di dalam maupun di luar
kedinasan.
Begitu pula terhadap
bawahan/pegawai, setiap hakim selayaknya bersikap:
1.
harus mempunyai sifat kepemimpinan;
2.
membimbing bawahan untuk mempertinggi kecakapan;
3.
harus mempunyai sikap sebagai seorang bapak/ibu yang baik;
4.
memelihara sikap kekeluargaan antara bawahan dengan hakim; dan
5.
memberi contoh kedisiplinan.
2.8 Sikap
Hakim Di Luar Kedinasan
Di samping itu, di
luar kedinasannya berprofesi di pengadilan, hakim juga harus senantiasa menjaga
sikap dan perilakunya. Terhadap diri pribadi, seorang hakim harus:[29]
1. memiliki kesehatan
jasmani dan rohani;
2.
berkelakuan baik dan tidak tercela;
3.
tidak menyalahgunakan wewenang untuk kepentingan pribadi maupun golongan;
4.
menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan asusila dan kelakuan yang dicela oleh
masyarakat; dan
5.
tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang merendahkan martabat hakim.
Sementara dalam
kehidupan rumah tangga, hakim harus bersikap:[30]
1.
menjaga keluarga dari perbuatan-perbuatan tercela, baik menurut norma hukum
maupun norma kesusilaan;
2.
menjaga ketentraman dan keutuhan keluarga dan rumah tangga;
3.
menyesuaikan kehidupan rumah tangga dengan keadaan dan pandangan masyarakat;
dan
4.
tidak dibenarkan hidup berlebih-lebihan dan mencolok.
Sedangkan dalah
kehidupan bermasyarakat, hakim harus selalu:[31]
1.
selaku anggota masyarakat tidak boleh mengisolasi diri dari pergaulan
masyarakat;
2.
dalam hidup bermasyarakat harus mempunyai rasa gotong-royong; dan
3.
harus menjaga nama baik dan martabat hakim.
2.9
Tanggung Jawab Hukum Hakim
Beberapa peraturan
perundang-undangan yang memiliki kaitan dengan hakim dan peradilan mencantumkan
dan mengatur pula hal-hal seputar tanggung jawab hukum profesi hakim.
Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman mencantumkan beberapa tanggung jawab
profesi yang harus ditaati oleh hakim, yaitu:
a.
bahwa hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa
keadilan yang hidup dalam masyarakat (Pasal 28 ayat (1));
b.
bahwa dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan
pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa (Pasal 28 ayat (2)); dan
c. bahwa hakim wajib
mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah
atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami isteri meskipun telah
bercerai, dengan ketua, salah seorang Hakim Anggota, Jaksa, Advokat, atau
Panitera (Pasal 29 ayat (3)).
Selain peraturan
perundang-undangan yang menguraikan tanggung jawab profesi hakim sebagai
penyelenggara kekuasaan kehakiman secara umum, terdapat pula ketentuan yang
mengatur secara khusus mengenai tanggung jawab profesi Hakim Agung, yaitu
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung. Undang-undang ini
mengatur ketentuan-ketentuan yang harus ditaati dan menjadi tanggung jawab
Hakim Agung, di antaranya sebagai berikut.
Pasal 10 ayat (1) menyatakan bahwa Hakim Agung tidak boleh merangkap menjadi:
-
pelaksana putusan Mahkamah Agung;
-
wali, pengampu, dan pejabat yang berkaitan dengan suatu perkara yang akan atau
sedang diperiksa olehnya;
- penasehat
hukum; dan
-
pengusaha.
b.
Pasal 12 ayat (1) menyatakan bahwa Hakim Anggota Mahkamah Agung dapat
diberhentikan tidak dengan hormat dengan alasan:
-
dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan karena melakukan tindak
pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
-
melakukan perbuatan tercela;
-
terus menerus melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas pekerjaannya;
-
melanggar sumpah atau janji jabatan; dan
-
melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10.
c.
Pasal 41 ayat (1) menyatakan bahwa hakim wajib mengundurkan diri dari suatu
persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai
derajat ketiga, atau hubungan suami atau isteri meskipun telah bercerai dengan
salah seorang Hakim Anggota atau Panitera pada majelis hakim.
d.
Pasal 41 ayat (4) menyatakan jika seorang hakim yang memutus perkara dalam
tingkat pertama atau tingkat banding, kemudian telah menjadi
Hakim Agung, maka
Hakim Agung tersebut dilarang memeriksa perkara yang sama.
e. Pasal 42 ayat (1)
menyatakan bahwa seorang hakim tidak diperkenankan mengadili suatu perkara yang
ia sendiri berkepentingan, baik langsung maupun tidak langsung. Di samping
kedua undang-undang di atas, peraturan berbentuk undang- undang lainnya yang
mencantumkan ketentuan mengenai tanggung jawab profesi hakim adalah:
1.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama;
2.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial;
3.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 2
Tahun 1986 tentang Peradilan Umum;
4.
