Langsung ke konten utama

Unggulan

skenario sidang mediasi

Penetapan Penunjukan Mediator : PENETAPAN Nomor : 001/Pdt.G/2015/PS.SNC. Ketua Majelis Pengadilan Semu Syekh Nurjati Cirebon ; Membaca surat gugatan tertanggal 18 Maret 2015 Nomor : 001/Pdt.G/2015/PS.SNC. dalam perkara antara : ROSINAH BINTI VALENTINO ROSSID , sebagai Penggugat ; Melawan : NAHRUL BIN HAYAT , sebagai Tergugat ; Membaca, Penetapan Ketua Pengadilan Semu Syekh Nurjati Cirebon tertanggal 18 Maret 2015 Nomor : 001/Pdt.G/2015/PS.SNC. tentang Penunjukan Majelis Hakim; Membaca, Penetapan Ketua Majelis Hakim Pengadilan Semu Syekh Nurjati Cirebon tertanggal 18 Maret 2015 Nomor : 001/Pdt.G/2015/PS.SNC. tentang Penetapan Hari Sidang ; Menimbang, bahwa pada hari sidang yang telah ditentukan Penggugat dan Tergugat hadir di persidangan ; Menimbang, bahwa dalam usaha mendamaikan para pihak sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 130 HIR/154 RBg dan Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, Ketua Majlis Hakim menerang...

advokasi pedagang kaki lima


PENANGANAN KEBERADAAN PEDAGANG KAKI LIMA
DI SEKITAR KAMPUS IAIN SYEKH NURJATI CIREBON


MAKALAH
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mandiri
Mata Kuliah Advokasi


Dosen Pembimbing:
Dr. E. Sugianto, SH. MH.


