BAB
I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Sebagai
warga negara yang dilandasi oleh hukum, maka sudah semestinya setiap tingkah
laku kita harus sesuai dengan norma-norma ataupun hukum yang berlaku. Di setiap
tindak tanduk kita sehari-hari, kita tidak bisa lepas dari aturan. Ketika kita
membuat suatu pelanggaran, maka kita harus berhadapan dengan hukum.
Begitu juga ketika sedang berperkara di pengadilan, ada aturan-aturan
tertentu yang mesti dijalani, sehingga perkara tersebut bisa mendapat kepastian
hukum. Maka kita harus mengetahui apa-apa saja aturan-aturan tersebut, agar
mudah nantinya apabila kita sedang berhadapan dengan perkara yang melibatkan
kita ke pengadilan.
B. RUMUSAN MASALAH
Adapun masalah-masalah yang akan di bahas didalam makalah
ini adalah mengenai administrasi dalam Peradilan Agama, yang meliputi sebagai
berikut:
1.
Administrasi
perkara
2.
Administrasi
Perkara banding
3.
Administrasi
Perkara kasasi
4.
Dan
Administrasi Perkara Peninjauan Kembali
BAB II
PEMBAHASAN
A. ADMINISTRASI PERKARA PENGADILAN
AGAMA
Prosedur
Penerimaan Perkara Di Pengadilan Agama
Sebelum
sidang dapat dilakukan, pertama-tama kita harus melewati fase yang pertama,
yaitu mengajukan perkara ke pengadilan, dalam hal ini adalah dengan mengajukan
surat gugatan atau permohonan kepada beberapa meja.
Jadi,
perkara itu ada dua, yaitu gugatan dan permohonan. Perbedaannya adalah:[1]
dalam perkara gugatan ada suatu sengketa atau konflik yang harus diselesaikan
oleh pengadilan. Ada pihak yang merasa haknya telah dilanggar, tetapi, orang
yang “dirasa” telah melanggar haknya itu tidak mau dengan sukarela melakukan
sesuatu yang diminta itu. Maka di perlukan keputusan hakim untuk menentukan
siapakah yang benar dan salah. Sedangkan dalam perkara yang disebut permohonan
tidak ada sengketa, dalam hal ini seorang hakim hanya sekedar memberikan
jasanya sebagai seorang tenaga tata usaha negara. Hakim tersebut mengeluarkan
suatu penetapan yang lazimnya dikenal dengan putusan declaratoir.[2]
Pada prinsipnya, prosedur penerimaan
perkara di Pengadilan Agama ditentukan dengan model unit, yaitu Meja I, Meja II dan Meja III
yang masing-masing unit mempunyai tugas dan tanggung jawab sendiri-sendiri
tetapi berkaitan satu dengan yang lain. Pelaksanaan tugas unit-unit ini
dilakukan oleh Sub Kepaniteraan Perkara di bawah pengamatan langsung Wakil
Panitera.
Pengertian meja tersebut merupakan kelompok pelaksana teknis
yang harus dilalui oleh suatu perkara di Pengadilan Agama, mulai dari
penerimaan sampai perkara tersebut diselesaikan.
Meja
I
Meja
I mempunyai tugas sebagai berikut:
1.
Menerima
gugatan, permohonan, perlawanan (verzet), pernyataan banding, kasasi dan
peninjauan kembali, eksekusi, penjelasan dan penaksiran biaya perkara dan biaya
eksekusi.
2.
Membuat
Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM) dalam rangkap 3 (tiga) dan menyerahkan SKUM tersebut
kepada calon penggugat atau pemohon.
3.
Menyerahkan
kembali surat gugatan atau permohonan kepada calon penggugat atau pemohon.
4.
Menaksir
biaya perkara sebagai ditetapkan dalam pasal 121 HIR/145 Rbg. yang kemudian
dinyatakan dalam SKUM. Dalam perkara cerai talak dalam menaksir biaya-biaya
perkara diperhitungkan juga untuk keperluan pemanggilan sidang ikrar talak.
5.
Penerimaan
perkara perlawanan (verzet) hendaknya dibedakan antara perlawanan
(verzet) terhadap putusan verstek dengan perlawanan pihak ketiga (derden
verzet).
