Latar
Belakang
Keberadaan Pedagang Kaki Lima (PKL) merupakan suatu
fenomena kegiatan perekonomian rakyat kecil di kota-kota besar maupun kota
kecil. Akhir-akhir ini fenomena penggusuran terhadap para PKL marak terjadi.
Para PKL digusur oleh aparat pemerintah seolah-olah mereka tidak memiliki hak
asasi manusia dalam bidang ekonomi, sosial dan budaya (Ekosob). PKL berdagang
hanya untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari.[1]
Pedagang Kaki Lima ini timbul dari adanya suatu kondisi
pembangunan perekonomian dan pendidikan yang tidak merata di seluruh NKRI
(Negara Kesatuan Republik Indonesia) ini. PKL ini timbul dari akibat tidak
tersedianya lapangan pekerjaan bagi rakyat kecil yang tidak memiliki kemampuan
dalam berproduksi. Pemerintah sebenarnya memiliki tanggung jawab dalam
melaksanakan pembangunan bidang pendidikan, bidang perekonomian dan penyediaan
lapangan pekerjaan.[2]
Pedagang Kaki Lima merupakan imbas dari semakin banyaknya
jumlah rakyat miskin di Indonesia. Mereka berdagang hanya karena tidak ada
pilihan lain, mereka tidak memiliki kemampuan pendidikan yang memadai dan tidak
memiliki tingkat pendapatan ekonomi yang baik dan tidak adanya lapangan
pekerjaan yang tersedia buat mereka. Untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari
dan membiayai keluarga ia harus berdagang di kaki lima. Pekerjaan PKL dipilih
karena sesuai dengan kemampuan mereka, yaitu modalnya tidak besar, tidak
membutuhkan pendidikan yang tinggi dan mudah untuk dikerjakan.
Di Indonesia sampai kini memang belum ada undang-undang
yang khusus mengatur Pedagang Kaki Lima. Namun demikian walaupun belum ada
undang-undang resmi dari pemerintah pusat, peraturan daerah (Perda) yang dibuat
oleh pemerintah daerah sudah cukup kuat dan legal untuk mengatur para pedagang
kaki lima, agar berjualan secara tertib di tempat yang telah ditentukan.
Fenomena pedagang kaki lima di lingkungan kampus IAIN Syekh Nurjati
Cirebon merupakan permasalahan yang pelik dan sukar dicari solusinya
karena selalu muncul walau telah ditangani. Pada dasarnya, PKL ini timbul dari
adanya ketimpangan sosial dan pembangunan perekonomian serta pendidikan yang
tidak merata, dan menjadi suatu hal yang wajar bila masyarakat banyak yang
menggantungkan kelangsungan hidupnya di bidang perdagangan. Oleh karena itu,
tidak heran bila kemudian banyak bermunculan pedagang-pedagang kaki lima yang
menempati berbagai kawasan tertentu, bahkan sekarang hampir di semua tempat
mereka menggelar dagangannya di depan toko-toko orang lain di Kota Cirebon.
Masalah pedagang kaki lima, merupakan masalah klasik.
Banyak cara yang telah ditempuh oleh Pemkot Cirebon dalam menangani PKL ini, di
antaranya melalui penertiban dan relokasi yang dilakukan oleh Dinas Pasar atau
Satpol PP, di mana selalu ada langkah-langkah dan tindakan dalam menangani PKL
ini.
Langkah yang diambil oleh pemerintah
Kota Cirebon untuk menangani masalah pedagang kaki lima ini di antaranya adalah
dengan menertibkan para PKL yang menggelar lapak dagangannya di tempat-tempat
yang dilarang berjualan, seperti di trotoar tempat pejalan kaki, di pinggir
jalan dan di depan pertokoan, termasuk di sekitar kampus IAIN Cirebon. Hal
tersebut dilakukan dengan alasan ketertiban dan keindahan tata letak kota serta
untuk menghindari terjadinya kemacetan lalu lintas kendaraan pengguna jalan
karena pinggiran jalan yang seharusnya untuk dilalui kendaraan telah dijadikan
lapak berjualan. Langkah lainnya, pemerintah Kota Cirebon telah merelokasi para PKL yang melanggar aturan berjualan ke tempat yang
telah ditentukan. Selanjutnya selalu diadakan pengawasan dan pembinaan, agar
para PKL tidak melanggar aturan lagi.