Disusun Oleh :
AAS  A / Semester VII :
Abdul Komar








logo IAIN
                                
FAKULTAS SYARI’AH DAN EKONOMI ISLAM
JURUSAN AHWAL AS-SYAKHSHIYYAH
IAIN SYEKH NURJATI CIREBON
2015





PENANGANAN KEBERADAAN PEDAGANG KAKI LIMA (PKL) DI SEKITAR KAMPUS IAIN SYEKH NURJATI CIREBON


Latar Belakang
Keberadaan Pedagang Kaki Lima (PKL) merupakan suatu fenomena kegiatan perekonomian rakyat kecil di kota-kota besar maupun kota kecil. Akhir-akhir ini fenomena penggusuran terhadap para PKL marak terjadi. Para PKL digusur oleh aparat pemerintah seolah-olah mereka tidak memiliki hak asasi manusia dalam bidang ekonomi, sosial dan budaya (Ekosob). PKL berdagang hanya untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari.[1]
Pedagang Kaki Lima ini timbul dari adanya suatu kondisi pembangunan perekonomian dan pendidikan yang tidak merata di seluruh NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) ini. PKL ini timbul dari akibat tidak tersedianya lapangan pekerjaan bagi rakyat kecil yang tidak memiliki kemampuan dalam berproduksi. Pemerintah sebenarnya memiliki tanggung jawab dalam melaksanakan pembangunan bidang pendidikan, bidang perekonomian dan penyediaan lapangan pekerjaan.[2]
Pedagang Kaki Lima merupakan imbas dari semakin banyaknya jumlah rakyat miskin di Indonesia. Mereka berdagang hanya karena tidak ada pilihan lain, mereka tidak memiliki kemampuan pendidikan yang memadai dan tidak memiliki tingkat pendapatan ekonomi yang baik dan tidak adanya lapangan pekerjaan yang tersedia buat mereka. Untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari dan membiayai keluarga ia harus berdagang di kaki lima. Pekerjaan PKL dipilih karena sesuai dengan kemampuan mereka, yaitu modalnya tidak besar, tidak membutuhkan pendidikan yang tinggi dan mudah untuk dikerjakan.
Di Indonesia sampai kini memang belum ada undang-undang yang khusus mengatur Pedagang Kaki Lima. Namun demikian walaupun belum ada undang-undang resmi dari pemerintah pusat, peraturan daerah (Perda) yang dibuat oleh pemerintah daerah sudah cukup kuat dan legal untuk mengatur para pedagang kaki lima, agar berjualan secara tertib di tempat yang telah ditentukan.
Fenomena pedagang kaki lima di lingkungan kampus IAIN Syekh Nurjati Cirebon merupakan permasalahan yang pelik dan sukar dicari solusinya karena selalu muncul walau telah ditangani. Pada dasarnya, PKL ini timbul dari adanya ketimpangan sosial dan pembangunan perekonomian serta pendidikan yang tidak merata, dan menjadi suatu hal yang wajar bila masyarakat banyak yang menggantungkan kelangsungan hidupnya di bidang perdagangan. Oleh karena itu, tidak heran bila kemudian banyak bermunculan pedagang-pedagang kaki lima yang menempati berbagai kawasan tertentu, bahkan sekarang hampir di semua tempat mereka menggelar dagangannya di depan toko-toko orang lain di Kota Cirebon.
Masalah pedagang kaki lima, merupakan masalah klasik. Banyak cara yang telah ditempuh oleh Pemkot Cirebon dalam menangani PKL ini, di antaranya melalui penertiban dan relokasi yang dilakukan oleh Dinas Pasar atau Satpol PP, di mana selalu ada langkah-langkah dan tindakan dalam menangani PKL ini.
Langkah yang diambil oleh pemerintah Kota Cirebon untuk menangani masalah pedagang kaki lima ini di antaranya adalah dengan menertibkan para PKL yang menggelar lapak dagangannya di tempat-tempat yang dilarang berjualan, seperti di trotoar tempat pejalan kaki, di pinggir jalan dan di depan pertokoan, termasuk di sekitar kampus IAIN Cirebon. Hal tersebut dilakukan dengan alasan ketertiban dan keindahan tata letak kota serta untuk menghindari terjadinya kemacetan lalu lintas kendaraan pengguna jalan karena pinggiran jalan yang seharusnya untuk dilalui kendaraan telah dijadikan lapak berjualan. Langkah lainnya, pemerintah Kota Cirebon telah merelokasi para PKL yang melanggar aturan berjualan ke tempat yang telah ditentukan. Selanjutnya selalu diadakan pengawasan dan pembinaan, agar para PKL tidak melanggar aturan lagi.
Sebenarnya  pemerintah kota dengan kewenangannya dapat melakukan tindakan apapun untuk menertibkan PKL dengan alasan untuk ketertiban, kebersihan dan keindahan kota. Namun dalam hal ini pemerintah harus mempertimbangkan segi strategis pasar tempat relokasi usaha PKL. Tempat yang direlokasi tersebut harus berada di kawasan yang strategis dan ramai pembeli, sehingga para PKL tidak merasa dirugikan karena dagangan mereka laku, karena usaha para PKL mencari nafkah demi kelangsungan hidup diri dan keluarganya.
Kebijakan relokasi yang diatur oleh pemerintah daerah tentunya memiliki efek atau dampak bagi pedagang kaki lima itu sendiri dan juga bagi lingkungan. Dua kriteria yang digunakan yaitu internal dan eksternal. Internal yaitu bagaimana dampak terhadap PKL dalam hal peningkatan ekonomi, rasa keadilan dan eksternal yaitu bagaimana keterkaitannya dengan lingkungan. Dampak terhadap lingkungan memberikan implikasi yang positif yaitu tertatanya lingkungan dengan baik, dengan pengolahan limbah pasar, penghijauan sekitar pasar relokasi, sehingga lingkungan pasar menjadi asri dan tidak terlihat kesan kumuh (ramah lingkungan). Sedangkan dampak negatif yaitu menurunnya modal dan pendapatan, meningkatnya biaya operasional, menurunnya aktivitas pasar (produksi, distribusi dan konsumsi), melemahnya jaringan sosial (pelanggan) dan menurunnya kesempatan pedagang untuk ikut dalam kelompok-kelompok sosial non formal. Oleh karena itu, agar tidak ada pihak yang di rugikan (PKL dan  lingkungan sekitar), dan untuk menangani PKL yang berada di sekitar kampus IAIN Syekh Nurjati ini, maka perlu di adakannya pertemuan di antara pihak-pihak yang bersangkutan.