6. selain tugas di atas, maka meja I
berkewajiban memberikan penjelasan yang dianggap perlu berkenaan dengan perkara
yang diajukan dan dalam memberi penjelasan dihindari dialog yang tidak perlu
berdasarkan Surat Ketua Muda Mahkamah Agung RI Urusan Lingkungan Peradilan
Agama tanggal 11 Januari 1994 Nomor : MA/Kumdil/012/I/K/1994.
Khusus bagi Pengadilan Tinggi Agama,
Meja I bertugas:
1.
Menerima
berkas perkara banding.
2.
Menerima
memori, kontra memori banding yang langsung disampaikan ke PTA yang disampaikan
pembanding atau terbanding.
3.
Dalam
menerima berkas perkara banding dari Pengadilan Agama agar diteliti apakah
sudah terlampir bukti pengiriman biaya banding, apabila belum terlampir bukti
pengiriman maka perkara belum dapat didaftar.
4.
Apabila
berkas banding sudah disertai dengan bukti pengiriman biaya, maka perkara
didaftar dengan meneruskan kepada pemegang kas untuk didaftar dan diberi nomor
perkara.
5.
Setelah
berkas didaftar dan diberi nomor, pada hari itu juga berkas diteruskan kepada
Meja II.
6.
Bagi
perkara banding yang diajukan dengan Cuma-Cuma (Prodeo) maka berkas
perkara langsung diteruskan kepada Meja II tanpa melalui pemegang Kas dan tidak
diberi nomor sebelum ada penetapan majelis atau hakim PTA bahwa perkara
tersebut dikabulkan untuk beracara dengan Cuma-Cuma (prodeo).
Kas:
1.
Pemegang
kas merupakan bagian dari Meja I.
2.
Pemegang
kas menerima pembayaran uang panjar perkara sebagaimana tersebut dalam SKUM.
3.
Pemegang
kas melakukan penerimaan uang panjar perkara atau biaya eksekusi dan membukukan
dalam buku jurnal yang terdiri atas :
a) KI.PA 1/p
: untuk perkara permohonan.
b) KI.PA
1/g : untuk perkara
gugatan.
c) KI.PA 2
: untuk
perkara banding.
d) KI.PA 3
: untuk
perkara kasasi.
e) KI.PA 4
: untuk
perkara peninjauan kembali.
f) KI.PA 5
: untuk
permohonan eksekusi
Khusus untuk Pengadilan Tinggi
Agama, buku Jurnal hanya 1 (satu) buah buku KII.PA1.
4.
Seluruh
kegiatan pengeluaran perkara harus melalui pemegang kas dan dicatat secara
tertib dalam Buku Induk yang bersangkutan.
5.
Pemegang
kas harus tersedia uang kontan dan materai putusan.
6.
Semua
pengeluaran uang perkara harus melalui pemegang kas, dan pemegang kas wajib
mencatat dengan tertib segala kegiatan pengeluaran uang tersebut dalam buku
jurnal yang bersangkutan.
7.
Biaya
materai dicatat sesuai tanggal diputusnya perkara.
8.
Pemegang
kas menandatangani SKUM, membubuhi Nomor urut perkara dan tanggal penerimaan
perkara dalam SKUM dan dalam surat gugat atatu permohonan sebagaimana tersebut
dalam buku jurnal yang berkaitan dengan perkara yang diajukan.
9.
Pemegang
kas mengembalikan asli serta tindasan pertama SKUM beserta surat gugat atau permohonan
kepada calon penggugat atau pemohon.
10.
Terhadap
perkara prodeo tetap dibuatkan SKUM sebesar Rp. 00,- dan SKUM tersebut
didaftarkan pada pemegang kas.
11. Setiap pemegang kas di Pengadilan
Agama harus menyiapkan 2 (dua) buah stempel penerimaan perkara, yaitu:
a) Perkara Gugatan:
Nomor : ……./Pdt.G/201../PA…
|
Tanggal :
|
b) Perkara Permohonan:
Nomor :
……./Pdt.P/201../PA…
|
Tanggal :
|
c)
Untuk Pengadilan Tinggi Agama menyiapkan stempel:
Nomor
: ……./Pdt.G/201../PTA…
|
Tanggal :
|
Catatan:
Nomor ……../Pdt.G/200../PA….. (…..= Nomor urut, 201.. =
tahun, PA….= Kode Pengadilan Agama.