Sebenarnya
pemerintah kota dengan kewenangannya dapat
melakukan tindakan apapun untuk menertibkan PKL dengan alasan untuk ketertiban,
kebersihan dan keindahan kota. Namun dalam hal ini pemerintah harus
mempertimbangkan segi strategis pasar tempat relokasi usaha PKL. Tempat yang
direlokasi tersebut harus berada di kawasan yang strategis dan ramai pembeli,
sehingga para PKL tidak merasa dirugikan karena dagangan mereka laku, karena usaha
para PKL mencari nafkah demi kelangsungan hidup diri dan keluarganya.
Kebijakan relokasi yang diatur oleh pemerintah daerah
tentunya memiliki efek atau dampak bagi pedagang kaki lima itu sendiri dan juga
bagi lingkungan. Dua kriteria yang digunakan yaitu internal dan eksternal.
Internal yaitu bagaimana dampak terhadap PKL dalam hal peningkatan ekonomi,
rasa keadilan dan eksternal yaitu bagaimana keterkaitannya dengan lingkungan.
Dampak terhadap lingkungan memberikan implikasi yang positif yaitu tertatanya
lingkungan dengan baik, dengan pengolahan limbah pasar, penghijauan sekitar
pasar relokasi, sehingga lingkungan pasar menjadi asri dan tidak terlihat kesan
kumuh (ramah lingkungan). Sedangkan dampak negatif yaitu menurunnya modal dan
pendapatan, meningkatnya biaya operasional, menurunnya aktivitas pasar
(produksi, distribusi dan konsumsi), melemahnya jaringan sosial (pelanggan) dan
menurunnya kesempatan pedagang untuk ikut dalam kelompok-kelompok sosial non
formal. Oleh karena itu, agar tidak ada pihak yang di rugikan (PKL dan lingkungan sekitar), dan untuk menangani PKL
yang berada di sekitar kampus IAIN Syekh Nurjati ini, maka perlu di adakannya
pertemuan di antara pihak-pihak yang bersangkutan.
A. Pengertian
Pedagang Kaki Lima
Pedagang
Kaki Lima atau disingkat PKL adalah istilah untuk menyebut penjaja dagangan
yang menggunakan gerobak. Istilah itu sering ditafsirkan demikian karena jumlah
kaki pedagangnya ada lima. Lima kaki tersebut adalah dua kaki pedagang ditambah
tiga "kaki" gerobak (yang sebenarnya adalah tiga roda atau dua roda
dan satu kaki). Saat ini istilah PKL juga digunakan untuk pedagang di jalanan
pada umumnya.
Sebenarnya
istilah kaki lima berasal dari masa penjajahan kolonial Belanda. Peraturan
pemerintahan waktu itu menetapkan bahwa setiap jalan raya yang dibangun
hendaknya menyediakan sarana untuk pejalanan kaki. Lebar ruas untuk pejalan
adalah lima kaki atau sekitar satu setengah meter.
Sekian
puluh tahun setelah itu, saat Indonesia sudah merdeka, ruas jalan untuk pejalan
kaki banyak dimanfaatkan oleh para pedagang untuk berjualan. Dahulu namanya
adalah pedagang emperan jalan, sekarang menjadi pedagang kaki lima. Padahal
jika merunut sejarahnya, seharusnya namanya adalah pedagang lima kaki.
Dalam
Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2012 tentang Koordinasi Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima
pasal 1 nomor 1 dijelaskan bahwa Pedagang Kaki Lima yang selanjutnya disingkat
PKL adalah pelaku usaha yang melakukan usaha perdagangan dengan menggunakan
sarana usaha bergerak maupun tidak bergerak, menggunakan prasarana kota,
fasilitas sosial, fasilitas umum, lahan, dan bangunan milik pemerintah dan/atau
swasta yang bersifat sementara/tidak menetap.
Proses
perencanaan tata ruang, sering kali belum mempertimbangkan keberadaan dan
kebutuhan ruang untuk PKL. Ruang-ruang kota yang tersedia hanya difokuskan
untuk kepentingan kegiatan dan fungsi formal saja. Kondisi ini yang menyebabkan
para Pedagang Kaki Lima berdagang
di tempat-tempat yang
tidak terencana dan tidak difungsikan untuk mereka. Akibatnya mereka selalu
menjadi obyek penertiban dan pemerasan para petugas ketertiban serta menjadikan
kota berkesan semrawut.
