Langsung ke konten utama

Unggulan

skenario sidang mediasi

Penetapan Penunjukan Mediator : PENETAPAN Nomor : 001/Pdt.G/2015/PS.SNC. Ketua Majelis Pengadilan Semu Syekh Nurjati Cirebon ; Membaca surat gugatan tertanggal 18 Maret 2015 Nomor : 001/Pdt.G/2015/PS.SNC. dalam perkara antara : ROSINAH BINTI VALENTINO ROSSID , sebagai Penggugat ; Melawan : NAHRUL BIN HAYAT , sebagai Tergugat ; Membaca, Penetapan Ketua Pengadilan Semu Syekh Nurjati Cirebon tertanggal 18 Maret 2015 Nomor : 001/Pdt.G/2015/PS.SNC. tentang Penunjukan Majelis Hakim; Membaca, Penetapan Ketua Majelis Hakim Pengadilan Semu Syekh Nurjati Cirebon tertanggal 18 Maret 2015 Nomor : 001/Pdt.G/2015/PS.SNC. tentang Penetapan Hari Sidang ; Menimbang, bahwa pada hari sidang yang telah ditentukan Penggugat dan Tergugat hadir di persidangan ; Menimbang, bahwa dalam usaha mendamaikan para pihak sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 130 HIR/154 RBg dan Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, Ketua Majlis Hakim menerang...

administrasi dalam Peradilan Agama

BAB I
PENDAHULUAN


A.    LATAR BELAKANG
Sebagai warga negara yang dilandasi oleh hukum, maka sudah semestinya setiap tingkah laku kita harus sesuai dengan norma-norma ataupun hukum yang berlaku. Di setiap tindak tanduk kita sehari-hari, kita tidak bisa lepas dari aturan. Ketika kita membuat suatu pelanggaran, maka kita harus berhadapan dengan hukum.
Begitu juga ketika sedang berperkara di pengadilan, ada aturan-aturan tertentu yang mesti dijalani, sehingga perkara tersebut bisa mendapat kepastian hukum. Maka kita harus mengetahui apa-apa saja aturan-aturan tersebut, agar mudah nantinya apabila kita sedang berhadapan dengan perkara yang melibatkan kita ke pengadilan.

B.     RUMUSAN MASALAH
Adapun masalah-masalah yang akan di bahas didalam makalah ini adalah mengenai administrasi dalam Peradilan Agama, yang meliputi sebagai berikut:
1.        Administrasi perkara
2.        Administrasi Perkara banding
3.        Administrasi Perkara kasasi
4.        Dan Administrasi Perkara Peninjauan Kembali








