Segala puji bagi Allah SWT. yang
telah menciptakan manusia dan mengajarkan kepadanya bayan (cara menjelaskan kepada yang lain), menurunkan kepadanya
Al-Qur’an, dan menjadikan Al-Qur’an sebagai nasihat, obat, petunjuk, serta
rahmat bagi orang-orang yang beriman. Tidak ada keraguan dan tidak ada
kekhilafan di dalamnya. Dia menurunkan
Al-Qur’an sebagai penegak, hujjah, dan cahaya bagi orang-orang yang memiliki keyakinan.
Shalawat dan salam yang sempurna, semoga dilimpahkan kepada sebaik-baik makhluk
di antara golongan manusia dan jin, yang nurnya menerangi hati dan kubur
manusia, serta kedatangannya merupakan rahmat untuk seluruh alam, yaitu
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam. Semoga shalawat dan salam dilimpahkan kepada keluarga dan
para shahabatnya. Mereka adalah bintang-bintang hidayah dan penyebar
kitabullah. Shalawat dan salam semoga juga
dilimpahkan kepada orang-orang yang mengikuti mereka dengan penuh keimanan.
Berkat
rahmat dan inayah
Allah SWT,
penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Akal Sebagai Sumber Hukum Islam” ini
tepat pada waktunya.
Makalah ini kami
buat sebagai tugas yang dipersiapkan untuk memenuhi tugas kelompok Mata Kuliah Filsafat Hukum Islam. Setitik
harapan dari pemakalah, semoga
makalah ini dapat bermanfaat serta bisa menjadi wacana yang berguna.
Pemakalah berharap
agar para pembaca dapat memberikan kritik dan masukan yang positif serta saran-sarannya
untuk kesempurnaan makalah ini.
Akhirnya hanya kepada Allah SWT.
jualah, kami
memohon rahmat dan ridho-Nya .
Cirebon, 29 September 2015
Kelompok.VI
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................. i
DAFTAR ISI............................................................................................................. ii
AKAL SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM................................................... 1
A.
Latar Belakang................................................................................................ 1
B. Pandangan
Skripturalisme Hukum Islam........................................................ 2
C. Teori
Hukum Kodrat Islam dalam Masalah Tahsin dan Taqbih..................... 3
D. Hukum
Kodrat dalam Pemikiran Muhammad Abduh dan Ahmad Khan...... 8
Kesimpulan.................................................................................................................. 14
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................... 15
AKAL
SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM
A.
Latar Belakang
Hukum
Islam sebagi bagian yang tidak terpisahkan dari Islam. Ia merupakan panduan
bagi orang yang ingin melakukan aktifitas dalam menjalani kehidupan di atas
muka bumi. Sebagaimana yang difahami bahwa hukum Islam sebagai hukum yang azali,
karena bersumber dari Al-Qur’an. Pemahaman bahwa hukum Islam bersumber dari
kalam Allah yang qadim yang membuat ahli hukum Islam menyimpulkan bahwa
eksisitensi hukum Islam sebagai hukum ketuhanan (divine law), lebih
dahulu ada daripada keberadaan masyarakat maupun negara. Bahkan
lebih lanjut dikatakan bahwa dalam ushul fiqh hanya Tuhanlah yang menjadi
puncak sumber kekuasaan dan memiliki pengetahuan hukum yang sempurna.
Sumber
hukum Islam adalah Al-Qur’an yang juga merupakan bukti kebenaran Nabi Muhammad
Saw.
Aspek hukum dalam Al-Qur’an merupakan suatu aspek yang sangat penting, karena
semua tindakan manusia di alam ini selalu berhubungan dengan hukum. Dalam hal
ini, Al-Qur’an sebagai pedoman dalam menetapkan hukum harus bisa menjadi aturan
yang universal, sehingga dibutuhkan kemampuan untuk menggali dan mengkaji
kandungan yang terdapat didalamnya.
Untuk
mengkaji dan menggali hukum-hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an, maka sangat
dibutuhkan adanya kreatifitas umat Islam untuk senantiasa mempergunakan akal
pikirannya dalam menelaah dan mengkaji kandungan-kandungan hukum yang terdapat
dalam Al-Qur’an dan untuk tetap menerapkan hukum Al-Qur’an dalam setiap
perubahan waktu dan zaman. Dalam makalah ini akan menjelaskan bagaimana peranan
dan pentingnya akal dalam menggali sumber hukum Islam serta apakah akal itu
sendiri dapat dijadikan sebagai sumber dalam hukum Islam.