Meja II
Meja
II mempunyai tugas sebagai berikut:
1.
Menerima
surat gugatan, perlawanan, atau permohonan dari
calon Penggugat, Pelawan, atau Pemohon dalam rangkap sebanyak jumlah
tergugat atau terlawan ditambah 3 rangkap untuk majelis hakim.
2.
Menerima
tindasan pertama SKUM dari calon Penggugat, pelawan atau pemohon.
3.
Mendaftar
atau mencatat surat gugatan atau permohonan dalam register
yang bersangkutan serta member nomor register pada surat gugatan
atau permohonan tersebut.
4.
Nomor
register adalah nomor pendaftaran yang diberikan kasir.
5. Asli surat gugatan atau permohonan
dimasukkan dalam map khusus dengan melampirkan tindasan pertama SKUM dan
surat-surat yang berhubungan dengan gugatan atau permohonan (blanko Penunjukan
Majelis Hakim (PMH), blanko Penetapan Hari Sidang (PHS)).
Selanjutkan
diserahkan kepada wakil panitera untuk selanjutnya berkas gugatan atau permohonan
tersebut disampaikan kepada Ketua Pengadilan Agama melalui Panitera.
6. Mendaftar dan mencatat putusan
Pengadilan Agama atau Pengadilan Tinggi Agama atau Mahkamah Agung
dalam buku register yang bersangkutan.
Hal-hal yang perlu diperhatikan
adalah:
1.
Mempelajari
kelengkapan persyaratan dan mencatat semua data-data perkara yang baru
diterimanya dalam buku penerimaan tentang perkara, kemudian menyampaikan kepada
panitera dengan melampirkan semua formulir-formulir yang berkaitan dengan
pemeriksaan perkara.
2.
Selambat-lambatnya
pada hari kedua setelah surat-surat gugat diterima di bagian kepaniteraan,
Panitera harus sudah menyerahkan kepada Ketua Pengadilan Agama yang selanjutnya
Ketua Pengadilan Agama mencatat dalam buku ekspedisi yang ada padanya dan
mempelajarinya. Kemudian Ketua Pengadilan Agama menunjuk majelis hakim yang
menyidangkan dengan mengisi Penetapan Majelis Hakim (PMH) yang harus dilakukan
selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari sejak gugatan atau permohonan didaftarkan.
Dan berkas tersebut diserahan kembali kepada Panitera.
3.
Panitera
menyerahkan berkas perkara yang diterima dari Ketua Pengadilan Agama atau Wakil
Ketua kepada Majelis Hakim yang telah ditunjuk.
4.
Panitera
menunjuk seorang atau lebih panitera penganti untuk diperbantukan kepada
Majelis Hakim yang bersangkutan.
5.
Setelah
majelis hakim menerima berkas perkara dari Ketua atau wakil ketua, maka Ketua
majelis harus membuat Penetapan Hari Sidang (PHS).
6. Bagi perkara banding yang diajukan
dengan Cuma-Cuma (Prodeo) maka berkas perkara langsung diteruskan kepada
Meja II tanpa melalui pemegang Kas dan tidak diberi nomor sebelum ada penetapan
majelis atau hakim PTA bahwa perkara tersebut dikabulkan untuk beracara dengan
Cuma-Cuma (prodeo).
Catatan:
Berdasarkan
ketentuan yang termuat dalam pasal 68 dan pasal 80 Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 disebutkan bahwa untuk perkara cerai talak dan cerai gugat dilakukan oleh
majelis hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah
berkas atau surat permohonan talak atau surat gugatan perceraian didaftarkan di
kepaniteraan.
Khusus Pengadilan Tinggi Agama Meja II
bertugas:
1.
Mendaftarkan
atau mencatat berkas perkara banding sesuai dengan tanggal dan nomor perkara
yang didaftar dan diberi nomor oleh pemegang kas kedalam buku register perkara,
memberi nomor perkara padsa sampul berkas perkara yang bersangkutan.
2.