A.     Pengertian Pedagang Kaki Lima
Pedagang Kaki Lima atau disingkat PKL adalah istilah untuk menyebut penjaja dagangan yang menggunakan gerobak. Istilah itu sering ditafsirkan demikian karena jumlah kaki pedagangnya ada lima. Lima kaki tersebut adalah dua kaki pedagang ditambah tiga "kaki" gerobak (yang sebenarnya adalah tiga roda atau dua roda dan satu kaki). Saat ini istilah PKL juga digunakan untuk pedagang di jalanan pada umumnya.
Sebenarnya istilah kaki lima berasal dari masa penjajahan kolonial Belanda. Peraturan pemerintahan waktu itu menetapkan bahwa setiap jalan raya yang dibangun hendaknya menyediakan sarana untuk pejalanan kaki. Lebar ruas untuk pejalan adalah lima kaki atau sekitar satu setengah meter.
Sekian puluh tahun setelah itu, saat Indonesia sudah merdeka, ruas jalan untuk pejalan kaki banyak dimanfaatkan oleh para pedagang untuk berjualan. Dahulu namanya adalah pedagang emperan jalan, sekarang menjadi pedagang kaki lima. Padahal jika merunut sejarahnya, seharusnya namanya adalah pedagang lima kaki.
Dalam Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2012 tentang Koordinasi Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima pasal 1 nomor 1 dijelaskan bahwa Pedagang Kaki Lima yang selanjutnya disingkat PKL adalah pelaku usaha yang melakukan usaha perdagangan dengan menggunakan sarana usaha bergerak maupun tidak bergerak, menggunakan prasarana kota, fasilitas sosial, fasilitas umum, lahan, dan bangunan milik pemerintah dan/atau swasta yang bersifat sementara/tidak menetap.
Proses perencanaan tata ruang, sering kali belum mempertimbangkan keberadaan dan kebutuhan ruang untuk PKL. Ruang-ruang kota yang tersedia hanya difokuskan untuk kepentingan kegiatan dan fungsi formal saja. Kondisi ini yang menyebabkan para Pedagang Kaki Lima berdagang di tempat-tempat yang tidak terencana dan tidak difungsikan untuk mereka. Akibatnya mereka selalu menjadi obyek penertiban dan pemerasan para petugas ketertiban serta menjadikan kota berkesan semrawut.
Studi menunjukkan bahwa hampir di semua negara-negara Asia, PKL tidak mempunyai status legal dalam menjalankan usahanya dan mereka terus mendapatkan tindakan kekerasan oleh pemerintah kota dengan program yang mengatasnamakan penertiban atau penataan. Di sisi lain, peran yang dijalankan sektor informal termasuk PKL belum sepenuhnya diterima pemerintah kota. PKL lebih dipandang sebagai aktivitas non-profit, karena tidak berkontribusi pada ekonomi lokal atau nasional melalui pajak. Mereka dimarginalkan dalam agenda pembangunan, dengan demikian terkena dampak buruk dari kebijakan makro sosio-ekonomi.
Terbatasnya dukungan kebijakan membuat sektor ini tidak aman, yang berdampak buruk pada mata pencaharian penduduk miskin urban. Mereka terkenal karena memberikan sebagian penduduk urban kebutuhan barang atau jasa yang tidak dapat disediakan oleh outlet ritel besar. Disamping fakta bahwa PKL adalah sumber mata pencaharian penting bagi penduduk miskin urban, PKL juga menempati badan-badan jalan dan trotoar dan tidak menyisakan cukup ruang bagi pejalan kaki. Kondisi ini menjadi perhatian publik karena menciptakan masalah kemacetan dan pergerakan orang di pedestrian, dan menciptakan lingkungan kotor dan kurang sehat. PKL yang menempati ruang dan jalan publik juga dapat menciptakan masalah sosial seperti hadirnya pencopet, pencuri, dan sebagainya. Situasi ini menciptakan masalah dalam pengelolaan, pembangunan dan merusak morfologi dan estetika kota.
PKL atau dalam bahasa inggris disebut juga street trader selalu dimasukkan dalam sektor informal. Dalam perkembangannya, keberadaan PKL di kawasan perkotaan Indonesia seringkali kita jumpai masalah-masalah yang terkait dengan gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat. Kesan kumuh, liar, merusak keindahan, seakan sudah menjadi label paten yang melekat pada usaha mikro ini. Mereka berjualan di trotoar jalan, di taman-taman kota, di jembatan penyebrangan, bahkan di badan jalan. Pemerintah kota berulangkali menertibkan mereka yang ditengarai menjadi penyebab kemacetan lalu lintas atau pun merusak keindahan kota. PKL dipandang sebagai bagian dari masalah (part of problem).
Upaya penertiban, sebagaimana sering diekspose oleh media televisi acapkali berakhir dengan bentrokan dan mendapat perlawanan fisik dari PKL sendiri. Bersama dengan komponen masyarakat lainnya, tidak jarang para PKL pun melakukan unjuk rasa. Pada hal, sejatinya bila keberadaannya dipoles dan ditata dengan konsisten, keberadaan PKL ini justru akan menambah eksotik keindahan sebuah lokasi wisata di tengahtengah kota. Hal ini bisa terjadi apabila PKL dijadikan sebagai bagian dari solusi (part of solution).
Seperti yang sudah dikemukakan di atas, PKL yang dikelompokkan dalam sektor informal sering dijadikan sebagai kambing hitam dari penyebab kesemrawutan lalu lintas maupun tidak bersihnya lingkungan. Meskipun demikian PKL ini sangat membantu kepentingan masyarakat dalam menyediakan lapangan pekerjaan dengan penyerapan tenaga kerja secara mandiri atau menjadi safety belt bagi tenaga kerja yang memasuki pasar kerja, selain untuk menyediakan kebutuhan masyarakat golongan menengah ke bawah. Pada umumnya sektor informal sering dianggap lebih mampu bertahan hidup survive dibandingkan sektor usaha yang lain. Hal tersebut dapat terjadi karena sektor informal relative lebih independent atau tidak tergantung pada pihak lain, khususnya menyangkut permodalan dan lebih mampu beradaptasi dengan lingkungan usahanya.
Bukti-bukti tersebut menggambarkan bahwa pekerjaan sebagai PKL merupakan salah satu pekerjaan yang relatif tidak terpengaruh krisis ekonomi karena dampak krisis ekonomi tidak secara nyata dirasakan oleh pedagang kaki lima. Dalam hal ini PKL mampu bertahan hidup dalam berbagai kondisi, sekalipun kondisi krisis ekonomi.