B.
Pandangan Skripturalisme Hukum Islam
1.
Definisi Skripturalisme
Skripturalisme
adalah suatu mazhab yang merupakan kebalikan dari liberal, yaitu suatu mazhab
yang bepegang kepada teks-teks syari’at secara kaku.
Oleh Arkoun aliran ini disebut logosentrisme.
Amin Abdullah mengatakan bahwa paradigma yang diangkat kaum skripturalisme
ini adalah paradigma literalistic dalam arti begitu dominannya
pembahasan tentang teks berbahasa arab, baik grammar maupun sintaksis-nya
dan mengabaikan pembahasan tentang maksud dasar dari wahyu yang ada dibalik
teks literal.
2.
Kegagalan Skripturalisme
Ada beberapa kegagalan skripturalisme,
tiga diantaranya adalah: Pertama, dalam aqidah. Karena skriptualisme
menerima teks-teks Al-Qur’an dan hadits dengan apa adanya, mereka menetapkan
keharusan percaya bahwa ia turun ke langit dunia, mengobrol dengan ahli surga,
duduk di atas ‘arasy, tertawa dan sebagainya. Dengan menolak ta’wil,
mereka telah mematikan telaah filosofis. Filsafat bukan saja dijauhi, tetapi
juga dikafirkan. Wacana teologi menjadi gersang.
Kedua, skriptualisme
menyingkirkan pengalaman mistikal dari kehidupan beragama. Kaum sufi,
yang mencoba menangkap makna batiniyah dari nash-nash, dianggap
sesat. Praktek-praktek keagamaan yang tidak secara spesifik ditunjukkan dalam nash,
dianggap bid’ah. Selanjutnya, yang disebut bid’ah adalah apa saja
yang tidak merujuk pada dalil yang telah dipilihnya
Ketiga, skripturalisme,
karena menolak wacana intelektual, mudah mendorong orang ke arah fanatisme.
Madzhab yang lain akan dianggap menyimpang dari Al-Qur’an dan sunnah. Dalam
skala makroskopis, paham ini melahirkan orang-orang yang wawasannya
sempit, tapi merasa faqih.
Akibat kegagalan skripturalisme
tersebut, orang tidak memberikan solusi terhadap segala ke-musykil-an
ini. Tulisan ini hanya ingin mengingatkan kita akan pentingnya penilaian kritis
terhadap pendekatan pada fiqh. Kritik terhadap skripturalisme
sama sekali tidak dimaksudkan untuk membela liberalisme. Pada
gilirannya, liberalisme juga sangat rentan terhadap berbagai problem.
Melalui studi kritis terhadap keduanya, kita dapat merumuskan kaidah-kaidah
baru dalam menegakkan fiqh yang lebih relevan dan signifikan.
C.
Teori Hukum Kodrat Islam dalam Masalah Tahsin dan Taqbih
Hakim termasuk persoalan
yang cukup penting dalam Ushul fiqh, sebab berkaitan dengan pembuat hukum dalam syari’at Islam, atau pembentuk hukum syara’, yang mendatangkan pahala bagi
pelakunya dan dosa bagi pelanggarnya. Dalam ilmu Ushul fiqh, hakim
disebut pula dengan syar’i. Dalam pengertian pertama tentang
hakim, yaitu Pembuat hukum, yang menetapkan, memunculkan sumber hukum, dapat
diketahui bahwa hakim adalah Allah SWT. Sebagai
pembuat hukum dan satu-satunya sumber hukum yang dititahkan kepada
seluruh mukallaf. Karena didalam agama islam tidak ada syari’at
kecuali dari Allah SWT, baik yang berkaitan dengan Hukum-hukum taklif (wajib,
sunnah, haram, makruh, dan mubah), maupun yang berkaitan dengan hukum
wadh’i (sebab,
syarat, halangan, sah, batal, fasid, azimah, dan rukhsah).
Dan para ulama sepakat dengan hal ini.
Maka Atas dasar yang merupakan keharusan untuk menjadikan al-hakim
atas perbuatan manusia serta atas sesuatu yang berkaitan dengannya dari sisi
terpuji dan tercelanya adalah Allah Ta’ala, bukan manusia. Atau
dengan kata lain syara’lah yang menetukan hukum, bukan akal. Ini dari
prespektif dalil rasional (aqli) atas hasan dan qabih.