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 5
Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara;
5.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi;
6.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak; dan
7.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
2.10 Tanggung
Jawab Teknis Profesi Hakim
Jenis tanggung jawab
yang terakhir adalah tanggung jawab teknis profesi. Pada jenis tanggung jawab
ini, penilaian terhadap sesuai atau tidaknya tindakan yang dilakukan oleh hakim
dengan ketentuan yang berlaku menjadi hal yang paling diutamakan. Selain itu,
penilaian terhadap kinerja dan profesionalisme hakim dalam menjalankan tugasnya
juga menjadi perhatian. Setiap hakim dituntut mampu mempertanggungjawabkan tindakannya
sebagai profesional di bidang hukum, baik di dalam maupun di luar kedinasan,
secara materi dan formil. Oleh karena itu, adalah suatu hal yang mutlak bagi
para hakim untuk memahami secara mendalam aturan-aturan mengenai hukum acara di
persidangan. Ketidak mampuan hakim dalam mempertanggungjawabkan tindakannya
secara teknis atau dikenal dengan istilah unprofessional conduct dianggap
sebagai pelanggaran yang harus dijatuhi sanksi.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
. Setiap hakim dituntut mampu mempertanggungjawabkan tindakannya sebagai
profesional di bidang hukum, baik di dalam maupun di luar kedinasan, secara
materi dan formil. Oleh karena itu, adalah suatu hal yang mutlak bagi para
hakim untuk memahami secara mendalam aturan-aturan mengenai hukum acara di
persidangan. Ketidak mampuan hakim dalam mempertanggungjawabkan tindakannya
secara teknis atau dikenal dengan istilah unprofessional conduct dianggap
sebagai pelanggaran yang harus dijatuhi sanksi.
DAFTAR PUSTAKA
Kamil, Iskandar.
"Kode Etik Profesi Hakim" dalam Pedoman Perilaku Hakim (Code of
Conduct), Kode Etik Hakim dan Makalah Berkaitan. Jakarta: Mahkamah Agung RI,
2006.
Kansil, C.S.T.
dan Christine S.T. Kansil. Pokok-Pokok Etika Profesi Hukum. Jakarta: Pradnya
Pramita, 1996.
Konsorsium Reformasi
Hukum Nasional dan Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan.
Menuju Independensi Kekuasaan Kehakiman. Jakarta: Indonesian Center for
Environmental Law (ICEL) dan Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi
Peradilan (LeIP), 1999.
Mahendra,
Yusril Ihza. Mewujudkan Supremasi Hukum di Indonesia. Jakarta: Tim Pakar Hukum
Departemen Kehakiman dan Hak Asasai Manusia RI bersama Sekretariat Jenderal
Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, 2002.
Mahkamah Agung RI.
Pedoman Perilaku Hakim. Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2006. Makalah Berkaitan.
Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2005. Muhammad, Abdulkadir. Etika Profesi Hukum.
Cet. ke-2. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001.
Suyuthi,
Wildan. "Etika Profesi, Kode Etik, dan Hakim dalam Pandangan Agama"
dalam Pedoman Perilaku Hakim (Code of Conduct), Kode Etik Hakim dan Makalah
Berkaitan. Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2006.
Tasrif, S.
"Kemandirian Kekuasaan Kehakiman" dalam Kemandirian Kekuasaan
Kehakiman. Editor Paul S. Baut dan Luhut M.P. Pangaribuan. Jakarta: Yayasan
Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, 1989.
Undang-Undang Nomor
14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian PerselisihanHubungan Industrial. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Usman, Suparman, Etika Dan
Tanggung Jawab Profesi Hukum Di Indonesia, Jakarta,Gaya Media Pratam, 2008.
Widyadharma,
Ignatius Ridwan. Hukum Profesi tentang Profesi Hukum. Semarang: CV Ananta,
1994.
Zakiah, Waingatu.
Menyingkap Tabir Mafia Peradilan. Jakarta: Indonesian Corruption Watch, 2002.
Kode Etik Hakim
Sebagai Profesi Hukum
CONTOH KASUS
TEMPO.CO, Jakarta:
Komisi Pemberantasan Korupsi menemukan barang bukti berupa uang tunai sebesar
Rp 150 juta ketika menggrebek transaksi suap yang melibatkan Hakim Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi, Kartini Marpaung. KPK juga menangkap satu hakim lain,
Heru Kusbandono, yang ternyata bertugas di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
Pontianak, Kalimantan Barat.
Tersangka pemberi
suap adalah seorang perempuan bernama Sri Dartuti. Diduga, Sri adalah
kerabat dari terdakwa kasus korupsi yang sedang diadili Kartini di Pengadilan
Tipikor Semarang.
Sumber Tempo di KPK
menyebut Sri Dartuti sebagai adik dari Ketua DPRD Grobogan, Jawa Tengah,
Muhammad Yaeni. Dia sedang diadili dalam kasus korupsi perawatan mobil dinas
DPRD Grobogan, Jawa Tengah senilai Rp 1,9 miliar.
Yaeni, politikus PDI
Perjuangan di Grobogan, sebelumnya sudah mendapat banyak keistimewaan selama
menjalani sidang. Hakim Kartini Marpaung sempat meloloskan permintaannya untuk
tidak ditahan selama sidang. Walhasil, Yaeni pun hanya menjadi tahanan rumah.