Studi menunjukkan bahwa hampir di semua negara-negara
Asia, PKL tidak mempunyai status legal dalam menjalankan usahanya dan mereka
terus mendapatkan tindakan kekerasan oleh pemerintah kota dengan program yang
mengatasnamakan penertiban atau penataan. Di sisi lain, peran yang dijalankan sektor informal termasuk
PKL belum sepenuhnya diterima pemerintah kota. PKL lebih dipandang sebagai
aktivitas non-profit, karena tidak berkontribusi pada ekonomi lokal atau nasional melalui
pajak. Mereka dimarginalkan dalam agenda pembangunan, dengan demikian terkena
dampak buruk dari kebijakan makro sosio-ekonomi.
Terbatasnya
dukungan kebijakan membuat sektor ini tidak aman, yang berdampak buruk pada
mata pencaharian penduduk miskin urban. Mereka terkenal karena memberikan
sebagian penduduk urban kebutuhan barang atau jasa yang tidak dapat disediakan
oleh outlet ritel besar. Disamping fakta bahwa PKL adalah sumber mata
pencaharian penting bagi penduduk miskin urban, PKL juga menempati badan-badan
jalan dan trotoar dan tidak menyisakan cukup ruang bagi pejalan kaki. Kondisi
ini menjadi perhatian publik karena menciptakan masalah kemacetan dan
pergerakan orang di pedestrian, dan menciptakan lingkungan kotor dan kurang
sehat. PKL yang menempati ruang dan jalan publik juga dapat menciptakan masalah
sosial seperti hadirnya pencopet, pencuri, dan sebagainya. Situasi ini
menciptakan masalah dalam pengelolaan, pembangunan dan merusak morfologi dan estetika kota.
PKL atau
dalam bahasa inggris disebut juga street trader selalu dimasukkan dalam
sektor informal. Dalam perkembangannya, keberadaan PKL di kawasan perkotaan
Indonesia seringkali kita jumpai masalah-masalah yang terkait dengan gangguan
keamanan dan ketertiban masyarakat. Kesan kumuh, liar, merusak keindahan,
seakan sudah menjadi label paten yang melekat pada usaha mikro ini. Mereka
berjualan di trotoar jalan, di taman-taman kota, di jembatan penyebrangan,
bahkan di badan jalan. Pemerintah kota berulangkali menertibkan mereka yang
ditengarai menjadi penyebab kemacetan lalu lintas atau pun merusak keindahan
kota. PKL dipandang sebagai bagian dari masalah (part of problem).
Upaya
penertiban, sebagaimana sering diekspose oleh media televisi acapkali berakhir
dengan bentrokan dan mendapat perlawanan fisik dari PKL sendiri. Bersama dengan
komponen masyarakat lainnya, tidak jarang para PKL pun melakukan unjuk rasa.
Pada hal, sejatinya bila keberadaannya dipoles dan ditata dengan konsisten,
keberadaan PKL ini justru akan menambah eksotik keindahan sebuah lokasi wisata
di tengahtengah kota. Hal ini bisa terjadi apabila PKL dijadikan sebagai bagian
dari solusi (part of solution).
Seperti
yang sudah dikemukakan di atas, PKL yang dikelompokkan dalam sektor informal
sering dijadikan sebagai kambing hitam dari penyebab kesemrawutan lalu lintas
maupun tidak bersihnya lingkungan. Meskipun demikian PKL ini sangat membantu
kepentingan masyarakat dalam menyediakan lapangan pekerjaan dengan penyerapan
tenaga kerja secara mandiri atau menjadi safety belt bagi tenaga
kerja yang memasuki pasar kerja, selain untuk menyediakan kebutuhan masyarakat
golongan menengah ke bawah. Pada umumnya sektor informal sering dianggap lebih
mampu bertahan hidup survive dibandingkan sektor usaha yang lain. Hal
tersebut dapat terjadi karena sektor informal relative lebih independent atau
tidak tergantung pada pihak lain, khususnya menyangkut permodalan dan lebih
mampu beradaptasi dengan lingkungan usahanya.