Sedangkan dari sisi dalil syar’i, sesungguhnya syara'
telah mengharuskan peng-hasanan dan peng-qabihan itu dengan
mengikuti Rasul serta mencela hawa nafsu. Karena itu adalah termasuk hal yang qath'i
secara syar’i, bahwa yang disebut dengan hasan adalah apa yang di-hasan-kan
oleh syara’ sedangkan qabih adalah apa yang di-qabih-kan
oleh syara’.
OIeh karena itu mukallaf
wajib mengerjakan apa yang dipandang baik oleh akal dan meninggalkan apa yang
dipandang buruk oleh akal. Allah akan memberikan pahala kepada para mukallaf yang berbuat baik
berdasarkan kepada pendapatnya, sebagaimana Allah memberi pahala
berdasarkan apa yang diketahui mukallaf dengan perantaraan syara'.
Sedangkan dalam pengertian
kedua tentang hakim, yaitu yang menemukan hukum, menjelaskan, memperkenalkan,
dan menyingkapkan, para ulama’ Ushul fiqh membedakannya menjadi dua
yaitu:
1.
Sebelum Nabi
Muhammad SAW diangkat sebagai Rasul
Dalam hal ini para ulama menemukan banyak
perbedaan pendapat terkait tentang siapa yang menemukan? memperkenalkan? dan
menjelaskan hukum sebelum diutusnya Nabi Muhammad sebagai Rasul? Terdapat dua
kelompok yang berbeda Pendapat yang mempermasalahkan adanya taklif
sebelum datangnya Rasul. Pertama, kelompok ahlussunnah wal jama’ah
yang menyatakan tidak ada taklif sebelum datangnya Rasul, karena jika
hanya semata-mata dengan akal, manusia tidak mungkin dapat mengenal hukum Allah.
Kemudian yang kedua
kelompok mu’tazilah berpendapat adanya taklif sebelum datangnya
Rasul, karena akal manusia dapat menilai baik dan buruknya suatu perbuatan
manusia atas penilaian itu, maka akal mendorong manusia untuk melakukan yang
baik dan meninggalkan yang buruk. Hal ini berarti bahwa akal manusia dapat
menyuruh manusia untuk berbuat atau tidak berbuat. Inilah yang dimaksud Taklif
itu. Sehingga dikalangan Ulama Ushul fiqh
dalam persoalan yang cukup rumit itu dikenal dengan istilah “At-tahsin wa
al-taqbih”, yakni pernyataan bahwa sesuatu itu baik atau buruk.
2.
Setelah
diangkatnya Nabi Muhammad sebagai Rasul dan menyebarnya da’wah Islam.
Para ulama ushul
fiqh sepakat bahwa al-hakim adalah syari’at yang turun dari Allah
SWT. Yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Didalam Al-Qur’an surat al-an’am ayat 57 yang berbunyi:
قُلْ إِنِّي عَلَى
بَيِّنَةٍ مِنْ رَبِّي وَكَذَّبْتُمْ بِهِ مَا عِنْدِي مَا تَسْتَعْجِلُونَ بِهِ
إِنِ الْحُكْمُ إِلا لِلَّهِ يَقُصُّ الْحَقَّ وَهُوَ خَيْرُ الْفَاصِلِينَ
Artinya
: Katakanlah: "Sesungguhnya aku (berada) di atas
hujah yang nyata (Al Qur'an) dari Tuhanku sedang kamu mendustakannya. Bukanlah
wewenangku (untuk menurunkan azab) yang kamu tuntut untuk disegerakan
kedatangannya. Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang
sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling baik.
Apa yang telah dihalalkan oleh Allah maka
hukumnya adalah halal, yang didalamnya terdapat kemaslahatan bagi manusia.
Begitu juga dengan apa yang diharamkan-Nya maka hukumnyapun menjadi haram.