Jika kasus suap ini tak terungkap, Yaeni seharusnya divonis 27 Agustus 2012
depan. Dia dituntut hukuman penjara 2,5 tahun. Pelaku korupsi yang mengulangi
perbuatannya terancam hukuman mati.
http://www.tempo.co/read/news/2012/08/17/063424250/Hakim-Tipikor-Semarang-Disuap-Rp-150-Juta
I.
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Dunia hukum di
Indonesia telah mengalami pasang dan surut. Banyak pihak yang mencibir sinis
dan pesimis namun ada juga yang tetap menaruh harapan. Banyak masalah yang
memicu kekecewaan masyarakat, salah satunya adalah konkursus tentang etika
profesi hukum yang sering dikangkangi oleh mereka-mereka sendiri yang
berkecimpung di dalam dunia hukum itu sendiri. Hal ini pula berkaitan dengan
profesi hakim sebagai salah satu profesi terhormat di dunia hukum atau dapat
juga dikatakan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari profesi hukum
sekaligus sebagai motor penggerak mesin peradilan.
Sehubungan dengan
itu, telah dimaklumi bahwa sejak dulu keluhan-keluhan sering dialamatkan pada
dunia peradilan kita. Kalaulah dapat disebut suatu masa, keluhan-keluhan itu
terutama terjadi sejak masa orde lama, masa orde baru, dan tetap berlangsung
hingga saat ini.Ditinjau dari kemampuan masyarakat memberikan reaksi, atau
respons terhadap dunia peradilan, ada fluktuasi keluhan-keluhan yang
disampaikan. Pada suatu saat masalah indepedensi mengemuka, di saat lain muncul
ke permukaan masalah mutu hakim dan mutu putusan.
Semua keluhan di atas
bermuara pada pertanyaan tentang profesionalitas hakim yang bersangkutan.
Sehingga hampir dapat dikatakan bahwa hakim yang baik adalah hakim yang
profesional di bidangnya. Bagir Manan menguraikan sedikitnya ada 5 (lima)
perspektif untuk menjadi hakim yang profesional, yaitu : dalam perspektif
intelektual sebagai perspektif pengetahuan dan konsep-konsep baik ilmu hukum
maupun ilmu-ilmu atau konsep-konsep ilmu lain terutama ilmu sosial; dalam
perspektif etik, berkaitan dengan moral; dalam perspektif hukum, sehubungan
dengan ketaatan hakim pada kaidah-kaidah hukum baik bersifat administratif
maupun pidana; dalam perspektif kesadaran beragama, berkenaan dengan hubungan
seorang hakim dengan Tuhannya; dan terakhir dalam perspektif teknis peradilan dimana
pengusaan terhadap hukum acara (hukum formil) mutlak diperlukan.
Peradilan di
Indonesia banyak mengalami sorotan , berbagai permasalahan yang ada mulai dari
mafia peradilan , penegakan hukum yang tidak memenuhi rasa keadilan , hingga
jual beli kasus yang terjadi di pengadilan masih saja terjadi hingga saat ini.
Disini peran profesi hukum, khususnya disini adalah hakim dalam menjalankan
fungsi concern with the truth atau penjaga peradaban sangat diperlukan di
dalamnya. Kepastian hukum dan keadilan merupakan dua nilai yang selalu
terformulasikan dalam putusan hakim. Dalam menjatuhkan putusan, hakim tidak
hanya merujuk pada hukum dan undang-undang,tetapi juga mengunakan pendekatan
keadilan bagi terdakwa, disini terdapat aspek non hukum dibalik formulasi
putusan yang tertulis. Putusan hakim yang baik akan lahir ketika adanya usaha
secara intensif untuk mendapatkan kebenaran secara materiil.
Kemampuan hakim
diantarannya profesi knowledge , profesi disposition , dan profesi skill sangat
diperlukan dalam memutuskan suatu perkara agar menghasilkan keputusan yang
berkualitas. Keputusan dikatakan berkualitas apabila didalamnya memenuhi rasa
keadilan di dalamnya. Dalam menghadapi kasus seperti ini tidak hanya keadilan
prosedural yang di utamakan tetapi yang lebih penting hakim harus memperhatikan
keadilan substansial di dalamnya.Moralitas hakim juga sangat diperlukan disini
agar dapat menciptakan hakim yang bermoral dan sesuai dengan kode etik hakim.
B.
Perumusan Masalah
1.
Bagaimana seharusnya profesi hukum dalam hal ini adalah hakim dalam menjalankan
fungsi concern with the truth atau penjaga peradaban?
2.
Bagaimana langkah yang harus dilakukan untuk memberantas mafia peradilan ,
khususnya disini adalah terhadap perilaku hakim yang “nakal”
II.
PEMBAHASAN
A.
Hakim dalam menjalankan fungsi concern with the truth atau penjaga peradaban?