Bukti-bukti
tersebut menggambarkan bahwa pekerjaan sebagai PKL merupakan salah satu
pekerjaan yang relatif tidak terpengaruh krisis ekonomi karena dampak krisis
ekonomi tidak secara nyata dirasakan oleh pedagang kaki lima. Dalam hal ini PKL
mampu bertahan hidup dalam berbagai kondisi, sekalipun kondisi krisis ekonomi.
B.
Pentingnya Penataan dan
Pemberdayaan Pedagang
Kaki Lima (PKL)
Kelompok pedagang kaki
lima sebagai bagian dari kelompok usaha kecil adalah kelompok usaha yang tak
terpisahkan dari aset pembangunan nasional yang berbasis kerakyatan, jelas
merupakan bagian integral dunia usaha nasional yang mempunyai kedudukan,
potensi dan peranan yang sangat strategis dalam turut mewujudkan tujuan
pembangunan nasional pada umumnya dan tujuan pembangunan ekonomi pada
khususnya.
Pedagang kaki lima
sebagai bagian dari usaha sektor informal memiliki potensi untuk menciptakan
dan memperluas lapangan kerja, terutama bagi tenaga kerja yang kurang memiliki
kemampuan dan keahlian yang memadai untuk bekerja di sektor formal karena
rendahnya tingkat pendidikan yang mereka miliki.
Sejalan dengan uraian
di atas, dalam penjelasan UU. No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil, disebutkan
bahwa Usaha kecil (termasuk pedagang kaki lima) merupakan kegiatan usaha yang
mampu memperluas lapangan kerja dan memberikan pelayanan ekonomi yang luas
kepada masyarakat, dapat berperanan dalam proses pemerataan dan peningkatan
pendapatan masyarakat serta mendorong pertumbuhan ekonomi dan berperan dalam
mewujudkan stabilitas nasional pada umumnya dan stabilitas ekonomi pada
khususnya. Bahkan pedagang kaki lima, secara nyata mampu memberikan pelayanan
terhadap kebutuhan masyarakat yang berpenghasilan rendah, sehingga dengan
demikian tercipta suatu kondisi pemerataan hasil-hasil pembangunan. Selain itu,
kelompok pedagang kaki lima mempunyai potensi yang cukup besar untuk memberikan
kontribusi terhadap penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) di sektor
penerimaan retribusi daerah seiring dengan kebutuhan daerah dalam rangka
penyelenggaraan otonomi daerah.
Pemerintah Pusat telah mengeluarkan Peraturan Presiden
Nomor 125 Tahun 2012 tentang
Koordinasi Penataan dan
Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima yang kemudian ditindaklanjuti dengan
diterbitkannya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 41 Tahun 2012 tentang
Pedoman Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima. Dalam Permendagri
disebutkan bahwa tujuan penataan dan pemberdayaan Pedagang Kaki Lima (PKL)
adalah untuk memberikan kesempatan berusaha bagi PKL melalui penetapan lokasi
sesuai dengan peruntukannya; menumbuhkan dan mengembangkan kemampuan usaha PKL
menjadi usaha ekonomi mikro yang tangguh dan mandiri; dan untuk mewujudkan kota
yang bersih, indah, tertib dan aman dengan sarana dan prasarana perkotaan yang
memadai dan berwawasan lingkungan.
Dengan adanya Perpres nomor 125 tahun 2012 dan
Permendagri nomor 41 tahun 2012, maka Pemerintah Provinsi dan Pemerintah
Kota/Kabupaten wajib melakukan penataan dan pembinaan PKL di wilayahnya
masing-masing. Salah satu amanat yang tercantum di dalam Permendagri nomor 41
tahun 2012 adalah Bupati/Walikota menetapkan lokasi atau kawasan sesuai
peruntukannya sebagai lokasi tempat kegiatan usaha PKL. Penetapan lokasi atau kawasan tempat kegiatan
usaha PKLdilakukan dengan memperhatikan kepentingan
umum, sosial, budaya, estetika, ekonomi, keamanan, ketertiban, kesehatan, kebersihan lingkungan dan
sesuai dengan Peraturan Daerah tentang Rencana
Tata Ruang Wilayah Provinsi dan Kabupaten/Kota. Lokasi tempat
kegiatan usaha PKL merupakan lokasi binaan Bupati/Walikota yang bersifat
permanen atau sementara dan telah dilengkapi dengan papan nama lokasi dan rambu
atau tanda yang menerangkan batasan jumlah PKL sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Selain itu, Bupati/Walikota juga diwajibkan untuk
melakukan pemberdayaan terhadap PKL melalui peningkatan kemampuan berusaha;
fasilitasi akses permodalan; fasilitasi bantuan sarana dagang; penguatan
kelembagaan; fasilitasi peningkatan produksi; pengolahan, pengembangan jaringan
dan promosi; dan pembinaan dan bimbingan teknis. Sedangkan pemberdayaan PKL
yang membutuhkan fasilitasi kerjasama antar kabupaten/kota dilakukan oleh
gubernur.