BAB II
PEMBAHASAN


A.    ADMINISTRASI PERKARA PENGADILAN AGAMA
Prosedur Penerimaan Perkara Di Pengadilan Agama
Sebelum sidang dapat dilakukan, pertama-tama kita harus melewati fase yang pertama, yaitu mengajukan perkara ke pengadilan, dalam hal ini adalah dengan mengajukan surat gugatan atau permohonan kepada beberapa meja.
Jadi, perkara itu ada dua, yaitu gugatan dan permohonan. Perbedaannya adalah:[1] dalam perkara gugatan ada suatu sengketa atau konflik yang harus diselesaikan oleh pengadilan. Ada pihak yang merasa haknya telah dilanggar, tetapi, orang yang “dirasa” telah melanggar haknya itu tidak mau dengan sukarela melakukan sesuatu yang diminta itu. Maka di perlukan keputusan hakim untuk menentukan siapakah yang benar dan salah. Sedangkan dalam perkara yang disebut permohonan tidak ada sengketa, dalam hal ini seorang hakim hanya sekedar memberikan jasanya sebagai seorang tenaga tata usaha negara. Hakim tersebut mengeluarkan suatu penetapan yang lazimnya dikenal dengan putusan declaratoir.[2]
Pada prinsipnya, prosedur penerimaan perkara di Pengadilan Agama ditentukan dengan model unit, yaitu Meja I, Meja II dan Meja III yang masing-masing unit mempunyai tugas dan tanggung jawab sendiri-sendiri tetapi berkaitan satu dengan yang lain. Pelaksanaan tugas unit-unit ini dilakukan oleh Sub Kepaniteraan Perkara di bawah pengamatan langsung Wakil Panitera.
Pengertian meja tersebut merupakan kelompok pelaksana teknis yang harus dilalui oleh suatu perkara di Pengadilan Agama, mulai dari penerimaan sampai perkara tersebut diselesaikan.[3]
Meja I
Meja I mempunyai tugas sebagai berikut:
1.      Menerima gugatan, permohonan, perlawanan (verzet), pernyataan banding, kasasi dan peninjauan kembali, eksekusi, penjelasan dan penaksiran biaya perkara dan biaya eksekusi.
2.      Membuat Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM) dalam rangkap 3 (tiga) dan menyerahkan SKUM tersebut kepada calon penggugat atau pemohon.
3.      Menyerahkan kembali surat gugatan atau permohonan kepada calon penggugat atau pemohon.
4.      Menaksir biaya perkara sebagai ditetapkan dalam pasal 121 HIR/145 Rbg. yang kemudian dinyatakan dalam SKUM. Dalam perkara cerai talak dalam menaksir biaya-biaya perkara diperhitungkan juga untuk keperluan pemanggilan sidang ikrar talak.
5.      Penerimaan perkara perlawanan (verzet) hendaknya dibedakan antara perlawanan (verzet) terhadap putusan verstek dengan perlawanan pihak ketiga (derden verzet).
6.      selain tugas di atas, maka meja I berkewajiban memberikan penjelasan yang dianggap perlu berkenaan dengan perkara yang diajukan dan dalam memberi penjelasan dihindari dialog yang tidak perlu berdasarkan Surat Ketua Muda Mahkamah Agung RI Urusan Lingkungan Peradilan Agama tanggal 11 Januari 1994 Nomor : MA/Kumdil/012/I/K/1994.
Khusus bagi Pengadilan Tinggi Agama, Meja I bertugas:
1.      Menerima berkas perkara banding.
2.      Menerima memori, kontra memori banding yang langsung disampaikan ke PTA yang disampaikan pembanding atau terbanding.
3.      Dalam menerima berkas perkara banding dari Pengadilan Agama agar diteliti apakah sudah terlampir bukti pengiriman biaya banding, apabila belum terlampir bukti pengiriman maka perkara belum dapat didaftar.
4.      Apabila berkas banding sudah disertai dengan bukti pengiriman biaya, maka perkara didaftar dengan meneruskan kepada pemegang kas untuk didaftar dan diberi nomor perkara.
5.      Setelah berkas didaftar dan diberi nomor, pada hari itu juga berkas diteruskan kepada Meja II.
6.      Bagi perkara banding yang diajukan dengan Cuma-Cuma (Prodeo) maka berkas perkara langsung diteruskan kepada Meja II tanpa melalui pemegang Kas dan tidak diberi nomor sebelum ada penetapan majelis atau hakim PTA bahwa perkara tersebut dikabulkan untuk beracara dengan Cuma-Cuma (prodeo).
Kas:
1.      Pemegang kas merupakan bagian dari Meja I.
2.      Pemegang kas menerima pembayaran uang panjar perkara sebagaimana tersebut dalam SKUM.
3.      Pemegang kas melakukan penerimaan uang panjar perkara atau biaya eksekusi dan membukukan dalam buku jurnal yang terdiri atas :
a)      KI.PA 1/p           : untuk perkara permohonan.
b)      KI.PA 1/g           : untuk perkara gugatan.
c)      KI.PA 2              : untuk perkara banding.
d)     KI.PA 3              : untuk perkara kasasi.
e)      KI.PA 4              : untuk perkara peninjauan kembali.
f)       KI.PA 5              : untuk permohonan eksekusi
Khusus untuk Pengadilan Tinggi Agama, buku Jurnal hanya 1 (satu) buah buku KII.PA1.
4.      Seluruh kegiatan pengeluaran perkara harus melalui pemegang kas dan dicatat secara tertib dalam Buku Induk yang bersangkutan.
5.      Pemegang kas harus tersedia uang kontan dan materai putusan.
6.      Semua pengeluaran uang perkara harus melalui pemegang kas, dan pemegang kas wajib mencatat dengan tertib segala kegiatan pengeluaran uang tersebut dalam buku jurnal yang bersangkutan.
7.      Biaya materai dicatat sesuai tanggal diputusnya perkara.
8.      Pemegang kas menandatangani SKUM, membubuhi Nomor urut perkara dan tanggal penerimaan perkara dalam SKUM dan dalam surat gugat atatu permohonan sebagaimana tersebut dalam buku jurnal yang berkaitan dengan perkara yang diajukan.
9.      Pemegang kas mengembalikan asli serta tindasan pertama SKUM beserta surat gugat atau permohonan kepada calon penggugat atau pemohon.
10.  Terhadap perkara prodeo tetap dibuatkan SKUM sebesar Rp. 00,- dan SKUM tersebut didaftarkan pada pemegang kas.
11.  Setiap pemegang kas di Pengadilan Agama harus menyiapkan 2 (dua) buah stempel penerimaan perkara, yaitu:
a)      Perkara Gugatan:
Nomor      :   ……./Pdt.G/201../PA…
Tanggal   :