Istilah Etika berasal
dari bahasa Yunani, “ethos” yang artinya cara berpikir, kebiasaan, adat,
perasaan, sikap, karakter, watak kesusilaan atauadat. Dalam Kamus Bahasa
Indonesia, ada 3 (tiga) arti yang dapat dipakai untuk kata Etika, antara lain
Etika sebagai sistem nilai atau sebagai nilai-nilai atau norma-norma moral yang
menjadi pedoman bagi seseorang ataukelompok untuk bersikap dan bertindak. Etika
juga bisa diartikan sebagai kumpulan azas atau nilai yang berkenaan dengan
akhlak atau moral. Selain itu, Etika bisa juga diartikan sebagai ilmu tentang
yang baik dan yang buruk yang diterima dalam suatu masyarakat, menjadi bahan
refleksi yang diteliti secara sistematis dan metodis
Hakim sebagai sebuah
profesi hukum menempati posisi sentral yang sangat strategis dalam proses
penegakan hukum guna menemukan keadilan dan kebenaran. Bahkan putusan seorang
hakim sebagai sebuah yurisprudensi menjadi salah satu sumber hukum sebagai
rujukan dimana hukum itu dapat ditemukan.
Dalam UU No.8 Tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana, Pasal 1 butir 8, menyebutkan bahwa: “Hakim
adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh udang-undang untuk
mengadili”. Fokus wewenang tersebut secara tersurat adalah menjalankan tugas
mengadili terhadap suatu perkara yang harus mendapatkan putusan sebagai sebuah
resolusi konflik yang terjadi,baik antara individu maupun antara individu
dengan publik.
Mengadili menjadi tekanan
utama dalam pengertian ini seperti yang dijelaskan selanjutnya pada undang
undang tersebut (Pasal 1 butir 9), yaitu : “Mengadili adalah serangkaian
tindakan hakim untuk menerima, memeriksa dan memutus perkara pidana berdasarkan
asas bebas, jujur dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal dan menurut
cara yang diatur dalam undang-undang”.[1]
Sebagai Penegak Hukum
dan Penjaga Peradaban Hakim mempunyai kewajiban yaitu :
1.
Menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat.
Dalam masyarakat yang masih mengenal hukum tidak tertulis, serta berada dalam
masa pergolakan dan peralihan. Hakim merupakan perumus dan penggali dari
nilai-nilai hukum yang hidup dikalangan rakyat.
Untuk itu ia harus
terjun ke tangah-tengah masyarakat untuk mengenal, merasakan, dan mampu
menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dengan
demikian hakim dapat memberikan keputusan yang sesuai dengan hukum dan rasa
keadilan masyarakat.
2.
Hakim wajib memperhatikan sifat-sifat baik dan buruk dari tertuduh dalam
menentukan dan mempertimbangkan berat ringannya pidana. Sifat-sifat yang jahat
maupun yang baik dari tertuduh wajib diperhatikan Hakim dalam mempertimbangkan
pidana yang akan dijatuhkan.
Keadaan-keadaan
pribadi seseorang perlu diperhitungkan untuk memberikan pidana yang setimpal
dan seadil-adilnya. Keadaan pribadi tersebut dapat diperoleh dari keterangan
orang-orang dari lingkungannya, rukun tetangganya, dokter ahli jiwa dan
sebagainya.
TANGGUNG JAWAB HAKIM
1.
Tanggung Jawab Hakim Kepada Penguasa
Tanggung jawab hakim
kepada penguasa (negara) artinya telah melaksanakan peradilan dengan baik,
menghasilkan keputusan bermutu, dan berdampak positif bagi bangsa dan negara.
a.
Melaksanakan peradilan dengan baik. Peradilan dilaksanakan sesuai dengan
undang-undang, nilai-nilai hukum yang hidup dalam masayarakat, dan kepatutan
(equity).
b.
Keputusan bermutu. Keadilan yang ditetapkan oleh hakim merupakan perwujudan
nilai-nilai undang-undang, hasil penghayatan nilai-nilai yang hidup dalam
masyarakat, etika moral masyarakat, dan tidak melanggar hak orang lain.
c.
Berdampak positif bagi masyarakat dan negara. Keputusan hakim memberi manfaat
kepada masyarakat sebagai keputusan yang dapat dijadikan panutan dan
yurisprudensi serta masukan bagi pengembangan hukum nasional.
2.
Tanggung Jawab Kepada Tuhan
Tanggung jawab hakim
kepada Tuhan Yang Maha Esa artinya telah melaksanakan peradilan sesuai dengan
amanat Tuhan yang diberikan kepada manusia, menurut hukum kodrat manusia yang
telah ditetapkan oleh Tuhan melalui suara hati nuraninya.
Untuk jabatan hakim,
Kode Etik Hakim disebut Kode Kehormatan Hakim berbeda dengan notaris dan
advokat. Hakim adalah pegawai negeri sipil yang mempunyai jabatan fungsional.
Oleh karena itu Kode Kehormatan Hakim memuat 3 jenis etika, yaitu :
1.
Etika kedinasan pegawai negeri sipil
2.
Etika kedinasan hakim sebagai pejabat fungsional penegak hukum.
3.
Etika hakim sebagai manusia pribadi manusia pribadi anggota masyarakat.
Uraian Kode Etik
Hakim meliputi :
1.
Etika keperibadian hakim
Sebagai pejabat
penegak hukum, hakim :
a.
Percaya dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
b.
Menjunjung tinggi, citra, wibawa dan martabat hakim
c.
Berkelakuan baik dan tidak tercela
d.
Menjadi teladan bagi masyarakat
e.
Menjauhkan diri dari eprbuatan dursila dan kelakuan yang dicela oleh masyarakat
f.
Tidak melakukan perbuatan yang merendahkan martabat hakim
g.