B.     Pentingnya Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima (PKL)
Kelompok pedagang kaki lima sebagai bagian dari kelompok usaha kecil adalah kelompok usaha yang tak terpisahkan dari aset pembangunan nasional yang berbasis kerakyatan, jelas merupakan bagian integral dunia usaha nasional yang mempunyai kedudukan, potensi dan peranan yang sangat strategis dalam turut mewujudkan tujuan pembangunan nasional pada umumnya dan tujuan pembangunan ekonomi pada khususnya.
Pedagang kaki lima sebagai bagian dari usaha sektor informal memiliki potensi untuk menciptakan dan memperluas lapangan kerja, terutama bagi tenaga kerja yang kurang memiliki kemampuan dan keahlian yang memadai untuk bekerja di sektor formal karena rendahnya tingkat pendidikan yang mereka miliki.
Sejalan dengan uraian di atas, dalam penjelasan UU. No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil, disebutkan bahwa Usaha kecil (termasuk pedagang kaki lima) merupakan kegiatan usaha yang mampu memperluas lapangan kerja dan memberikan pelayanan ekonomi yang luas kepada masyarakat, dapat berperanan dalam proses pemerataan dan peningkatan pendapatan masyarakat serta mendorong pertumbuhan ekonomi dan berperan dalam mewujudkan stabilitas nasional pada umumnya dan stabilitas ekonomi pada khususnya. Bahkan pedagang kaki lima, secara nyata mampu memberikan pelayanan terhadap kebutuhan masyarakat yang berpenghasilan rendah, sehingga dengan demikian tercipta suatu kondisi pemerataan hasil-hasil pembangunan. Selain itu, kelompok pedagang kaki lima mempunyai potensi yang cukup besar untuk memberikan kontribusi terhadap penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) di sektor penerimaan retribusi daerah seiring dengan kebutuhan daerah dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah.
Pemerintah Pusat telah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2012 tentang Koordinasi Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima yang kemudian ditindaklanjuti dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 41 Tahun 2012 tentang Pedoman Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima. Dalam Permendagri disebutkan bahwa tujuan penataan dan pemberdayaan Pedagang Kaki Lima (PKL) adalah untuk memberikan kesempatan berusaha bagi PKL melalui penetapan lokasi sesuai dengan peruntukannya; menumbuhkan dan mengembangkan kemampuan usaha PKL menjadi usaha ekonomi mikro yang tangguh dan mandiri; dan untuk mewujudkan kota yang bersih, indah, tertib dan aman dengan sarana dan prasarana perkotaan yang memadai dan berwawasan lingkungan.
Dengan adanya Perpres nomor 125 tahun 2012 dan Permendagri nomor 41 tahun 2012, maka Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kota/Kabupaten wajib melakukan penataan dan pembinaan PKL di wilayahnya masing-masing. Salah satu amanat yang tercantum di dalam Permendagri nomor 41 tahun 2012 adalah Bupati/Walikota menetapkan lokasi atau kawasan sesuai peruntukannya sebagai lokasi tempat kegiatan usaha PKL. Penetapan lokasi atau kawasan tempat kegiatan usaha PKLdilakukan dengan memperhatikan kepentingan umum, sosial, budaya, estetika, ekonomi, keamanan, ketertiban, kesehatan, kebersihan lingkungan dan sesuai dengan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dan Kabupaten/Kota. Lokasi tempat kegiatan usaha PKL merupakan lokasi binaan Bupati/Walikota yang bersifat permanen atau sementara dan telah dilengkapi dengan papan nama lokasi dan rambu atau tanda yang menerangkan batasan jumlah PKL sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Selain itu, Bupati/Walikota juga diwajibkan untuk melakukan pemberdayaan terhadap PKL melalui peningkatan kemampuan berusaha; fasilitasi akses permodalan; fasilitasi bantuan sarana dagang; penguatan kelembagaan; fasilitasi peningkatan produksi; pengolahan, pengembangan jaringan dan promosi; dan pembinaan dan bimbingan teknis. Sedangkan pemberdayaan PKL yang membutuhkan fasilitasi kerjasama antar kabupaten/kota dilakukan oleh gubernur.
Dalam melakukan pemberdayaan PKL, Bupati/Walikota dapat melakukan kerjasama atau kemitraan dengan dunia usaha melalui program Corporate Social Responsibility (CSR) dalam bentuk penataan peremajaan tempat usaha PKL; peningkatan kemampuan berwirausaha melalui bimbingan, pelatihan dan bantuan permodalan; promosi usaha dan event pada lokasi binaan; dan berperan aktif dalam penataan PKL di kawasan perkotaan agar menjadi lebih tertib, bersih, indah dan nyaman.
LANGKAH ADVOKASI
A.    Mengidentifikasi Masalah Dan Sasaran
Apabila Komite Advokasi telah terbentuk maka selanjutnya perlu ditentukan masalah yang akan diadvokasi. Mereka harus secara rutin mengikuti perkembangan kebijakan dan berkomunikasi dengan para anggota legislatif. Sebagai hasilnya maka akan ditemukan munculnya masalah-masalah terbaru sebelum anggota yang lain mengetahuinya. Informasi-informasi tersebut perlu dikomunikasikan kepada seluruh anggota melalui e-mail, buletin, briefing dan sebagainya secara rutin.
Ø  Setelah pembentukan Komite Advokasi, harus menentukan masalah yang diadvokasi sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan bersama.
Ø  Komite Advokasi perlu meminta masukan dan saran dari anggota asosiasi dalam hal masalah- masalah yang berkembang di asosiasi dan solusi dari masing masalah-masalah tersebut serta kuisioner untuk meminta pendapat tertentu.
Ø  Untuk memperoleh masalah kunci perlu dilakukan Focus Group Discussion.
Ø  Setelah memperoleh masalah-masalah yang ada maka Komite Advokasi perlu menetapkan  Prioritas Advokasi.
Identifikasi Masalah / Isu
Ø  ”Cast a wide net”
Ø  Survey anggota
Ø  Focused Group
Ø  Isu Jangka Panjang dan jangka Pendek
Ø  Pro-aktif versus ”watchdog”
Ø  Isu koalisi
Berdasarkan informasi tersebut dan kriteria tertentu, sejumlah masalah harus dipilih oleh  anggota sesuai urutan prioritas. Kriteria tersebut antara lain:
a)      Masalah reformasi berorientasi pasar dan usaha bebas
b)      Masalah yang relevan bagi sebagian anggota asosiasi dengan jumlah yang signifikan
c)      Masalah yang menyangkut kebijakan, hukum atau peraturan khusus (berbeda dengan  insiden yang terjadi secara sporadik karena kombinasi dari faktor-faktor yang tidak dapat  diprediksikan)
d)     Masalah dengan ruang lingkup yang jelas
e)      Masalah dengan kemungkinan besar untuk dapat diselesaikan dalam jangka pendek (dengan kata lain, permasalahan yang dapat diselesaikan cukup dengan proposal kebijakan tertentu hindari masalah yang memerlukan perubahan terhadap konstitusi atau sistem peraturan secara keseluruhan)
f)       Masalah yang didukung oleh mayoritas anggota asosiasi dan permasalahan kontroversial yang dihindari jajaran anggota
g)      Masalah yang proaktif dan reaktif
h)      Masalah yang tidak ditentang oleh golongan mayoritas di masyarakat, anggota dewan  legislatif atau khalayak umum
i)        Masalah yang tidak akan menghancurkan citra atau reputasi asosiasi