Dalam melakukan
pemberdayaan PKL, Bupati/Walikota dapat melakukan kerjasama atau kemitraan
dengan dunia usaha melalui program Corporate Social Responsibility (CSR)
dalam bentuk penataan peremajaan tempat usaha PKL; peningkatan kemampuan
berwirausaha melalui bimbingan, pelatihan dan bantuan permodalan; promosi usaha
dan event pada lokasi binaan; dan berperan aktif dalam penataan PKL di
kawasan perkotaan agar menjadi lebih tertib, bersih, indah dan nyaman.
LANGKAH ADVOKASI
A. Mengidentifikasi
Masalah Dan Sasaran
Apabila Komite Advokasi telah
terbentuk maka selanjutnya perlu ditentukan masalah yang akan diadvokasi.
Mereka harus secara rutin mengikuti perkembangan kebijakan dan berkomunikasi dengan
para anggota legislatif. Sebagai hasilnya maka akan ditemukan munculnya masalah-masalah
terbaru sebelum anggota yang lain mengetahuinya. Informasi-informasi tersebut
perlu dikomunikasikan kepada seluruh anggota melalui e-mail, buletin, briefing
dan sebagainya secara rutin.
Ø Setelah pembentukan Komite
Advokasi, harus menentukan masalah yang diadvokasi sesuai dengan kriteria yang
telah ditetapkan bersama.
Ø Komite Advokasi perlu meminta
masukan dan saran dari anggota asosiasi dalam hal masalah- masalah yang
berkembang di asosiasi dan solusi dari masing masalah-masalah tersebut serta
kuisioner untuk meminta pendapat tertentu.
Ø Untuk memperoleh masalah kunci
perlu dilakukan Focus Group Discussion.
Ø Setelah memperoleh masalah-masalah
yang ada maka Komite Advokasi perlu menetapkan
Prioritas Advokasi.
Identifikasi Masalah / Isu
Ø ”Cast
a wide net”
Ø Survey anggota
Ø Focused
Group
Ø Isu Jangka Panjang dan jangka
Pendek
Ø Pro-aktif versus ”watchdog”
Ø Isu koalisi
Berdasarkan
informasi tersebut dan kriteria tertentu, sejumlah masalah harus dipilih
oleh anggota sesuai urutan prioritas.
Kriteria tersebut antara lain:
a) Masalah reformasi berorientasi
pasar dan usaha bebas
b) Masalah yang relevan bagi sebagian
anggota asosiasi dengan jumlah yang signifikan
c) Masalah yang menyangkut kebijakan,
hukum atau peraturan khusus (berbeda dengan
insiden yang terjadi secara sporadik karena kombinasi dari faktor-faktor
yang tidak dapat diprediksikan)
d) Masalah dengan ruang lingkup yang jelas
e) Masalah dengan kemungkinan besar
untuk dapat diselesaikan dalam jangka pendek (dengan kata lain, permasalahan
yang dapat diselesaikan cukup dengan proposal kebijakan tertentu hindari
masalah yang memerlukan perubahan terhadap konstitusi atau sistem peraturan
secara keseluruhan)
f) Masalah yang didukung oleh
mayoritas anggota asosiasi dan permasalahan kontroversial yang dihindari
jajaran anggota
g) Masalah yang proaktif dan reaktif
h) Masalah yang tidak ditentang oleh
golongan mayoritas di masyarakat, anggota dewan
legislatif atau khalayak umum
i)
Masalah yang tidak akan menghancurkan citra
atau reputasi asosiasi
B. Melakukan
Survey
Berdasarkan kriteria yang telah
dipilih dan masukan dari para pemimpin asosiasi dan Komite Advokasi, anggota komite kemudian
merancang survey dan mengirimkannya pada
seluruh anggota asosiasi. Survey harus meminta anggota untuk:
a) Mengurutkan masalah-masalah yang
diberikan sesuai tingkat prioritas
b) Mengurutkan seperangkat solusi
yang diberikan untuk tiap-tiap masalah
c) Mengisi kuesioner dengan batas
waktu tertentu
Jika memungkinkan, survey seperti
ini harus dilakukan paling sedikit sekali dalam satu tahun untuk memastikan
bahwa Komite Advokasi ini benar-benar memperjuangkan kepentingan anggotanya.