b)      Perkara Permohonan:
Nomor       :   ……./Pdt.P/201../PA…
Tanggal    :

c) Untuk Pengadilan Tinggi Agama menyiapkan stempel:
Nomor     :  ……./Pdt.G/201../PTA…
Tanggal  :
 



Catatan:
Nomor ……../Pdt.G/200../PA….. (…..= Nomor urut, 201.. = tahun, PA….= Kode Pengadilan Agama.

Meja II
Meja II mempunyai tugas sebagai berikut:
1.      Menerima   surat  gugatan, perlawanan, atau permohonan  dari  calon Penggugat, Pelawan, atau Pemohon dalam rangkap sebanyak jumlah tergugat atau terlawan ditambah 3 rangkap untuk majelis hakim.
2.      Menerima tindasan pertama SKUM dari calon Penggugat, pelawan atau pemohon.
3.      Mendaftar atau mencatat surat gugatan atau permohonan  dalam  register  yang   bersangkutan serta member nomor register pada surat gugatan atau permohonan tersebut.
4.      Nomor register adalah nomor pendaftaran yang diberikan kasir.
5.      Asli surat gugatan atau permohonan dimasukkan dalam map khusus dengan melampirkan tindasan pertama SKUM dan surat-surat yang berhubungan dengan gugatan atau permohonan (blanko Penunjukan Majelis Hakim (PMH), blanko Penetapan Hari Sidang (PHS)).
            Selanjutkan diserahkan kepada wakil panitera untuk selanjutnya berkas gugatan atau permohonan tersebut disampaikan kepada Ketua Pengadilan Agama melalui Panitera.
6.      Mendaftar dan mencatat  putusan Pengadilan Agama atau Pengadilan   Tinggi Agama atau Mahkamah Agung dalam buku register yang bersangkutan.
Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah:
1.      Mempelajari kelengkapan persyaratan dan mencatat semua data-data perkara yang baru diterimanya dalam buku penerimaan tentang perkara, kemudian menyampaikan kepada panitera dengan melampirkan semua formulir-formulir yang berkaitan dengan pemeriksaan perkara.
2.      Selambat-lambatnya pada hari kedua setelah surat-surat gugat diterima di bagian kepaniteraan, Panitera harus sudah menyerahkan kepada Ketua Pengadilan Agama yang selanjutnya Ketua Pengadilan Agama mencatat dalam buku ekspedisi yang ada padanya dan mempelajarinya. Kemudian Ketua Pengadilan Agama menunjuk majelis hakim yang menyidangkan dengan mengisi Penetapan Majelis Hakim (PMH) yang harus dilakukan selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari sejak gugatan atau permohonan didaftarkan. Dan berkas tersebut diserahan kembali kepada Panitera.
3.      Panitera menyerahkan berkas perkara yang diterima dari Ketua Pengadilan Agama atau Wakil Ketua kepada Majelis Hakim yang telah ditunjuk.
4.      Panitera menunjuk seorang atau lebih panitera penganti untuk diperbantukan kepada Majelis Hakim yang bersangkutan.
5.      Setelah majelis hakim menerima berkas perkara dari Ketua atau wakil ketua, maka Ketua majelis harus membuat Penetapan Hari Sidang (PHS).
6.      Bagi perkara banding yang diajukan dengan Cuma-Cuma (Prodeo) maka berkas perkara langsung diteruskan kepada Meja II tanpa melalui pemegang Kas dan tidak diberi nomor sebelum ada penetapan majelis atau hakim PTA bahwa perkara tersebut dikabulkan untuk beracara dengan Cuma-Cuma (prodeo).
Catatan:
Berdasarkan ketentuan yang termuat dalam pasal 68 dan pasal 80 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 disebutkan bahwa untuk perkara cerai talak dan cerai gugat dilakukan oleh majelis hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari  setelah berkas atau surat permohonan talak atau surat gugatan perceraian didaftarkan di kepaniteraan.
      Khusus Pengadilan Tinggi Agama Meja II bertugas:
1.      Mendaftarkan atau mencatat berkas perkara banding sesuai dengan tanggal dan nomor perkara yang didaftar dan diberi nomor oleh pemegang kas kedalam buku register perkara, memberi nomor perkara padsa sampul berkas perkara yang bersangkutan.
2.      Memberi atau meneliti  kelengkapan  berkas  perkara  sesuai  dengan  daftar   isi surat pengantar. Bila terdapat kekurangan berkas, agar diminta kepada Pengadilan Agama yang bersangkutan.
3.      Setelah lengkap  semuanya, maka dalam waktu   7 (tujuh)   hari   sesudahnya  wakil panitera  melalui panitera menyampaikan berkas perkara banding kepada Ketua Pengadilan Tinggi Agama dengan buku nomor register serta dilengkapi formulir yang diperlukan berkas itu  dan Ketua Pengadilan Tinggi Agama menetapkan majelis hakim serta panitera pengganti yang akan menyidangkan dan menyelesaikan perkara tersebut.
Meja III
Meja III mempunyai tugas sebagai berikut:
1.      Menyerahkan   salinan   putusan   Pengadilan   Agama atau Pengadilan Tinggi Agama atau Mahkamah Agung kepada yang berkepentingan.
2.      Menyerahkan salinan penetapan kepada yang berkepentingan.
3.      Menerima   Memori atau Kontra Memori banding, Memori atau Kontra Memori Kasasi, jawaban atau tanggapan peninjauan kembali dan lain-lain.
4.      Menyusun atau menjahit atau mempersiapkan berkas.
Khusus bagi PTA, Meja III bertugas:
1.      Menyelenggarakan penataan arsip perkara atau dokumen sesuai dengan prosedur tetap (Protap).
2.      Mempersiapkan data-data perkiraan dan pembuatan laporan statistik.