B.     Melakukan Survey
Berdasarkan kriteria yang telah dipilih dan masukan dari para pemimpin asosiasi dan  Komite Advokasi, anggota komite kemudian merancang survey dan mengirimkannya pada  seluruh anggota asosiasi. Survey harus meminta anggota untuk:
a)      Mengurutkan masalah-masalah yang diberikan sesuai tingkat prioritas
b)      Mengurutkan seperangkat solusi yang diberikan untuk tiap-tiap masalah
c)      Mengisi kuesioner dengan batas waktu tertentu
Jika memungkinkan, survey seperti ini harus dilakukan paling sedikit sekali dalam satu tahun untuk memastikan bahwa Komite Advokasi ini benar-benar memperjuangkan kepentingan anggotanya.
C.    Menyelenggarakan Diskusi Kelompok Terarah (Focus Group Discussion).
Cara lain untuk memilih masalah kunci adalah dengan mengadakan pertemuan antara anggota komite dengan beberapa anggota asosiasi dalam kelompok-kelompok berbeda untuk membahas kebijakan yang menyangkut kepentingan mereka. Masing-masing Kelompok Kerja dipimpin oleh seorang anggota Komite yang akan mengarahkan diskusi untuk mengidentifikasi permasalahan-permasalahan bisnis tertentu (berdasarkan kriteria yang disebutkan sebelumnya) dan kemudian membahas solusi langsung dari tiap-tiap permasalahan yang dimunculkan. 
D.    Menetapkan Prioritas Advokasi
Komite Advokasi tidak akan dapat memberikan advokasi untuk setiap permasalahan dari anggotanya. Untuk membatasi jumlah masalah yang akan diselesaikan, staf Kelompok Kerja (Pokja) perlu untuk:
a)      Mengumpulkan hasil survei dan pertemuan dengan kelompok dalam daftar permasalahan
b)      Memperhatikan anggaran yang ada untuk memutuskan seberapa banyak masalah yang bisa diselesaiakn dengan advokasi
c)      Menghilangkan masalah-masalah yang berada paling bawah pada daftar prioritas berdasarkan ketersediaan anggaran
d)     Membuat daftar yang berisi urutan prioritas masalah disertai solusi yang paling tepat untuk setiap masalah.  
e)      Menyerahkan daftar tersebut kepada jajaran pimpinan asosiasi untuk mendapatkan persetujuan
Ketika sebuah asosiasi memulai upaya advokasi disarankan agar prioritas masalahnya adalah yang dapat diselesaikan dalam waktu dekat. Hal ini akan membantu menunjukkan pada anggota bahwa melakukan advokasi itu bermanfaat. 
Isu –Isu Prioritas
Ø  Penting bagi anggota
Ø  Jangka waktu yang jelas
Ø  Dukungan publik
Ø  Pengakuan secara politis
Ø  Persamaan keberhasilan
Ø  Dukungan
Perhatikan Opini Publik
Pengaruh yang penting terhadap pengambilan keputusan pembuat kebijakan bersumber pada opini publik. Staf komite perlu mencari tahu opini publik berkenaan dengan masalah yang sedang berkembang. Hal ini akan membantu mencegah Komite Advokasi membuang-buang sumber daya untuk melakukan advokasi terhadap proposal kebijakan yang nyata-nyata ditentang publik. Terdapat berbagai macam cara untuk mengetahui opini publik. Pertama, cari tahu apakah telah diadakan polling atau survey mengenai masalah yang akan dibahas. Jika tidak ada survey yang dimaksud, staf komite, atau pihak profesional lain jika perlu, dapat dipekerjakan untuk melakukan survey opini publik melalui polling atau tes pada kelompok khusus.
E.     Merumuskan Kelompok Sasaran
Advokasi efektif harus menentukan target yang teridentifikasi secara tepat untuk menjawab setiap permasalahan. Target advokasi terdiri dari target orang dalam dan target orang luar. Orang dalam adalah Kelompok Sasaran yang merupakan pembuat peraturan maupun kebijakan, sedangkan orang luar adalah Kelompok Sasaran yang berpotensi mendukung pencapaian tujuan advokasi. Advokasi harus memperhatikan adanya pendukung dan penentang dari setiap masalah yang akan diadvokasi.  
Pengaturan kelompok kerja untuk mencapai suatu tujuan harus dilaksanakan secara terstruktur dan terorganisasi. Untuk mencapai tujuan advokasi harus dirancang pesan kepada publik secara efektif seperti media massa, kalangan hukum, pembuat peraturan perundang-undangan dan kalangan umum. 
Satu hal yang penting dari kampanye advokasi yang efektif adalah adanya target yang  teridentifikasi secara tepat dan strategi yang digunakan untuk menjawab setiap permasalahan. Prioritas kampanye advokasi harus ditetapkan dengan mengidentifikasi target/sasaran dalam urutan yang tepat. Setiap aksi yang berkelanjutan harus dibangun berdasarkan pencapaian yang sudah diraih atau hal yang telah dikuasai.
Ada beberapa target atau sasaran advokasi, yang didalamnya mencakup target “orang dalam” dan “orang luar”. Advokasi “orang dalam” melibatkan:
Ø  Pertemuan-pertemuan dengan pembuat kebijakan dan staf legislatif.
Ø  Pemberian analisis dan informasi untuk Panitia Kerja ataupun Panitia Khusus di  lembaga legislatif.
Sedangkan advokasi “orang luar” meliputi:
Ø  Mempengaruhi media massa.
Ø  Mengembangkan aktivitas-aktivitas di tingkat akar rumput (grass root).
Ø  Membangun koalisi.
Advokasi “Orang Dalam”
Jika sebuah masalah diidentifikasi secara dini, hubungan advokasi biasanya dimulai dari para pejabat publik. Kontak harus dibuat pada tingkat yang sewajarnya. Pejabat-pejabat tingkat bawah dan menengah tidak boleh terlupakan atau terlampaui. Ketika pejabat publik mempertimbangkan sebuah permasalahan yang diadvokasi, itu menandakan bahwa ia sudah mulai terpengaruh. Agar upaya itu berhasil, Komite Advokasi harus memiliki pengetahuan yang menyeluruh tentang proses pembuatan kebijakan atau peraturan.