Karena didalamnya terdapat kemudaratan atau kerusakan bagi manusia. Dalam hal
ini para ulama terbagi menjadi tiga:
Menurut mazhab
ini, hukum-hukum Allah tidak mungkin diketahui secara langsung, tanpa
prantaraan para Rasul dan kitab-kitab Allah. Karena perbuatan manusia itu
memiliki sifat yang dapat memberikan pengaruh manfaat dan bahaya, sehingga akal
dapat menggunakan dasar sifat-sifat perbuatan itu. Apa yang dihasilkan oleh akal
bedasarkan manfaat atau bahaya itu dihukumi dengan baik atau buruk. Dan hukum Allah
atas perbuatan hamba itu tergantung pada anggapan akal, bermanfaat atau
berbahaya. Allah Swt menuntut orang-orang mukallaf untuk melaksanakan
perbuatan yang bermanfaat menurut akal mereka. Apa yang dianggap baik menurut
akal maka dituntut oleh Allah dan pelakunya akan diberi pahala, sedangkan yang
dianggap buruk oleh akal maka dituntut oleh Allah untuk ditinggalkan dan
pelakunya akan disiksa.
Dasar pada
mazab ini. “Perbuatan baik adalah perbutan yang di anggap baik menurut akal
karena ada manfaatnya. Sedangkan perbuatan jelek adalah perbuatan yang di
anggap jelek oleh akal karena ada bahayanya.” Adapun hukum-hukum Allah atas
perbuatan orang mukallaf ukurannya adalah menurut akal mereka sendiri;
baik atau jelek. Pendapat ini adalah sesuai dengan pendapat mayoritas para
ulama akhlaq bahwa ukuran baik dan jelek adalah akibat suatu perbuatan,
manfaat atau bahaya yang sampai kepada kebanyakan umat manusia.
Bedasarkan pendapat ini, orang yang belum sampainya dakwah dan syri’at para
Rasul, maka akan dituntut oleh Allah atas perbuatan
baik yang ditunjukan oleh akal mereka dan akan di beri pahala oleh Allah atas perbuatan itu, juga dituntut sebab meninggalkan perbuatan
jelek yang ditunjukan oleh akal mereka dan akan disiksa jika melakukan
perbuatan itu. Pengikut mazhab ini menguatkan, tidak ada satu akalpun yang
dapat membantah bahwa setiap perbuatan memiliki ciri-ciri khusus dan memiliki
akibat yang menjadikan perbuatan itu baik atau jelek.
Dan diantara hal-hal yang dapat dijangkau akal adalah bahwa bersyukur atas
nikmat, sedekah, memenuhi janji, dan menjaga kepercayaan adalah perbuatan baik
dan lawannya adalah perbuatan jelek. Demikian pula tidak ada satu akalpun yang
mampu mengingkari bahwa Allah tidak menetapkan hukum atas perbuatan mukallaf
kecuali bedasarkan kemanfaatan atau bahaya.
Mazhab ini
selaras dengan pendapat Mu’tazilah bahwa baik buruknya suatu perbuatan itu
diukur dengan manfaat atau bahayanya. Tetapi berbeda pendapat bahwa hukum Allah
itu harus sesuai menurut akal dan apa yang baik menurut akal dituntut oleh
Allah utuk dikerjakan, dan apa yang
jelek menurut akal maka dituntut oleh Allah untuk meninggalkannya.
Mazhab ini juga selaras dengan pendapat Al-Asy’ariyah bahwa hukum Allah
tidak dapat diketahui kecuali melalui perantaraan para Rasul dan
kitab-kitabnya. Tetapi berbeda pendapat dengan mereka bahwa baik dan jeleknya
perbuatan bersifat syara’ bukan akal, dan perbuatan itu baik jika dituntut oleh
Allah untuk dikerjakan dan perbuatan itu jelek
jika dituntut oleh Allah untuk ditinggalkan, karena hal ini jelas
keliru. Bahwasanya pokok keutamaan itu bisa dijangkau karena ada manfaat, dan
pokok kehinaan itu bisa dijangkau akal karena ada bahaya, meskipun tidak
dijelaskan pada syara’.