B.     ADMINISTRASI PERKARA BANDING
Pada hakikatnya, kewenangan Pengadilan Tinggi Agama mengadili perkara perdata dalam tingkat banding adalah kewenangan “memeriksa ulang” kembali suatu perkara yang telah diputus oleh Pengadilan Agama sebagai peradilan tingkat pertama. Pemeriksaan yang dilakukan oleh Pengadilan Tinggi Agama adalah pemeriksaan secara keseluruhan perkara yang dimintakan banding tersebut. Putusan yang telah dijatuhkan Pengadilan Agama diteliti dan diperiksa ulang mulai dari awal sampai dijatuhkan Putusan oleh Pengadilan Tinggi Agama. Hal ini dapat dilihat antara lain dalam putusan Mahkamah Agung RI Nomor 951 K/Sip/1973 tanggal 9 Oktober 1975 yang mengesahkan bahwa seharusnya hakim banding mengulang memeriksa kembali perkara dalam keseluruhannya. Begitu juga putusan Mahkamah Agung RI Nomor 194 K/Sip/1975 tanggal 30 November 1975 mengesahkan bahwa dalam peradilan tingkat banding, Peradilan Tinggi seharusnya memeriksa bagian konpensi dan rekonpensi yang telah diputus oleh Pengadilan Negeri dalam wilayah hukumnya.[4]