Kegiatan formal dari advokasi akan melibatkan para pejabat publik dan politisi. Pertemuan dengan pejabat publik hampir dapat dipastikan akan berlangsung lama dan panjang dibanding pertemuan-pertemuan dengan para politisi. Oleh sebab itu Komite Advokasi membutuhkan  pertimbangan dan persiapan untuk merajut serta merangkai hasil-hasil pertemuan tersebut sehingga hasilnya cukup efektif mendukung kebijakan asosiasi.
Untuk membangun dan mengembangkan hubungan panjang yang positif serta menjadi bagian dari proses advokasi, dapat dipertimbangkan beberapa tindakan berikut:
Ø  Memastikan para pejabat publik dan politisi terkait memiliki informasi tentang apa yang telah dilakukan; siapa yang menjadi anggota; masalah-masalah yang tengah dihadapi; dan tujuan-tujuan agenda / agenda advokasi oleh asosiasi atau organisasi.
Ø  Mengundang pejabat publik dan politisi ke acara-acara organisasi sehingga mereka akan memiliki kesempatan untuk bertemu dengan para anggota secara informal.
Ø  Mengundang pembuat kebijakan untuk berdiskusi, menjawab persoalan anggota pada  konferensi-konferensi, pertemuan komite-komite maupun panel-panel forum pembuatan  kebijakan yang diikuti oleh kelompok-kelompok anggota.
Ø  Menawarkan kesempatan kepada pembuat kebijakan untuk mengunjungi dan bertemu  langsung dengan anggota organisasi dan asosiasi.
Ø  Sebagai Komite Advokasi pastikan menghadiri setiap sesi publik dan jika dimungkinkan  berikan bukti-bukti yang diperlukan, pastikan pula mereka yang memiliki pengaruh mengetahui kehadiran atau keberadaan kita.
Ø  Identifikasi dan pastikan kehadiran pejabat pemerintah ataupun badan-badan penasihat pemerintahan.
Ø  Pastikan para pembuatan kebijakan secara teratur memperoleh bahan-bahan briefing yang berkualitas, termasuk masalah-masalah yang menjadi perhatian mereka.
Ø  Pastikan bahwa pandangan-pandangan Komite Advokasi kita diperhitungkan para pembuat kebijakan.
Advokasi “Orang Luar”
Orang luar yang merupakan kunci dari pesan-pesan organisasi adalah media cetak dan elektronik. Menangani pers dan reporter media elektronik secara efektif merupakan inti dari panduan ini. Akan tetapi terdapat beberapa strategi dan taktik penting dengan pertimbangan prestasi.
Kebanyakan organisasi mencari peliputan media yang gratis dan tidak harus  membayar media, seperti iklan. Dalam situasi tertentu, terkadang kita harus memilih memasang iklan dengan biaya tertentu ketika kita ingin menyampaikan pesan khusus bagi kelompok pembaca atau pengamat tanpa intervensi editorial.
Tujuan utama advokasi adalah memudahkan media mencari bahan berita yang diperoleh dari anggota yang berkompeten sebagai narasumber. Pendekatan kepada media harus strategis. Pastikan para wartawan mengetahui kegiatan yang dilakukan organisasi, anggota organisasi, permasalahan yang dihadapi dan tujuan advokasi. Ciptakan reputasi dengan membuat materi yang berkualitas dan berguna untuk mereka. Lakukan siaran pers dan berikan materi publikasi lainnya.
Bersikap responsif ketika menyampaikan informasi dan materi. Melalui pengelolaan hubungan yang positif dan proaktif dengan pers, besar kemungkinan akan berhasil menciptakan peliputan media yang mengesankan. Tidak hanya itu, kemungkinan akan muncul kesempatan untuk menjadi pihak pertama yang dihubungi manakala berita penting muncul.
F.     Mengidentifikasi Pendukung Dan Penentang
Advokasi yang berhasil juga memerlukan pemahaman yang mendalam mengenai siapa  yang mendukung atau menentang isu tertentu dan penyebabnya. Berdasarkan hal-hal pokok  dengan daya pengaruh yang telah diidentifikasi sebelumnya, staf harus mencari tahu posisi dari pembuat kebijakan dari setiap isu. Hal ini bisa dilakukan dengan membaca publikasi, briefing dari kantor pembuat kebijakan, dari situs atau berbicara secara langsung dengan staf pembuat kebijakan. Informasi ini harus diatur dengan rapi sehingga apa yang menjadi posisi masingmasing pembuat kebijakan dapat dimengerti dengan mudah dan jelas. Jika memungkinkan, buat tabel yang memperlihatkan kandidat yang mendukung, menentang, dan abstain mengenai setiap isu.
Posisi pembuat kebijakan seringkali dipengaruhi oleh kepentingan kelompok berpengaruh, maka anggota komite advokasi perlu mengidentifikasi kelompok-kelompok berpengaruh yang mendukung atau menentang permasalahan yang ada. Untuk setiap isu, staf perlu untuk mencari tahu posisi masing-masing kelompok berpengaruh tersebut dan alasannya. Hal ini termasuk dengan cara mendapatkan publikasi dan bahan-bahan dari setiap kelompok atau, jika perlu, mengadakan pertemuan dengan perwakilan kelompok tingkat tinggi untuk membahas isu terkait. Berdasarkan hasil riset ini, staf komite harus membuat tabel yang menunjukkan organisasi-organisasi yang mendukung, menentang dan abstain untuk tiap-tiap isu. Staf advokasi dengan demikian akan mengetahui:
Ø  Pembuat kebijakan penting yang memiliki kekuatan untuk mempengaruhi keputusan mengenai permasalahan tertentu
Ø  Aktor penentu yang terkait dan berpengaruh terhadap permasalahan tersebut
Ø  Arah dari kebijakan yang ditetapkan
Ø  Staf harus menggunakan informasi ini untuk mengembangkan strategi advokasi yang efektif.