Memberi
atau meneliti kelengkapan berkas perkara sesuai
dengan daftar isi surat pengantar. Bila terdapat kekurangan
berkas, agar diminta kepada Pengadilan Agama yang bersangkutan.
3. Setelah lengkap semuanya, maka
dalam waktu 7 (tujuh) hari sesudahnya
wakil panitera melalui panitera menyampaikan berkas perkara banding
kepada Ketua Pengadilan Tinggi Agama dengan buku nomor register serta
dilengkapi formulir yang diperlukan berkas itu dan Ketua Pengadilan
Tinggi Agama menetapkan majelis hakim serta panitera pengganti yang akan
menyidangkan dan menyelesaikan perkara tersebut.
Meja III
Meja III mempunyai tugas sebagai
berikut:
1.
Menyerahkan
salinan putusan Pengadilan
Agama atau Pengadilan Tinggi Agama atau Mahkamah Agung kepada yang
berkepentingan.
2.
Menyerahkan
salinan penetapan kepada yang berkepentingan.
3.
Menerima
Memori atau Kontra Memori banding, Memori atau Kontra Memori Kasasi,
jawaban atau tanggapan peninjauan kembali dan lain-lain.
4. Menyusun atau menjahit atau mempersiapkan
berkas.
Khusus bagi PTA, Meja III bertugas:
1.
Menyelenggarakan
penataan arsip perkara atau dokumen sesuai dengan prosedur tetap (Protap).
2.
Mempersiapkan
data-data perkiraan dan pembuatan laporan statistik.
B. ADMINISTRASI PERKARA BANDING
Pada
hakikatnya, kewenangan Pengadilan Tinggi Agama mengadili perkara perdata dalam
tingkat banding adalah kewenangan “memeriksa ulang” kembali suatu perkara yang
telah diputus oleh Pengadilan Agama sebagai peradilan tingkat pertama.
Pemeriksaan yang dilakukan oleh Pengadilan Tinggi Agama adalah pemeriksaan
secara keseluruhan perkara yang dimintakan banding tersebut. Putusan yang telah
dijatuhkan Pengadilan Agama diteliti dan diperiksa ulang mulai dari awal sampai
dijatuhkan Putusan oleh Pengadilan Tinggi Agama. Hal ini dapat dilihat antara
lain dalam putusan Mahkamah Agung RI Nomor 951 K/Sip/1973 tanggal 9 Oktober
1975 yang mengesahkan bahwa seharusnya hakim banding mengulang memeriksa
kembali perkara dalam keseluruhannya. Begitu juga putusan Mahkamah Agung RI
Nomor 194 K/Sip/1975 tanggal 30 November 1975 mengesahkan bahwa dalam peradilan
tingkat banding, Peradilan Tinggi seharusnya memeriksa bagian konpensi dan
rekonpensi yang telah diputus oleh Pengadilan Negeri dalam wilayah hukumnya.
a. Prosedur Banding
Bagi
pihak yang tidak puas terhadap putusan Pengadilan Agama dapat mengajukan
permohonan banding ke Pengadilan Tinggi Agama melalui Panitera Pengadilan Agama
yang memutuskan perkara.
Ketentuan
batas waktu pengajuan banding adalah 14 (empat belas) hari setelah Putusan
Pengadilan Agama dijatuhkan atau diberitahukan secara sah kepada para pihak
apabila pada saat dijatuhkan putusan tidak hadir.
Prosedur pengajuan permohonan
banding adalah:
1.
Diajukan
dalam batas waktu 14 (empat belas) hari setelah Putusan Pengadilan Agama
dijatuhkan atau diberitahukan secara sah kepada para pihak apabila pada saat
dijatuhkan putusan tidak hadir.
2.
Apabila
telah melewati ketentuan 14 (empat belas) hari, Panitera tidak boleh menolak
permohonan banding itu, tetapi dibuat catatan.
3.
Melunasi
Panjar Biaya Banding yang dibuktikan dengan SKUM yang dibuat oleh
Kasir.
4.
Apabila
permohonan banding yang miskin (prodeo), maka Pengadilan Agama
terlebih dahulu memeriksa kemiskinan orang tersebut dan dibuatkan berita acara
yang dikirimkan ke Pengadilan Tinggi Agama. Setelah Pengadilan Tinggi Agama
menetapkan tentang prodeo, maka penetapan tersebut dikirim ke Pengadilan
Agama. Apabila penetapan dikabulkan maka diproses secara prodeo dan jika
ditolak maka pemohon banding diwajibkan membayar ongkos perkara.