a.      Prosedur Banding
Bagi pihak yang tidak puas terhadap putusan Pengadilan Agama dapat mengajukan permohonan banding ke Pengadilan Tinggi Agama melalui Panitera Pengadilan Agama yang memutuskan perkara.
Ketentuan batas waktu pengajuan banding adalah 14 (empat belas) hari setelah Putusan Pengadilan Agama dijatuhkan atau diberitahukan secara sah kepada para pihak apabila pada saat dijatuhkan putusan tidak hadir.
Prosedur pengajuan permohonan banding adalah:
1.      Diajukan dalam batas waktu 14 (empat belas) hari setelah Putusan Pengadilan Agama dijatuhkan atau diberitahukan secara sah kepada para pihak apabila pada saat dijatuhkan putusan tidak hadir.
2.      Apabila telah melewati ketentuan 14 (empat belas) hari, Panitera tidak boleh menolak permohonan banding itu, tetapi dibuat catatan.
3.      Melunasi   Panjar Biaya Banding yang dibuktikan dengan SKUM yang dibuat oleh Kasir.
4.      Apabila permohonan banding yang miskin (prodeo), maka Pengadilan Agama terlebih dahulu memeriksa kemiskinan orang tersebut dan dibuatkan berita acara yang dikirimkan ke Pengadilan Tinggi Agama. Setelah Pengadilan Tinggi Agama menetapkan tentang prodeo, maka penetapan tersebut dikirim ke Pengadilan Agama. Apabila penetapan dikabulkan maka diproses secara prodeo dan jika ditolak maka pemohon banding diwajibkan membayar ongkos perkara.
5.      Panitera membuat Akta Permohonan Banding. Terhadap permohonan yang melebihi 14 (empat belas) hari Panitera harus membuat surat keterangan.
6.      Dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah permohonan banding diterima, kepada pihak lawan (terbanding) harus diberitahu adanya permohonan banding yang dinyatakan dengan akta pemberitahuan permohonan banding.
7.      Apabila pembanding atau tebanding menyerahkan memori atatu kontra memori banding, harus dicatat tanggal penerimaannya selanjutnya salinanya disampaikan kepada pihak lawannya masing-masing yang dinyatakan dengan akta penyerahan atau pemberitahuan memori/kontra memori banding. 
8.      Sebelum berkas dikirim ke Pengadilan Tinggi Agama, kedua belah pihak diberikan kesempatan untuk membaca, mempelajari dan memeriksa (inzage) berkas perkara. Kejadian ini dituangkan pula dalam akta membaca, mempelajari, dan memeriksa berkas perkara.
9.      Dalam waktu 1 (satu) bulan sejak permohonan banding diterima, berkas perkara bandingnya harus sudah dikirim ke Pengadilan Tinggi Agama.
10.  Berkas yang dikirim ke Pengadilan Tinggi Agama terdiri dari 2 (dua) berkas yaitu Bundel A dan Bundel B.

b.      Tertib Berkas Perkara Banding
Bundel A adalah himpunan surat-surat yang diawali dengan surat gugat dan semua kegiatan atau proses penyidangan atau pemeriksaan perkara tersebut yang selalu disimpan di Pengadilan Agama dimana perkara itu diputus.
Ada dua sistem pemberkasan yang digunakan, yaitu:
1.      Sistem Kelompok (berkas disusun secara kelompok berdasarkan jenis, seperti kelompok relaas-relaas,  berita acara, bukti-bukti, dan lain-lain).
2.      Sistem Kronologis (berkas disusun secara berurutan sesuai tanggal atau kejadian dari mulai surat gugatan sampai berita acara terakhir).
Jika tidak ada banding, bundel A ini dinamakan “berkas perkara” yang disusun sebagai berikut:[5]
1.      Surat gugatan
2.      Penetapan Penunjukan Majelis Hakim (PMH)
3.      Penetapan Hari Sidang (PHS)
4.      Relaas-reelas panggilan
5.      Berita acara sidang, termasuk replik, duplikat pihak-pihak yang berperkara yang merupakan satu kesatuan dengan berita acara
6.      Surat kuasa dari kedua belah pihak (bila memakai kuasa)
7.      Penetapan sita conservatoir atau revindicatoir
8.      Berita acara sita conservatoir atau revindicatoir
9.      Lampiran-lampiran surat yang diajukan oleh kedua belah pihak (bila ada)
10.  Surat-surat bukti penggugat
11.  Surat-surat bukti tergugat
12.  Tanggapan bukti-bukti Tergugat dari Penggugat
13.  Tanggapan bukti-bukti Penggugat dari tergugat
14.  Berita acara pemeriksaan setempat
15.  Gambar situasi (kalau ada)
16.  Surat-surat lain.
Bundel B adalah himpunan surat-surat perkara yang diawali dengan permohonan banding, kasasi dan peninjauan kembali serta semua kegiatan yang berkenaan dengan adanya permohonan banding, kasasi dan peninjauan kembali. Bundel B yang berkaitan dengan adanya permohonan banding, pada akhirnya akan menjadi arsip berkas Pengadilan Tinggi Agama. Sedangkan bundel B yang berkaitan dengan adanya kasasi dan peninjauan kembali pada akhirnya menjadi milik atau arsip perkara Mahkamah Agung RI.
Adapun bundel B sehubungan dengan adanya perkara banding yang diajukan kepada Pengadilan Tinggi Agama, maka hal-hal yang berhubungan dengan banding itu terdiri dari: [6]
1.      Salinan putusan Pengadilan Agama
2.      Akta Banding
3.      Pemberitahuan penyerahan memori banding
4.      Pemberitahuan penyerahan kontra memori banding
5.      Pemberitahuan memberi kesempatan kepada pihak-pihak untuk melihat, membaca dan memeriksa (inzage) berkas perkara
6.      Surat kuasa khusus (kalau ada kuasa)
7.      Tanda bukti pengiriman ongkos perkara banding