Perbedaan
pendapat ini tidak mempengaruhi sama sekali kecuali bagi orang-orang yang belum
sampai kepada mereka syari’at Rasul. Adapun mereka yang telah sampai syari’at
para Rasul, maka ukuran suatu perbuatan baik dan jeleknya bagi mereka adalah syari’at,
bukan yang dianggap sesuai dengan menurut akal mereka. Apa yang diperintahkan syari’
berarti baik, dituntut untuk dilaksanakan dan pelakunya diberi pahala. Apa
yang dilarang syari’.[13]
Yaitu pengikut
Abu Hasan al-Asy’ary: akal tidak mungkin mengetahui hukum-hukum Allah atas
perbuatan mukallaf kecuali dengan perantaraan para Rasul dan kitab-kitab
Allah. Karena masing-masing akal akan berbeda dalam memahami perbuatan
tersebut. Sebagian menganggap baik dan sebagian menganggap buruk, dan bahkan
satu orang saja bisa berbeda dalam memahami suatu perbuatan. Seringkali nafsu
manusia mengalahkan akalnya, sehingga anggapan baik dan baik itu bedasarkan
hawa nafsu. Oleh karena itu tidak mungkin dikatan, “Apa yang menurut akal
baik maka baik menurut Allah, dituntut oleh Allah untuk dikerjakan dan
pelakunya akan diberi pahala dari Allah. Dan apa yang menurut akal buruk mkan buruk menurut Allah, dituntut untuk
ditinggalkan, dan pelakunya akan disiksa oleh Allah.”
Menurut pendapat ini, perbuatan mukallaf yang baik adalah apa yang
telah ditunjikan oleh syar’i bahwa perbutan itu baik secara mubah maupun
dituntut untuk dikerjakan. Dan perbuatan buruk adalah apa apa yang ditujukan
oleh syar’i bahwa perbuatan itu buruk dengan tuntutan untuk ditinggalkan. Baik, yang
bukan menurut akal baik dan buruk, bukan yang menurut akal buruk, ukuran baik
dan buruk menurut pendapat ini adalah syara’, bukan akal. Mazhab ini disepakati
dan sesuai dengan pendapat para ulama akhlaq, yakni ukuran baik dan buruk
adalah undang-undang. Artinya, apa yag diwajibkan undang-undang atau
diperbolehkan berarti baik, dan yang dilarang adalah buruk.
Bedasarkan mazhab ini, seseorang tidak mungkin untuk diperitah melakukan
atau meninggalkan sesuatu kecuali telah mendengar dakwah dan syari’at Allah
Swt.
D.
Hukum Kodrat dalam Pemikiran Muhammad Abduh dan Ahmad Khan
1.
Teori Pemikiran Abduh
Berkaitan
dengan sumber hukum Islam, Abduh mengakui bahwa Al-Qur’an adalah sumber asli
yang merupakan dasar utama dan pertama hukum Islam. Tetapi untuk memahami
isinya, kehadiran akal sangat penting dan bahkan menjadi faktor penentu. Dari
sini nampaknya Abduh hendak merekomendasikan bahwa untuk memahami Al-Qur’an,
keterlibatan akal dalam setiap aspek ajaran agama sangat diperlukan. Sebab
menurutnya, untuk mengerti Islam secara baik, manusia harus menggunakan
akalnya, agar terhindar dari kesulitan dan mendapatkan manfaat (jalb al
mashalih wa dar al mafasid).
Untuk
mendukung konsep di atas, ada dua pokok pikiran yang diperjuangkan Abduh,
yakni:
Pertama:
Abduh berusaha untuk menggabungkan pemikiran sekuler yang murni sciences
dengan pemikiran salafiah yang murni agama.
Kedua:
dan ini merupakan kelanjutan dari yang pertama, Abduh menolak anggapan bahwa
agama bertentangan dengan science modern, atau agama sebagai penghambat
kemajuan. Menurutnya agama dan science modern merupakan suatu kesatuan,
yang sama-sama bertujuan untuk kesejahteraan manusia.
Jalan
pikiran Muhammad Abduh ini menghasilkan dua landasan pokok menyangkut pemahaman
atau penafsirannya terhadap ayat-ayat Al-Qur’an, yaitu peranan akal dan peranan
kondisi sosial.
a.
Peranan Akal
Abduh
berpendapat bahwa metode Al-Qur’an dalam memaparkan ajaran-ajaran agama berbeda
dengan metode yang ditempuh oleh kitab-kitab suci sebelumnya; Al-Qur’an
memaparkan masalah dan membuktikan dengan argumentasi-argumentasi, bahkan
menguraikan pandangan-pandangan penentangnya bahkan seraya membuktikan
kekeliruan mereka. Menurut Abduh ada masalah keagamaan yang tidak dapat
diyakini kecuali melalui pembuktian logika dan juga ada ajaran agama yang sulit
dipahami dengan akal namun tidak bertentangan dengan akal. Dengan demikian
walaupun harus dipahami dengan akal, Abduh tetap mengakui keterbatasan akal dan
kebutuhan manusia akan bimbingan Nabi SAW. (wahyu).
b.