Bersikap jujur, adil, penuh rasa tanggung jawab
h.
Berkepribadian, sabar, bijaksana, berilmu
i.
Bersemangat ingin maju (meningkatkan nilai peradilan)
j.
Dapat dipercaya
k.
Berpandangan luas
2.
Etika melakukan tugas jabatan
Sebagai pejabat
penegak hukum, hakim :
a. Bersikap
tegas, disiplin
b. Penuh
pengabdian pada pekerjaan
c. Bebas
dari pengaruh siapa pun juga
d. Tidak
menyalahgunakan kepercayaan, kedudukan dan wewenang untuk kepentingan pribadai
atau golongan
e. Tidak
berjiwa mumpung
f. Tidak
menonjolkan kedudukan
g. Menjaga
wibawa dan martabat hakim dalam hubungan kedinasan
h. Berpegang
teguh pada Kode Kehormatan Hakim
3.
Etika pelayanan terhadap pencari keadilan
Sebagai pejabat
penegak hukum, hakim :
a.
Bersikap dan bertindak menurut garis-garis yang ditentukan di dalam hukum acara
yang berlaku
b.
Tidak memihak, tidak bersimpati, tidak antipati pada pihak yang berperkara
c.
Berdiri di atas semua pihak yang kepentingannya bertentangan, tidak
membeda-bedakan orang
d. Sopan,
tegas, dan bijaksana dalam memimpin sidang, baik dalam ucapan maupun perbuatan
e.
Menjaga kewibawaan dan kenikmatan persidangan
f.
Bersungguh-sungguh mencari kebenaran dan keadilan
g.
Memutus berdasarkan hati nurani
h.
Sanggup mempertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa
4.
Etika hubungan sesama rekan hakim
Sebagai sesama rekan
pejabat penegak hukum, hakim :
a. Memlihara
dan memupuk hubungan kerja sama yang baik antara sesam rekan
b. Memiliki
rasa setia kawan , tenggang rasa, dan saling menghargai antara sesama rekan
c.
Memiliki kesadaran, kesetiaan, penghargaan terhadap korp hakim
d. Menjaga nama
baik dan martabat rekan-rekan , baik di dalam maupun di luar kedinasan
e. Bersikap
tegas. Adil dan tidak memihak.
f.
Memelihara hubungan baik dengan hakim bawahannya dan hakim atasannya.
g. Memberi
contoh yang baik di dalam dan di luar kedinasan.
5.
Etika pengawasan terhadap hakim.
Di dalam urusan Kode
Kehormatan Hakim tidak terdapat rumusan mengenai pengawasan dan sanksi ini. Ini
berarti pengawasan dan sanksi akibat pelanggaran Kode Kehormatan Hakim dan
pelanggaran undang-undang. Pengawasan terhadap hakim dilakukan oleh Majelis Kehormatan
Hakim. Menurut ketentuan pasal 20 ayat (3) Undang-Undang No.2 Tahun 1986
tentang Peradilan umum; Pembentukan, susunan, dan tata kerja Majelis Kehormatan
Hakim serta tata cara pembelaan diri ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung
bersama-sama Menteri Kehakiman.
KODE KEHORMATAN HAKIM
1.
Kode Kehormatan Hakim dan Tri Prasetya Hakim Indonesia
Kode kehormatan hakim
dikenal dengan "Tri Prasetya Hakim Indonesia". Yaitu ;
"Saya berjanji :
a.
Bahwa saya senantiasa menjunjung tinggi citra, wibawa dan martabat Hakim
Indonesia;
b.
Bahwa saya dalam menjalankan jabatan berpegang teguh pada kode kehormatan Hakim
Indonesia;
c.
Bahwa saya menjunjung tianggi dan mempertahankan jiwa Korps Hakim Indonesia.
Semoga Tuhan Yang
Maha Esa selalu membimbing saya di jalan yang benar."
Perlambang atau sifat
hakim
a.
KARTIKA (= Bintang, yang melambangkan Ketuhanan Yang Maha Esa).
b.
CAKRA (= Senjata ampuh dari Dewa Keadilan yang mampu memusnahkan segala
kebatilan, kezaliman dan ketidakadilan) berariadil.
c.
CANDRA (= Bulan yang menerangi segala tempat yang gelap, sinar penerangan dalam
kegelapan) berarti bijaksana dan berwibawa.
d.
SARI (= Bunga yang semerbak wangi mengharumi kehidupan masyarakat)
berarti budi luhur atau berkelakuan tidak tercela.
e.
TIRTA (= air, yang mbersihkan segala kotoran di dunia) mensyaratkan, bahwa
seorang hakim harus jujur.
Perincian mengenai
sifat hakim
a.
KARTIKA = Percaya dan Taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing menurut dasar kemanusiaan
yang adil dan beradab.
b.
CAKRA = Adil
Dalam kedinasan
-
Adil
-
Tidak berprasangka atau memihak
-
Bersungguh-sungguh mencari kebenaran dan keadilan
-
Memutus berdasarkan keyakinan hati nurani
-
Sanggup mempertanggungjawabkan kepada Tuhan
Di luar kedinasan
-
Saling harga menghargai
-
Tertib dan lugas
-
Berpandangan luas
-
Mencari saling pengertian
c.