C.    ADMINISTRASI PERKARA KASASI
a.      Prosedur Kasasi
Kasasi adalah pembatalan putusan, hal tersebut merupakan salah satu tindakan Mahkamah Agung sebagai pengawas tertinggi atas putusan pengadilan dibawahnya. Kebolehan mengajukan kasasi terhadap penetapan atas permohonan merujuk secara analogis kepada penjelasan Pasal 43 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1985, tentang Mahkamah Agung, sebagaimana di ubah dengan UU No. 5 Tahun 2004.
Pasal 43 ayat (1) mengatakan, permohonan kasasi dapat di ajukan hanya jika permohonan terhadap perkara telah menggunakan upaya hukum banding, kecuali ditenttukan lain oleh undang-undang. Terhadap kalimat terakhir pasal ini, dirumuskan penjelasan yang berbunyi:
Pengecualian dalam ayat (1) pasal ini diadakan karena adanya putusan Pengadilan tingkat pertama yang oleh UU tidak dapat dimohon banding.
Memperhatikan penegasan penjelasan Pasal 43 ayat (1) tersebut, oleh karena penetapan yang dijatuhkan permohonan tidak dapat dibanding maka upaya hukum yang dapat ditempuh adalah kasasi berdasarkan Pasal 43 ayat (1) jo. Penjelasan Pasal 43 ayat (1).[7]
Prosedur pengajuan Kasasi adalah:
1.      Diajukan dalam batas waktu 14 (empat belas) hari setelah menerima Putusan Pengadilan Tinggi Agama.
2.      Pemohon kasasi Membayar biaya kasasi sesuai ketentuan yang berlaku.
3.      Panitera menerima permohonan kasasi yang masih dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari setelah diterima putusan Pengadilan Tinggi Agama, lalu Panitera memberitahukan kepada pihak lawan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sejak diterimanya permohonan kasasi.
4.      Pemohon kasasi membuat memori kasasi sebanyak 3 (tiga) rangkap dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari sejak permohonan kasasi dicatat dan didaftar. Panitera membuat tanda terima penerimaan memori kasasi dan menyampaikan salinan memori kasasi kepada pihak lawan dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari dengan membuat tanda terima penyerahan.
5.      Pihak lawan (Termohon kasasi) diberi kesempatan untuk menjawab atatu membuat jawaban (kontra memori kasasi) dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak diterimanya memori kasasi tersebut.
6.      Panitera mengirimkan berkas permohonan kasasi ke Mahkamah Agung R.I. selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari.
7.      Berkas yang dikirim ke Mahkamah Agung terdiri dari 2 (dua) berkas yaitu Bundel A dan Bundel B.

b.      Tertib Berkas Perkara Kasasi
Bundel berkas perkara kasasi terdiri dari bundel A dan bundel B. sebagaimana dalam administrasi perkara banding, bundel A merupakan himpunan surat-surat yang diawali dengan surat gugat dan semua kegiatan atau proses penyidangan, pemeriksaan perkara tersebuut yang selalu disimpan di Pengadilan Agama. Bundel A sama dengan perkara pada pemohon banding. Susunan berkasnya sebagai berikut: [8]
1.      Relaas pemberitahuan isi putusan banding kepada kedua pihak.
2.      Akta permohonan Kasasi.
3.      Surat kuasa khusus dari Pemohon kasasi (bila ada).
4.      Memori kasasi atau surat keterangan apabila pemohon kasasi tidak mengajukan memori.
5.      Tanda terima memori kasasi.
6.      Relaas pemberitahuan kasasi kepada pihak lawan.
7.      Relaas pemberitahuan memori kasasi kepada pihak lawan.
8.      Kontra memori kasasi (bila ada).
9.      Relaas pemberitahuan kontra memori kasasi kepada pihak lawan.
10.  Relaas memberikan kesempatan pihak untuk inzage.
11.  Salinan resmi Putusan Pengadilan Agama dan salinan resmi Putusan Pengadilan Tinggi Agama.
12.  Tanda bukti setoran biaya kasasi dari Bank.