Peranan Kondisi Sosial
Ajaran
agama menurut Abduh dalam garis besar terbagi dua yaitu rinci dan umum. Yang
rinci ialah sekumpulan ketetapan Tuhan dan Nabi-Nya yang tidak dapat mengalami
perubahan dan atau perkembangan sedangkan yang umum merupakan prinisp-prinsip
dan kaidah-kaidah yang dapat berubah penjabaran dan perinciannya sesuai dengan
kondisi sosial. Abduh mengusulkan agar ulama menghimpun diri dalam satu
organisasi yang didalamnya mereka dapat mendiskusikan soal-soal keagamaan dan
mencari illat (motif) dari setiap ketetapan, sehingga suatu hukum yang
ditetapkan berdasarkan satu kondisi tertentu, hendaklah kondisi tersebut
dijelaskan. Bila kondisinya berubah, maka ketetapan itu juga dapat berubah.
Dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an, terlebih yang menyangkut hukum, landasan
ini tidak pernah diabaikan. Melalui kedua hal tersebut di atas, Abduh berusaha
menjadikan hakikat ajaran Islam yang murni menurut pandangannya serta
menghubungkan ajaran terebut dengan kehidupan masa kini.
Salah
satu metode analisis penafsiran adalah “adabi ijtima’i" (budaya
kemasyarakatan), corak ini menitik beratkan penjelasan ayat-ayat Al-Qur’an pada
segi ketelitian redaksinya, menyusun kandungannya dalam suatu redaksi yang
indah dengan penonjolan segi-segi petunjuk Al-Qur’an bagi kehidupan, serta
menghubungkan pengertian ayat-ayat tersebut dengan hukum-hukum alam yang
berlaku dalam masyarakat dan pembangunan dunia.
Tokoh
utama corak ini, bahkan yang berjasa meletakkan dasar-dasarnya adalah Syekh
Muhammad Abduh. Muhammad Husain al-Dhahabi mengemukakan sekian banyak ciri
pemikiran dan penafsiran Abduh kemudian dilengkapi oleh Abdullah Mahmud
Syahatah tidak kurang dari Sembilan prinsip, yaitu:
1)
Memandang
setiap surat sebagai satu kesatuan ayat-ayat yang serasi (wihdah muanasigah)
Terdapat jalinan hubungan yang serasi antara satu ayat dengan ayat
yang lain dalam satu surat. Pengertian satu kata atau kalimat harus berkaitan
erat dengan tujuan surat tadi secara keseluruhan.
2)
Ayat
Al-Qur’an bersifat umum
Ciri ini berintikan pandangan bahwa petunjuk-petunjuk ayat-ayat Al-Qur’an
berkesinambungan tidak dibatasi oleh suatu masa dan tidak pula ditujukan kepada
orang-orang tertentu.
3)
Al-Qur’an
adalah sumber aqidah dan hukum
Muhammad Abduh menjelaskan apa yang dimaksud dengan hal itu sebagai
berikut: “Aku inginkan agar Al-Qur’an menjadi sumber yang kepadanya disandarkan
segala madzhab-madzhab tersebut menjadi pokok dan ayat-ayat Al-Qur’an dijadikan
pendukung untuk madzhab-madzhab tersebut.
4)
Penggunaan
akal secara luas dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an
Pandangan Abduh bahwa wahyu dan akal tidak mungkin akan
bertentangan, maka Abduh menggunakan akal secara luas untuk memahami
(menafsirkan) ayat-ayat Al-Qur’an.
5)
Menentang
dan memberantas taqlid (Muharabag al-Taqlid)
Abduh berusaha sekuat tenaga untuk membuktikan bahwa Al-Qur’an
memerintahkan umatnya untuk menggunakan akal serta melarangnya mengikuti
pendapat-pendapat terdahulu walaupun pendapat tersebut dikemukakan oleh orang
yang seyogyanya paling dihormati dan dipercaya, tanpa mengetahui secara pasti
hujjah-hujjah yang menguatkan pendapat tersebut.