CANDRA = Bijaksana / Berwibawa
Dalam kedinasan
-
Berkepribadian
-
Bijaksana
-
Berilmu
-
Sabar dan Tegas
-
Berdisiplin
-
Penuh pengabdian pada pekerjaan
Di luar kedinasan
-
Dapat dipercaya
-
Penuh rasa tanggung jawab
-
Menimbulkan rasa hormat
-
Anggun dan berwibawa
d. SARI
= Berbudi luhur / berkelakuan tidak tercela
Dalam kedinasan
-
Tawakal dan Sopan
-
Ingin meningkatkan pengabdian dalam tugas
-
Bersemangat ingin maju
-
Tenggang rasa
Di luar kedinasan
-
Berhati-hati dalam pergaulan hidup
-
Sopan dan susila
-
Menyenangkan dalam pergaulan
-
Tenggang rasa'
-
Berusaha menjadi teladan bagi masyarakat sekelilingnya
e.
TIRTA = Jujur
Dalam kedinasan
-
Jujur
-
Merdeka = tidak membeda-bedakan orang
-
Bebas dari pengaruh siapa pun juga
-
Tabah
Di luar kedinasan
-
Tidak boleh menyalahgunakan kepercayaan dan kedudukan
-
Tidak boleh berjiwa mumpung
-
Waspada
-
Hubungan Kode
Kehormatan Hakim Dengan Undang-Undang
Jabatan hakim diatur
dengan undang-undang, yaitu UU No.2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum. Seorang
yang menjabat hakim harus mematuhi undang-undang dan berpegang pada Kode
Kehormatan Hakim. Hubungan antara undang-undang dan Kode Kehormatan Hakim
terletak pada ketentuan Kode Kehormatan Hakim yang juga diatur dalam
undang-undang, sehingga sanksi pelanggaran undang-undang diberlakukan juga pada
pelanggaran Kode Kehormatan Hakim.
Apabila menurut
Majelis Kehormatan Hakim ternyata seorang hakim terbukti telah melakukan
pelanggaran, maka berdasarkan ketentuan pasal 20 ayat (1), hakim yang
bersangkutan diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatannya dengan alasan :
a.
Dipidana karena bersalah melakukan tindakan pidana kejahatan.
b.
Melakukan perbuatan tercela.
c.
Terus menerus melalaikan kewajiban menjalankan tugas pekerjaan.
d.
Melanggar sumpah atau janji jabatan.
e.
Melanggar larangan pasal 18 (rangkap jabatan)
Pengusulan
pemberhentian tidak dengan hormat dilakukan setelah hakim yang bersangkutan
diberi kesempatan secukupnya untuk membela diri di hadapan Majelis Kehormatan
Hakim.
Menurut penjelasan
pasal tersebut:
a.
Yang dimaksud dengan "dipidana" ialah dipidana dengan
pidana penjara sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan.
b.
Yang dimaksud dengan "melakukan perbuatan tercela" ialah
apabila hakim yang bersangkutan karena sikap, perbuatan, dan tindakannya, baik
di dalam maupun di luar pengadilan merendahkan martabat hakim.
c.
Yang dimaksud dengan "tugas pekerjaan" ialah semua tugas
yang dibebankan kepada hakim yang bersangkutan.
Berdasarkan ketentuan
tadi dapat disimpulkan bahwa sanksi undang-undang adalah juga sanksi Kode
Kehormatan Hakim yang dapat dikenakan kepada pelanggarnya. Dalam hal ini, Kode
Kehormatan Hakim juga menganut prinsip penundukan pada undang-undang.
Kekuasaan Kehakiman
Kekuasaan kehakiman
adalah kekuasaan negara yang merdeka dalam pengertian di dalam keuasaan kehakiman
bebas dari campur tangan pihak kekuasaan negara lainnya, dan kebebasan dari
paksaan, direktiva dan rekomendasi yang datang dari pihak extra judiciil
kecuali dalam hal-hal yang diizinkan oleh Undang-Undang. Kebebasan dalam
pelaksanaan wewenang judiciil tidaklah mutlak sifatnya, karena tugas daripada
hakim adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dengan
jalan menafsirkan hukum dan mencari dasar-dasar serta asas-asas yang jadi
landasannya, melalui perkara-perkara yang dihadapinya sehingga keputusannya
mencerminkan persaan keadilan bangsa dan rakyat Indonesia.
Penyelenggaraan
Kekuasaan kehakiman diserahkan kepada badan-badan Peradilan yang telah
ditetapkan oleh Undang-Undang. Dalam hal ini kekuasaan kehakiman dilakukan oleh
Pengadilan dalam lingkungan :
1.
Peradilan Umum
2.
Peradilan Agama
3.
Peradilan Militer
4.
Peradilan Tata Usaha Negara
Peradilan Agama,
Militer dan Tata Usaha Negara adalah peradilan khusus, karena mengadili
perkara-perkara tertentu atau mengenai golongan rakyat tertentu.
Sedangkan Peradilan
Umum adalah peradilan bagi rakyat pada umumnya mengenai baik perkara perdata
maupun pidana. Mahkamah Agung adalah Pengadilan Negara Tertinggi.
B.