G.    Rencana Anggaran
Berdasarkan srtategi asosiasi advokasi, anggota Komite Advokasi perlu mengalokasikan sumber-sumber untuk memastikan bahwa upaya-upaya advokasi telah dilengkapi dengan perangkat yang cukup agar tercapainya sebuah keberhasilan. Hal ini memerlukan penentuan staf dan sumber dana yang diperlukan untuk mencapai setiap sasaran advokasi dalam setiap masalah atau permasalahan utama. Pendek kata, sebuah anggaran terperinci perlu dibuat yang memuat indikasi line item spesifik mengenai alokasi waktu, staf dan pendanaan yang akan diberikan pada setiap kegiatan ketika melakukan advokasi setiap permasalahan. Dengan memiliki anggaran, Komite Advokasi akan dapat menentukan apakah:
a)      Strategi mereka realistis
b)      Strategi mereka perlu dimodifikasi
c)      Kegiatan tertentu perlu dihilangkan atau ditunda
d)     Kegiatan tertentu dapat ditambahkan
Komite Advokasi perlu mengalokasikan sumber-sumber dana untuk memastikan apakah strategi advokasi realistis, perlunya modifikasi atau tidak, mempertimbangkan dilanjutkan/ ditunda/ ditambahankan suatu kegiatan.