D.    ADMINISTRASI PERKARA PENINJAUAN KEMBALI
a.      Prosedur Peninjauan Kembali
Peninjauan Kembali adalah upaya hukum luar biasa (request civil)  yang merupakan upaya untuk memeriksa atau memerintahkan kembali suatu putusan pengadilan (baik tingkat pertama, banding, dan kasasi) yang telah berkekuatan hukkum tetap, guna membatalkannya. Permohonan peninjauan kembali tidak terhalangi jalanya eksekusi atau putusan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Disebut upaya hukum luar biasa karena upaya hukum peninjauan kembali adalah merupakan suatu tindakan memeriksa lagi perkara yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Suatu perkara disebut telah mempunyai hukum tetap, apabila terhadap perkara tersebut sudah tidak ada lagi upaya hukum, baik upaya hukum banding maupun kasasi.[9]
Alasan upaya hukum peninjauan kembali
Berdasarkan Pasal 21 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 jo Pasal 67 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985, alasan-alasan yang diperbolehkan mengajukan hukum Peninjauan Kembali terhadap sutu perkara yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap adalah sebagai berikut:[10]
1.      Apabila putusan didasarkan atas suatu kebohongan atau tipu muslihat dari pihak lawan yang diketahui setelah perkara diputus, atau pada suatu keterangan saksi atau surat-surat bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu.
2.      Apabila setelah diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak diketemukan.
3.      Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari yang dituntut.
4.      Apabila mengenai suatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya.
5.      Apabila antara pihak-pihak yang sama, mengenai suatu soal yang sama, atas dasar yang sama, oleh Pengadilan yang sama atau sama tingkatannya telah diberikan putusan yang satu dengan lainnya saling bertentangan.
6.      Apabila dalam suatu putusan terdapat ketentuan-ketentuan yang bertentangan dengan lainnya.[11]

Prosedur pengajuan Peninjauan Kembali adalah:
1.      Diajukan sendiri oleh pihak yang berperkara atau ahli warisnya atau seorang wakilnya yang secara khusus dikuasakan untuk itu. Apabila selama proses PK pemohon meninggal dunia, permohonan dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya.
2.      Dapat diajukan 1 (satu) kali saja dengan tenggang waktu pengajuan adalah 180 (seratus delapan puluh) hari setelah putusan atau penetapan mempunyai kekuatan hukum tetap, atau sejak diketemukan bukti-bukti baru atau  bukti-bukti adanya penipuan.
3.      Membayar biaya Peninjauan Kembali sesuai dengan ketentuan sebesar Rp. 75.000,- sesuai dengan Keputusan Ketua MARl No. K-lA/017/SK/VI/l992 Tanggal l0 Juni 1992.
4.      Panitera setelah menerima permohonan PK dan biayanya, wajib membuat Akte Peninjauan Kembali serta memasukkannya dalam buku register.
5.      Pantera selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak permohonan PK dicatat dan didaftar, memberitahukan kepada pihak lawan dengan memberikan/mengirimkan salinan permohonan PK serta alasan-alasannya kepada pihak lawan. Dan pihak lawan dapat memberikan jawaban dalam waktu 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal diterimanya salinan permohonan PK tersebut.
6.      Setelah jawaban diterima oleh Pengadilan Agama, Panitera wajib membubuhi cap, tanggal, hari diterimanya jawaban itu diatas surat jawaban.
7.      Panitera mengirimkan berkas permohonan kasasi ke Mahkamah Agung R.I. selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari.
8.      Berkas yang dikirim ke Mahkamah Agung terdiri dari 2 (dua) berkas yaitu Bundel A dan Bundel B.