5.
Panitera
membuat Akta Permohonan Banding. Terhadap permohonan yang melebihi 14 (empat
belas) hari Panitera harus membuat surat keterangan.
6.
Dalam
waktu 7 (tujuh) hari setelah permohonan banding diterima, kepada pihak lawan
(terbanding) harus diberitahu adanya permohonan banding yang dinyatakan dengan
akta pemberitahuan permohonan banding.
7.
Apabila
pembanding atau tebanding menyerahkan memori atatu kontra memori banding, harus
dicatat tanggal penerimaannya selanjutnya salinanya disampaikan kepada pihak lawannya
masing-masing yang dinyatakan dengan akta penyerahan atau pemberitahuan
memori/kontra memori banding.
8.
Sebelum
berkas dikirim ke Pengadilan Tinggi Agama, kedua belah pihak diberikan
kesempatan untuk membaca, mempelajari dan memeriksa (inzage) berkas
perkara. Kejadian ini dituangkan pula dalam akta membaca, mempelajari, dan memeriksa
berkas perkara.
9.
Dalam
waktu 1 (satu) bulan sejak permohonan banding diterima, berkas perkara
bandingnya harus sudah dikirim ke Pengadilan Tinggi Agama.
10. Berkas yang dikirim ke Pengadilan
Tinggi Agama terdiri dari 2 (dua) berkas yaitu Bundel A dan Bundel B.
b. Tertib Berkas Perkara Banding
Bundel
A adalah himpunan surat-surat yang diawali dengan surat gugat dan semua
kegiatan atau proses penyidangan atau pemeriksaan perkara tersebut yang selalu
disimpan di Pengadilan Agama dimana perkara itu diputus.
Ada
dua sistem pemberkasan yang digunakan, yaitu:
1.
Sistem
Kelompok (berkas disusun secara kelompok berdasarkan jenis, seperti kelompok
relaas-relaas, berita acara, bukti-bukti, dan lain-lain).
2. Sistem Kronologis (berkas disusun
secara berurutan sesuai tanggal atau kejadian dari mulai surat gugatan sampai
berita acara terakhir).
Jika tidak ada banding, bundel A ini dinamakan “berkas
perkara” yang disusun sebagai berikut:
1.
Surat
gugatan
2.
Penetapan
Penunjukan Majelis Hakim (PMH)
3.
Penetapan
Hari Sidang (PHS)
4.
Relaas-reelas
panggilan
5.
Berita
acara sidang, termasuk replik, duplikat pihak-pihak yang berperkara yang
merupakan satu kesatuan dengan berita acara
6.
Surat
kuasa dari kedua belah pihak (bila memakai kuasa)
7.
Penetapan
sita conservatoir atau revindicatoir
8.
Berita
acara sita conservatoir atau revindicatoir
9.
Lampiran-lampiran
surat yang diajukan oleh kedua belah pihak (bila ada)
10.
Surat-surat
bukti penggugat
11.
Surat-surat
bukti tergugat
12.
Tanggapan
bukti-bukti Tergugat dari Penggugat
13.
Tanggapan
bukti-bukti Penggugat dari tergugat
14.
Berita
acara pemeriksaan setempat
15.
Gambar
situasi (kalau ada)
16. Surat-surat lain.
Bundel
B adalah himpunan surat-surat perkara yang diawali dengan permohonan banding,
kasasi dan peninjauan kembali serta semua kegiatan yang berkenaan dengan adanya
permohonan banding, kasasi dan peninjauan kembali. Bundel B yang berkaitan
dengan adanya permohonan banding, pada akhirnya akan menjadi arsip berkas
Pengadilan Tinggi Agama. Sedangkan bundel B yang berkaitan dengan adanya kasasi
dan peninjauan kembali pada akhirnya menjadi milik atau arsip perkara Mahkamah
Agung RI.
Adapun bundel B sehubungan dengan adanya perkara banding
yang diajukan kepada Pengadilan Tinggi Agama, maka hal-hal yang berhubungan
dengan banding itu terdiri dari:
1.