Langkah yang perlu dilakukan untuk memberantas mafia peradilan, khususnya
terhadap perilaku hakim yang “nakal”
Dasar kode etik
profesi hakim diatur dalam UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman.
Kekuasaan kehakiman yang dimaksud dalam hal ini tertuang dalam pasal 1 yaitu
kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi
terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.
Kode etik profesi
Hakim yang merupakan satu-satunya kode etik yang berlaku bagi para hakim
Indonesia. Kode etik profesi hakim menjadi pedoman bagi Hakim Indonesia, baik
dalam menjalankan tugas profesinya yang bertujuan untuk mewujudkan keadilan dan
kebenaran maupun dalam pergaulan sebagai anggota masyarakat yang harus dapat
memberikan contoh dan suri tauladan dalam kepatuhan dan ketaatan kepada hukum.
Namun dalam kenyataannya, untuk sekarang ini banyak perilaku hakim yang
menyalahi ketentuan dalam kode etik tersebut. Hal bisa kita amati dari
pemberitaan media massa yang mempublikasikan kasus – kasus hakim “nakal”, yang
salah satunya adalah kasus yang melibatkan Hakim Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi Kartini Marpaung dan Heru Kusbandono yang menerima suap dari seorang
perempuan bernama Sri Dartuti. Diduga, Sri adalah kerabat dari terdakwa
kasus korupsi yang sedang diadili Kartini di Pengadilan Tipikor Semarang yaitu
Muhammad Yaeni. Yaeni dalam hal ini diadili karena diduga melakukan tindak
pidana korupsi terhadap perawatan mobil dinas DPRD Grobogan, Jawa Tengah
senilai Rp 1,9 miliar. Yang pada akhirnya dengan suap tersebut hakim
menjatuhkan putusan kepada Yaeni dengan hanya menjadi tahanan rumah saja dari
yang seharusnya Yaeni divonis dengan tuntutan hukuman penjara 2,5 tahun
Kasus hakim disuap
agar pihak yang salah tidak diberikan hukuman yang berat bahkan dibebas
lepaskan dari segala tuntutan seperti kasus diatas jelas melanggar kode etik
hakim yaitu yang terdapat dalam UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan
kehakiman pasal 5 ayat (1) dimana “Pengadilan mengadili menurut hukum dengan
tidak membeda-bedakan orang”. Dan ayat (2) yaitu “Pengadilan membantu pencari
keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat
tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan”.
Selain dalam kasus
suap, hakim juga sering menggunakan jabatannya tidak pada tempatnya. Misalnya,
seorang hakim menggunakan jabatannya untuk menguntungkan pribadinya karena
orang melihatnya sebagai seorang hakim. Ditambah lagi ketika memanfaatkan
jabatan tersebut banyak orang lain yang dirugikan. Hal ini juga jelas
bertentangan dengan kode etik profesinya yaitu mempergunakan nama jabatan korps
untuk kepentingan pribadi.
Dengan melihat masih
banyaknya pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh hakim, maka dibutuhkan
adanya suatu landasan bagi hakim untuk menerapkan kode etik profesinya dalam
praktek sehari-hari yaitu berupa adanya hukum yang tegas, moralitas hakim yang
baik, dan landasan keimanan atau agama bagi seorang hakim dalam menjalankan
kode etik profesinya tersebut. Karena mengingat kode etik profesi hakim
merupakan sebuah hukum berupa peraturan perundang-undangan yang berlaku secara
tetap dan tegas yang bersumber dari nilai-nilai yang diajarkan oleh agama
berupa akhlak yang melahirkan nilai-nilai moralitas hakim yang baik. Maka hakim
dalam menjalankan etika profesinya sudah pasti harus diikuti pula dengan
keimanan seorang hakim terhadap agamanya karena hal tersebut akan menunjukan
moralitas yang dimiliki oleh seorang hakim sehingga ia akan menjalankan etika
profesinya dengan baik.
Kualitas seorang
hakim dalam memutus suatu perkara memiliki pengaruh yang dominan dalam tegaknya
supremasi hukum dan untuk mewujudkan wibawa pengadilan di Indonesia disamping
dukungan dari aparat penegak hukum yang lain. Hakim sebagai figure sentral
dalam proses peradilan senantiasa dituntut untuk mengasah kepekaan nurani,
memelihara kecerdasan moral dan meningkatkan profesionalisme dalam
menegakkan hukum dan keadilan bagi masyarakat banyak.
Dengan berpegang
teguh terhadap Kode Etik Profesi Hakim tersebut, diharapkan nantinya hakim
dapat mengangkat citra dan wibawanya dan perilaku dalam memberikan keadilan dan
kepastian serta perlindungan hukum yang dibutuhkan, sehingga masyarakat dapat
menyandarkan harapan yang sangat besar kepada hakim yang benar-benar memiliki
integritas dan profesionalisme karena tindakan dan tingkah lakunya menunjukkan
ketidakberpihakan, memiliki integritas moral, serta pada kemampuannya
memberikan putusan yang baik. Putusan Pengadilan yang adil menjadi puncak
kearifan bagi penyelesaian pemasalahan hukum yang terjadi dalam kehidupan
bernegara. Sehingga dengan adanya putusan pengadilan yang adil, maka akan
mengangkat wibawa suatu pengadilan.