6)
Tidak
merinci persoalan-persoalan yang disinggung secara mubham (tidak jelas)
Di dalam Al-Qur’an sering ditemui lafazh tak terinci, misalnya
menyangkut “sapi” yang disebut dalam QS. Al-Baqarah, ayat: 67 atau “anjing”
yang menyertai “Ashabul Kahfi” (QS. Al-Kahfi, ayat: 18). Terhadap ayat/lafazh
semacam ini Abduh tidak merinci atau menjelaskannya.
7)
Sangat
kritis dalam menerima hadis-hadis Nabi Saw.
Di latar belakangi oleh sikap Muhammad Abduh yang sangat rasional,
dia berpendapat bahasa sanad belum tentu dapat dipertanggungjawabkan.
Abduh menyatakan bahwa sumber ajaran agama adalah Al-Qur’an dan sedikit dari
sunnah yang bersifat amaliyah dan sedikit pula jumlah hadis mutawatir,
maka Al-Qur’an harus dijadikan sumber madzhab dan pendapat dalam agama.
8)
Sangat
kritis terhadap pendapat-pendapat sahabat-sahabat dan menolak Israiliyyat
Abduh sangat berhati-hati dalam menerima pendapat-pendapat sahabat
Nabi, apalagi jika pendapat tersebut berselisih satu sama lainnya, sehingga untuk
menguatkan salah satunya dibutuhkan pemikiran yang mendalam.
9)
Mengaitkan
penafsiran Al-Qur’an dengan kehidupan sosial
Ayat-ayat ditafsirkan selalu dihubungkan dengan keadaan masyarakat
dalam usaha mendorong ke arah kemajuan dan pembangunan. Abduh menilai
keterbelakangan masyarakat Islam disebabkan oleh kebodohan dan kedangkalan
pengetahuan mereka akibat taqlid dan pengabaian peranan akal.
Menurut
Muhammad Abduh, dengan akal manusia dapat:
a)
Mengetahui
Allah Swt dan siat-sifat-Nya
b)
Mengetahui
adanya hidup di akhirat
c)
Mengertahui
bahwa kebahagiaan jiwa di akhirat bergantung pada mengenal Allah Swt dan
berbuat baik, sedangkan kesengsaraannya bergantung pada tidak mengenal Allah
Swt dan pada perbuatan jahat
d)
Mengetahui
wajibnya manusia mengenal Allah Swt
e)
Mengetahui
wajibnya manusia berbuat baik dan wajibnya dia menjauhi perbuatan jahat untuk
kebahagiaannya di akhirat
f)
Membuat
hukum-hukum mengenai kewajiban-kewajiban itu.
Namun
haruslah disadari bahwa kebenaran yang dicapai semata-mata dari akal itu adalah
nisbi, relatif. Sungguhpun akal dapat mencapainya, tetap tidak terjamin
kebenarannya. Oleh karena itulah orang-orang Khawas membutuhkan
konfirmasi dalam bentuk wahyu yang membawa pengetahuan yang mentrentramkan jiwa
manusia.
Orang
yang berakal dan punya perasaan yang sehat mengakui dan menyaksikan bahwa
dirinya sendiri adalah maujud (ada). Tentang perbuatan manusia dalam
hubungannya dengan kodrat Tuhan, Muhammad Abduh merumuskan dua hal:
1)
Manusia
mempunyai usaha yang bebas dengan kemauan dan kehendaknya untuk mencari jalan
yang dapat membawanya kepada kebahagiaan.
2)
Kodrat
Tuhan tempat kembalinya manusia
1.
Pemikiran Teori Khan
Pemikiran
Sayyid Ahmad Khan mempunyai kesamaan dengan Muhammad Abduh di mesir, setelah
Abduh berpisah dengan Jamaluddin Al- Afghani dan setelah sekembalinya dari
pengasingan. Hal ini dapat dilihat dari beberapa ide yang dikemukakannya,
terutama akal yang mendapat penghargaan tinggi dalam pandangannya. Meskipun dia
sebagai penganut ajaran Islam yang taat dan mempercayai adanya kebenaran dari
Tuhan adalah wahyu, tetapi dia berpendapat bahwa akal bukan segalanya bagi
manusia dan kekuatan akal hanyalah terbatas yang sifatnya relative.