Salinan
putusan Pengadilan Agama
2.
Akta
Banding
3.
Pemberitahuan
penyerahan memori banding
4.
Pemberitahuan
penyerahan kontra memori banding
5.
Pemberitahuan
memberi kesempatan kepada pihak-pihak untuk melihat, membaca dan memeriksa (inzage)
berkas perkara
6.
Surat
kuasa khusus (kalau ada kuasa)
7. Tanda bukti pengiriman ongkos
perkara banding
C.
ADMINISTRASI
PERKARA KASASI
a.
Prosedur
Kasasi
Kasasi
adalah pembatalan putusan, hal tersebut merupakan salah satu tindakan Mahkamah
Agung sebagai pengawas tertinggi atas putusan pengadilan dibawahnya. Kebolehan
mengajukan kasasi terhadap penetapan atas permohonan merujuk secara analogis
kepada penjelasan Pasal 43 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1985, tentang Mahkamah
Agung, sebagaimana di ubah dengan UU No. 5 Tahun 2004.
Pasal
43 ayat (1) mengatakan, permohonan kasasi dapat di ajukan hanya jika permohonan
terhadap perkara telah menggunakan upaya hukum banding, kecuali ditenttukan
lain oleh undang-undang. Terhadap kalimat terakhir pasal ini, dirumuskan
penjelasan yang berbunyi:
Pengecualian dalam ayat (1) pasal
ini diadakan karena adanya putusan Pengadilan tingkat pertama yang oleh UU
tidak dapat dimohon banding.
Memperhatikan
penegasan penjelasan Pasal 43 ayat (1) tersebut, oleh karena penetapan yang
dijatuhkan permohonan tidak dapat dibanding maka upaya hukum yang dapat
ditempuh adalah kasasi berdasarkan Pasal 43 ayat (1) jo. Penjelasan Pasal 43
ayat (1).
Prosedur
pengajuan Kasasi adalah:
1.
Diajukan
dalam batas waktu 14 (empat belas) hari setelah menerima Putusan Pengadilan
Tinggi Agama.
2.
Pemohon
kasasi Membayar biaya kasasi sesuai ketentuan yang berlaku.
3.
Panitera
menerima permohonan kasasi yang masih dalam tenggang waktu 14 (empat belas)
hari setelah diterima putusan Pengadilan Tinggi Agama, lalu Panitera
memberitahukan kepada pihak lawan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sejak
diterimanya permohonan kasasi.
4.
Pemohon
kasasi membuat memori kasasi sebanyak 3 (tiga) rangkap dalam tenggang waktu 14
(empat belas) hari sejak permohonan kasasi dicatat dan didaftar. Panitera
membuat tanda terima penerimaan memori kasasi dan menyampaikan salinan memori
kasasi kepada pihak lawan dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari
dengan membuat tanda terima penyerahan.
5.
Pihak
lawan (Termohon kasasi) diberi kesempatan untuk menjawab atatu membuat jawaban
(kontra memori kasasi) dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak diterimanya
memori kasasi tersebut.
6.
Panitera
mengirimkan berkas permohonan kasasi ke Mahkamah Agung R.I. selambat-lambatnya
30 (tiga puluh) hari.
7.
Berkas
yang dikirim ke Mahkamah Agung terdiri dari 2 (dua) berkas yaitu Bundel A dan
Bundel B.
b.
Tertib
Berkas Perkara Kasasi
Bundel
berkas perkara kasasi terdiri dari bundel A dan bundel B. sebagaimana dalam
administrasi perkara banding, bundel A merupakan himpunan surat-surat yang
diawali dengan surat gugat dan semua kegiatan atau proses penyidangan,
pemeriksaan perkara tersebuut yang selalu disimpan di Pengadilan Agama. Bundel
A sama dengan perkara pada pemohon banding. Susunan berkasnya sebagai berikut:
1.
Relaas
pemberitahuan isi putusan banding kepada kedua pihak.
2.
Akta
permohonan Kasasi.
3.
Surat
kuasa khusus dari Pemohon kasasi (bila ada).
4.
Memori
kasasi atau surat keterangan apabila pemohon kasasi tidak mengajukan memori.