Dengan dibuatnya
suatu peraturan tentang adanya penghargaan (reward) kepada hakim yang
berkelakuan baik dan hukuman (penalty) khusus kepada hakim yang ‘nakal’ atau
kurang berkompeten dirasakan perlu untuk mendorong dipatuhinya kode etik hakim
mengingat selama ini hanya ada suatu pengaturan bagi hakim yang terbukti
menerima suap itu pun dengan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, sehingga
sepertinya tidak ada dorongan bagi para hakim untuk berlomba-lomba untuk
berperilaku baik atau menegakkan keadilan dengan mematuhi kode etik profesinya.
Cara perekrutan hakim pun seharusnya dirombak karena selama ini cara perekrutan
tersebut dirasa kurang efektif dan kurang berhasil untuk menjaring hakim-hakim
yang berkualitas. Bahkan justru banyak hakim-hakim yang ternyata merupakan
‘titipan’ dari keluarga atau kerabatnya yang juga merupakan hakim.
III.
Penutup
A.
Kesimpulan
Dengan adanya uraian
diatas maka dapat disimpulkan bahwa :
1.
Sebagai penegak hukum dan penjaga peradaban hakim mempunyai kewajiban yaitu
menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat dan
hakim juga wajib memperhatikan sifat-sifat baik dan buruk dari tertuduh dalam
menentukan dan mempertimbangkan berat ringannya pidana.
2.
Terhadap perilaku hakim yang “nakal” maka dibutuhkan adanya suatu landasan bagi
hakim untuk menerapkan kode etik profesinya dalam praktek sehari-hari yaitu
berupa adanya hukum yang tegas, moralitas hakim yang baik, dan landasan
keimanan atau agama bagi seorang hakim dalam menjalankan kode etik profesinya
tersebut. Karena mengingat kode etik profesi hakim merupakan sebuah hukum
berupa peraturan perundang-undangan yang berlaku secara tetap dan tegas yang
bersumber dari nilai-nilai yang diajarkan oleh agama berupa akhlak yang
melahirkan nilai-nilai moralitas hakim yang baik. Maka hakim dalam menjalankan
etika profesinya sudah pasti harus diikuti pula dengan keimanan seorang hakim
terhadap agamanya karena hal tersebut akan menunjukan moralitas yang dimiliki
oleh seorang hakim sehingga ia akan menjalankan etika profesinya dengan baik.
B.
Saran
1. Bagi
para hakim seharusnya mereka mampu mempertanggungjawabkan tindakannya sebagai
profesional di bidang hukum, baik di dalam maupun di luar kedinasan, secara
materiil dan formil. Oleh karena itu, adalah suatu hal yang mutlak bagi para
hakim untuk memahami secara mendalam aturan-aturan mengenai hukum acara di
persidangan. Ketidak mampuan hakim dalam mempertanggungjawabkan tindakannya
secara teknis atau dikenal dengan istilah unprofessional conduct dianggap
sebagai pelanggaran yang harus dijatuhi sanksi.
2.
Dalam hal ini ,juga sebaiknya dibentuk semacam peraturan khusus mengenai
sanksi yang akan diterima oleh hakim yang melanggar kode etik dan pedoman
perilaku hakim, sebagaimana yang kita ketahui, sejauh ini belum ada peraturan
tertulis (semacam UU) yang secara tegas mengatur mengenai sanksi tersebut.
dalam Keputusan bersama Ketua MA dan KY, hanya dinyatakan bahwa “Hakim yang
diusulkan untuk dikenakan sanksi pemberhentian sementara dan pemberhentian oleh
Mahkamah Agung RI atau Komisi Yudisial RI dan diberi kesempatan untuk membela
diri di Majelis Kehormatan Hakim“.Dalam hal ini ‘hakim yang diusulkan’
maksudnya adalah hakim yang diduga melakukan penlanggaran terhadap kode etik
hakim, dan seperti yang terlihat,dalam peraturan tersebut hakim yang melanggar diancam
diberhentikan oleh mahkamah Agung atau Komisi Yudisial, namun tidak diancam
sanksi yang secara tegas dan jelas menyatakan hukuman atas hakim tersebut.
3.
Mungkin dalam mengontrol agar kinerja hakim bisa sesuai dengan yang diharapkan
,pemeriksaan terhadap Hakim hendaknya tidak dilakukan bila hakim tersebut
diduga atau dicurigai telah melakukan kesalahan saja, namun bisa dilakukan
secara berkala dan berkelanjutan, sehingga perilaku hakim dapat lebih
terkontrol, selain itu juga dengan pemeriksaan berkala ini akan dapat mencegah
terjadinya pelanggaran.
4.
Pemberian reward (misal dapat berupa penghargaan) terhadap hakim yang
berperilaku baik dan sesuai kode etik hakim, kaitannya dengan saran no.2
mengenai pemeriksaan berkala, jika hal ini dilakukan, maka akan terlihat mana
hakim yg baik dan mana hakim yang melanggar, sehingga kepada hakim yg baik dan
melaksanakan kode etik dapat diberi reward yang pantas.
[1]Kuat Puji
Prayitno, 2010 , Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum, Yogyakarta : Kanwa Publisher,
hlm.73.
6 Oktober 2011
Komentar