b.      Tertib Berkas Perkara Peninjauan Kembali
Berkas perkara Peninjauan Kembali terdiri dari dua bundel yaitu bundel A yang merupakan himpunan surat-surat yang diawali dengan surat gugatan dan semua kegiatan atau proses pemeriksaan perkara tersebut yang selalu disimpan di Pengadilan Agama. Bundel B yang berkaitan dengan adanya permohonan Peninjauan Kembali akhirnya akan menjadi arsip berkas perkara di Mahkamah Agung RI.[12]
Adapun bundel B untuk permohonan Peninjauan Kembali, terdiri atas: [13]
1.      Relaas pemberitahuan isi putusan Mahkamah Agung (terutama kepada pemohon PK) atau relaas pemberitahuan isi putusan banding bila ada.
2.      Permohonan PK diajukan atas putusan Pengadilan Agama yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam hal putusan diucapkan diluar hadir pihak berperkara.
3.      Akta peninjauan kembali.
4.      Surat permohonan PK dilampiri dengan surat bukti.
5.      Tanda terima surat permohonan PK.
6.      Surat kuasa khusus (bila ada).
7.      Surat pemberitahuan dan penyerahan salinan permohonan PK kepada pihak lawan.
8.      Jawaban surat permohonan PK.
9.      Salinan Putusan Pengadilan Agama (copy yang dilegalisir oleh Panitera).
10.  Salinan Putusan Pengadilan Tinggi Agama (copy yang dilegalisir oleh Panitera).
11.  Salinan Putusan Mahkamah Agung RI (copy yang dilegalisir oleh Panitera).
12.  Tanda bukti setoran dari Bank.
13.  Surat-surat lain yang mungkin ada.
Kelengkapan administrasi permohonan Peninjauan Kembali sebagaimana tersebut diatas (bundel A dan B) dijilid dengan rapi sesuai dengan susunan kronologis. Selanjutnya dikirim ke Mahkamah Agung RI untuk kepentingan pemeriksaan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.





KESIMPULAN
Ketika seseorang ingin berurusan di Kantor Pengadilan Agama ada prosedur-prosedur yang harus dipenuhi, supaya gugatan atau permohonan perkara dapat diterima, begitu juga halnya dengan upaya hukum Banding, kasasi dan peninjauan kembali. Diantara prosedur-prosedur itu adalah:
Ø  Prosedur penerimaan perkara
Ø  Prosedur penerimaan permohonan banding
Ø  Prosedur penerimaan permohonan kasasi
Ø  Prosedur penerimaan permohonan peninjauan kembali














DAFTAR PUSTAKA

Harahap. Yahya, Hukum Acara Perdata, Cet. XI, Jakarta: Sinar Grafika, 2011.
Manan. Abdul. dkk, Penerapan dan Pelaksanaan Pola Pembinaan dan Pengendalian Administrasi Kepaniteraan, (Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama: Mahkamah Agung Republik Indonesia).
Manan. Abdul, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Cet. 5, Jakarta: Kencana, 2008.
Mahkamah Agung RI. Dirjen Badan Peradilan Agama, Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama, Edisi Revisi, 2010.
Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama (Mahkamah Agung RI, Direktorat jenderal Badan Peradilan Agama).
Wulan susantio. Retno, Iskandar Oeripkartawanita, Hukum acara perdata dalam teori dan praktek, Jakarta: Kencana, 2008.





[1] Retno Wulan Susantio, Iskandar Oeripkartawanita, Hukum acara perdata dalam teori dan praktek, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 310
[2] Yaitu, putusan yang bersifat menetapkan, menerangkan saja.
[3] Mahkamah Agung RI. Dirjen Badan Peradilan Agama, Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama, Edisi Revisi, 2010, hlm. 55
[4] Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Cet. 5, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 344
[5] Abdul Manan, Penerapan Hukum…, hlm. 346-347
[6] Abdul Manan, Penerapan Hukum…, hlm. 347
[7] Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Cet. XI, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hlm. 43
[8] Abdul Manan, Penerapan Hukum…, hlm. 354
[9] Abdul Manan, Penerapan Hukum…, hlm. 360
[10] Abdul Manan, Penerapan Hukum…, hlm. 361
[11] Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama (Mahkamah Agung RI, Direktorat jenderal Badan Peradilan Agama), hlm. 15
[12] Abdul Manan, Penerapan Hukum…, hlm. 363
[13] Abdul Manan dkk, Penerapan dan Pelaksanaan Pola Pembinaan dan Pengendalian Administrasi Kepaniteraan, (Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama: Mahkamah Agung Republik Indonesia), hlm. 36-39

Komentar

Postingan Populer