5.
Tanda
terima memori kasasi.
6.
Relaas
pemberitahuan kasasi kepada pihak lawan.
7.
Relaas
pemberitahuan memori kasasi kepada pihak lawan.
8.
Kontra
memori kasasi (bila ada).
9.
Relaas
pemberitahuan kontra memori kasasi kepada pihak lawan.
10.
Relaas
memberikan kesempatan pihak untuk inzage.
11.
Salinan
resmi Putusan Pengadilan Agama dan salinan resmi Putusan Pengadilan Tinggi
Agama.
12.
Tanda
bukti setoran biaya kasasi dari Bank.
D. ADMINISTRASI PERKARA PENINJAUAN
KEMBALI
a.
Prosedur
Peninjauan Kembali
Peninjauan
Kembali adalah upaya hukum luar biasa (request civil) yang merupakan upaya untuk memeriksa atau
memerintahkan kembali suatu putusan pengadilan (baik tingkat pertama, banding,
dan kasasi) yang telah berkekuatan hukkum tetap, guna membatalkannya.
Permohonan peninjauan kembali tidak terhalangi jalanya eksekusi atau putusan
yang telah berkekuatan hukum tetap.
Disebut
upaya hukum luar biasa karena upaya hukum peninjauan kembali adalah merupakan
suatu tindakan memeriksa lagi perkara yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap. Suatu perkara disebut telah mempunyai hukum tetap, apabila terhadap
perkara tersebut sudah tidak ada lagi upaya hukum, baik upaya hukum banding
maupun kasasi.
Alasan
upaya hukum peninjauan kembali
Berdasarkan
Pasal 21 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 jo Pasal 67 Undang-undang Nomor 14
Tahun 1985, alasan-alasan yang diperbolehkan mengajukan hukum Peninjauan
Kembali terhadap sutu perkara yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap adalah
sebagai berikut:
1.
Apabila
putusan didasarkan atas suatu kebohongan atau tipu muslihat dari pihak lawan
yang diketahui setelah perkara diputus, atau pada suatu keterangan saksi atau
surat-surat bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu.
2.
Apabila
setelah diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada
waktu perkara diperiksa tidak diketemukan.
3.
Apabila
telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari yang dituntut.
4.
Apabila
mengenai suatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan
sebab-sebabnya.
5.
Apabila
antara pihak-pihak yang sama, mengenai suatu soal yang sama, atas dasar yang
sama, oleh Pengadilan yang sama atau sama tingkatannya telah diberikan putusan
yang satu dengan lainnya saling bertentangan.
6.
Apabila
dalam suatu putusan terdapat ketentuan-ketentuan yang bertentangan dengan
lainnya.
Prosedur pengajuan Peninjauan
Kembali adalah:
1.
Diajukan
sendiri oleh pihak yang berperkara atau ahli warisnya atau seorang wakilnya
yang secara khusus dikuasakan untuk itu. Apabila selama proses PK pemohon
meninggal dunia, permohonan dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya.
2.
Dapat
diajukan 1 (satu) kali saja dengan tenggang waktu pengajuan adalah 180 (seratus
delapan puluh) hari setelah putusan atau penetapan mempunyai kekuatan hukum
tetap, atau sejak diketemukan bukti-bukti baru atau bukti-bukti adanya
penipuan.
3.
Membayar
biaya Peninjauan Kembali sesuai dengan ketentuan sebesar Rp.
75.000,- sesuai dengan Keputusan Ketua MARl No. K-lA/017/SK/VI/l992 Tanggal l0
Juni 1992.
4.
Panitera
setelah menerima permohonan PK dan biayanya, wajib membuat Akte Peninjauan
Kembali serta memasukkannya dalam buku register.
5.
Pantera
selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak permohonan PK
dicatat dan didaftar, memberitahukan kepada pihak lawan dengan
memberikan/mengirimkan salinan permohonan PK serta alasan-alasannya kepada
pihak lawan. Dan pihak lawan dapat memberikan jawaban dalam waktu 30 (tiga
puluh) hari setelah tanggal diterimanya salinan permohonan PK tersebut.
6.