Elemen-elemen dari sebuah strategi advokasi kebijakan umum yang efektif
Ø  Diseminasi atau penyebarluasan informasi mengenai undang-undang dan peraturan-peraturan yang mempengaruhi bisnis secara keseluruhan
Ø  Terjemahkan undang-undang dan peraturan-peraturan untuk mendidik dan melengkapi masyarakat agar benar-benar memahami isi dan substansi UU dan peraturan tersebut.
Ø  Pengaruhi arah atau bentuk ketetapan legislatif atau peraturan
Ø  Identifikasi isu-isu yang mencuat agar sebuah bisnis dapat menentukan apakah akan mengajukan usulan perundang-undangan dengan tindakan atau membentuk tindakan yang spesifik.
Ø  Menyediakan akses kontak maupun komunikasi yang terorganisirasi kepada para pejabat pemerintah
Ø  Memberikan arahan bagi para anggota tentang bagaimana bertindak dan menanggapi para anggota legislatf
Ø  Menyediakan alat/kendaraan resmi untuk melobi pimpinan pemerintahan tertentu.
Ø  Memberikan pemahaman kepada masyarakat, mengenai tata cara/ prosedur.

H.    Evaluasi
Keberhasilan dari setiap strategi advokasi perlu dinilai secara berkala. Hal ini membantu memastikan bahwa sasaran dan tujuan advokasi akan diraih dalam jangka waktu yang wajar.
Dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut ini, anggota Komite dapat menilai dengan akurat, tentang efektif tidaknya strategi mereka dan kemudian membuat perubahan-perubahan yang dibutuhkan.
Ø  Apakah masalah ini masih relevan dengan para anggota organisasi dan asosiasi?
Ø  Apakah masalah tersebut telah berkembang lebih lanjut?
Ø  Apakah penelitian lebih lanjut diperlukan?
Ø  Apakah sasaran dan timeline masih dapat digunakan?
Ø  Apakah pokja advokasi menghargai timeline tersebut?
Ø  Apakah sasaran dan timeline perlu direvisi?
Ø  Apakah kita telah mengidentifikasi target advokasi yang tepat?
Ø  Apakah kita berhasil dalam pencapaian target-target advokasi ini?
Ø  Apakah kita memiliki pengirim pesan/messenger yang tepat?
Ø  Apakah pengirim pesan bersikap responsif terhadap pesan-pesan kita?




[1] Iqbal Tawakkal Pasaribu, Melihat Fenomena Pedagang Kaki Lima Melalui Aspek Hukum, diakses pada tanggal 13 Maret 2010, dari website: http://hmi.wordpress.com.
[2] Iqbal Tawakkal Pasaribu, Melihat Fenomena Pedagang Kaki Lima Melalui Aspek Hukum, diakses pada tanggal 13 Maret 2010, dari website: http://hmi.wordpress.com.

Komentar

Postingan Populer