Menurut
Ahmad Khan bahwasannya keyakinan, kekuatan dan kebebasan akal yang menjadikan
manusia menjadi bebas untuk menentukan kehendak dan melakukan perbuatan sesuai
yang dia inginkan. Jadi pemikirannya itu mempunyai kesamaan dengan pemikiran Qodariyah,
Contohnya
manusia telah di anugrai oleh Allah berbagai macam daya, di antaranya adalah
daya fikir yang berupa akal, dan daya fikir untuk merealisasikan kehendak yang
di inginkannya. Dan barang siapa yang percaya terhadap hukum alam dan kuatnya
mempertahankan konsep hukum alam tersebut, maka ia di anggap sebagai orang yang
kafir.
Umat
Islam yang berdomisili di India mengalami kemerosotan dan kemunduran sebagai
mana yang di kemukakan oleh Ahmad Khan yaitu di karenakan mereka tidak
mengikuti perkembangan zaman yang sedang berlangsung mereka cenderung mengikuti
pendahulu mereka, tetapi bahwasanya ia menentang keras dengan faham Taklid,
sebagaimana yang dianut dalam faham Qodariyah.
Kemunduran
Islam di India dikarenakan mereka terlena dengan gaung peradapan Islam klasik
sehingga mereka tidak menyadari bahwa peradapan baru telah tumbuh dan bermunculan
di Barat. Timbulnya peradaban serta kemajuan ini di dasari oleh Ilmu
pengetahuan dan teknologi pada orang-orang Barat tersebut.
Khan
mengemukakan bahwa Tuhan telah menentukan tabiat dan Nature (sunnatullah)
bagi setiap mahkluk-Nya yang tetap dan tidak berubah. Menurutnya Islam adalah
agama yang paling sesuai dengan hukum alam dan Al-Qur’an adalah firman-Nya.
Maka sudah barang tentu sejalan dan tidak ada pertentangan. Dia tidak mau dalam
suatu pemikirannya terganggu dan terbatasi oleh orentasi Hadits dan Fiqh, di
karenakan segala sesuatu diukur dengan kritik rasional, serta menolak segala
yang bertentangan dengan logika dan hukum alam. Ia hanya mau mengambil
Al-qur’an sebagai landasan dan pedoman Islam, sedang yang lainnya hanyalah
membantu dan kurang begitu penting.
Contohnya,
atas penolakan Hadits dikarenakan berisi moralitas Masyarakat Islam pada abad
pertama ataupun pada abad ke dua sewaktu Hadits dikumpulkan dan dikodifikasikan.
Sedangkan hukum Fiqh menurutnya berisi tentang moralitas masyarakat sampai saat
timbulnya mazhab-mazhab dan menolak taqlid. Sebagai konskuensi dari
penolakan taqlid tersebut Khan memandang perlu sekali untuk di adakannya
ijtihad-ijtihad baru untuk menyesuaikan pelaksanaan ajaran-ajaran
Islam dengan situasi dan kondisi masyarakat yang senantiasa mengalami
perubahan.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Al-Qur’an
merupakan wahyu yang memuat berbagai kandungan hukum Islam, sehingga segala
sesuatu yang terkait dengan hukum Islam semua telah diakomodir dalam Al-Qur’an,
oleh karena ia merupakan sumber dari segala sumber hukum.
Al-Qur’an
(wahyu) adalah sumber hukum, akan tetapi tidak semua persoalan hukum Islam
dijelaskan secara mendetail, oleh karena itu, dibutuhkan penjelasan Nabi Saw.
dan akal pemikiran manusia.
Akal adalah daya kekuatan yang hanya dimiliki
oleh manusia. Karena itu pulalah yang membedakan manusia dengan makhluk yang
lain. Akal merupakan pangkal kehidupan manusia yang menjadi sendi kelangsungan
hidupnya. Dalam beragama, manusia dibekali akal untuk memahami ajaran-ajarannya.
Dalam
kenyataannya, ketika menggali hukum Islam kelihatan terjadi konflik dan ketegangan
antara wahyu dan akal, akan tetapi, pada dasarnya hal tersebut tidak perlu
terjadi, hanya pemahaman yang dilakukan oleh akal yang mencoba menjelaskan
hukum Islam dari wahyu secara proporsional, sehingga terwujud tujuan hukum
Islam itu sendiri, yaitu kemaslahatan.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, (Jakarta: Pustaka
Ammani, 2003), hal.135.
Komentar