Setelah
jawaban diterima oleh Pengadilan Agama, Panitera wajib membubuhi cap, tanggal,
hari diterimanya jawaban itu diatas surat jawaban.
7.
Panitera
mengirimkan berkas permohonan kasasi ke Mahkamah Agung R.I. selambat-lambatnya
30 (tiga puluh) hari.
8.
Berkas
yang dikirim ke Mahkamah Agung terdiri dari 2 (dua) berkas yaitu Bundel A dan
Bundel B.
b.
Tertib
Berkas Perkara Peninjauan Kembali
Berkas
perkara Peninjauan Kembali terdiri dari dua bundel yaitu bundel A yang
merupakan himpunan surat-surat yang diawali dengan surat gugatan dan semua
kegiatan atau proses pemeriksaan perkara tersebut yang selalu disimpan di
Pengadilan Agama. Bundel B yang berkaitan dengan adanya permohonan Peninjauan
Kembali akhirnya akan menjadi arsip berkas perkara di Mahkamah Agung RI.
Adapun
bundel B untuk permohonan Peninjauan Kembali, terdiri atas:
1.
Relaas
pemberitahuan isi putusan Mahkamah Agung (terutama kepada pemohon PK) atau
relaas pemberitahuan isi putusan banding bila ada.
2.
Permohonan
PK diajukan atas putusan Pengadilan Agama yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap dalam hal putusan diucapkan diluar hadir pihak berperkara.
3.
Akta
peninjauan kembali.
4.
Surat
permohonan PK dilampiri dengan surat bukti.
5.
Tanda
terima surat permohonan PK.
6.
Surat
kuasa khusus (bila ada).
7.
Surat
pemberitahuan dan penyerahan salinan permohonan PK kepada pihak lawan.
8.
Jawaban
surat permohonan PK.
9.
Salinan
Putusan Pengadilan Agama (copy yang dilegalisir oleh Panitera).
10.
Salinan
Putusan Pengadilan Tinggi Agama (copy yang dilegalisir oleh Panitera).
11.
Salinan
Putusan Mahkamah Agung RI (copy yang dilegalisir oleh Panitera).
12.
Tanda
bukti setoran dari Bank.
13. Surat-surat lain yang mungkin ada.
Kelengkapan administrasi permohonan
Peninjauan Kembali sebagaimana tersebut diatas (bundel A dan B) dijilid dengan
rapi sesuai dengan susunan kronologis. Selanjutnya dikirim ke Mahkamah Agung RI
untuk kepentingan pemeriksaan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
KESIMPULAN
Ketika seseorang ingin berurusan di
Kantor Pengadilan Agama ada prosedur-prosedur yang harus dipenuhi, supaya
gugatan atau permohonan perkara dapat diterima, begitu juga halnya dengan upaya
hukum Banding, kasasi dan peninjauan kembali. Diantara prosedur-prosedur itu
adalah:
Ø Prosedur penerimaan perkara
Ø Prosedur penerimaan permohonan
banding
Ø Prosedur penerimaan permohonan
kasasi
Ø Prosedur penerimaan permohonan
peninjauan kembali
DAFTAR PUSTAKA
Manan. Abdul. dkk, Penerapan dan
Pelaksanaan Pola Pembinaan dan Pengendalian Administrasi Kepaniteraan,
(Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama: Mahkamah Agung Republik Indonesia).
Pedoman Pelaksanaan
Tugas dan Administrasi Peradilan Agama (Mahkamah Agung RI, Direktorat jenderal
Badan Peradilan Agama).
Wulan susantio. Retno,
Iskandar Oeripkartawanita, Hukum acara perdata dalam teori dan praktek,
Jakarta: Kencana, 2008.
Retno Wulan Susantio,
Iskandar Oeripkartawanita, Hukum acara perdata dalam teori dan praktek,
(Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 310
Yaitu, putusan
yang bersifat menetapkan, menerangkan saja.
Pedoman
Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama (Mahkamah Agung RI,
Direktorat jenderal Badan Peradilan Agama), hlm. 15
Abdul Manan
dkk, Penerapan dan Pelaksanaan Pola Pembinaan dan Pengendalian Administrasi
Kepaniteraan, (Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama: Mahkamah Agung
Republik Indonesia), hlm. 36-39
Komentar