C. Menyelenggarakan
Diskusi Kelompok Terarah (Focus Group Discussion).
Cara lain untuk memilih masalah
kunci adalah dengan mengadakan pertemuan antara anggota komite dengan beberapa
anggota asosiasi dalam kelompok-kelompok berbeda untuk membahas kebijakan yang
menyangkut kepentingan mereka. Masing-masing Kelompok Kerja dipimpin oleh
seorang anggota Komite yang akan mengarahkan diskusi untuk mengidentifikasi
permasalahan-permasalahan bisnis tertentu (berdasarkan kriteria yang disebutkan
sebelumnya) dan kemudian membahas solusi langsung dari tiap-tiap permasalahan
yang dimunculkan.
D. Menetapkan
Prioritas Advokasi
Komite Advokasi tidak akan dapat
memberikan advokasi untuk setiap permasalahan dari anggotanya. Untuk membatasi
jumlah masalah yang akan diselesaikan, staf Kelompok Kerja (Pokja) perlu untuk:
a) Mengumpulkan hasil survei dan
pertemuan dengan kelompok dalam daftar permasalahan
b) Memperhatikan anggaran yang ada
untuk memutuskan seberapa banyak masalah yang bisa diselesaiakn dengan advokasi
c) Menghilangkan masalah-masalah yang
berada paling bawah pada daftar prioritas berdasarkan ketersediaan anggaran
d) Membuat daftar yang berisi urutan
prioritas masalah disertai solusi yang paling tepat untuk setiap masalah.
e) Menyerahkan daftar tersebut kepada
jajaran pimpinan asosiasi untuk mendapatkan persetujuan
Ketika sebuah asosiasi memulai
upaya advokasi disarankan agar prioritas masalahnya adalah yang dapat
diselesaikan dalam waktu dekat. Hal ini akan membantu menunjukkan pada anggota
bahwa melakukan advokasi itu bermanfaat.
Isu –Isu Prioritas
Ø Penting bagi anggota
Ø Jangka waktu yang jelas
Ø Dukungan publik
Ø Pengakuan secara politis
Ø Persamaan keberhasilan
Ø Dukungan
Perhatikan Opini Publik
Pengaruh yang penting terhadap
pengambilan keputusan pembuat kebijakan bersumber pada opini publik. Staf
komite perlu mencari tahu opini publik berkenaan dengan masalah yang sedang
berkembang. Hal ini akan membantu mencegah Komite Advokasi membuang-buang
sumber daya untuk melakukan advokasi terhadap proposal kebijakan yang
nyata-nyata ditentang publik. Terdapat berbagai macam cara untuk mengetahui
opini publik. Pertama, cari tahu apakah telah diadakan polling atau survey
mengenai masalah yang akan dibahas. Jika tidak ada survey yang dimaksud, staf
komite, atau pihak profesional lain jika perlu, dapat dipekerjakan untuk
melakukan survey opini publik melalui polling atau tes pada kelompok
khusus.
E. Merumuskan
Kelompok Sasaran
Advokasi
efektif harus menentukan target yang teridentifikasi secara tepat untuk
menjawab setiap permasalahan. Target advokasi terdiri dari target orang dalam
dan target orang luar. Orang dalam adalah Kelompok Sasaran yang merupakan
pembuat peraturan maupun kebijakan, sedangkan orang luar adalah Kelompok
Sasaran yang berpotensi mendukung pencapaian tujuan advokasi. Advokasi harus
memperhatikan adanya pendukung dan penentang dari setiap masalah yang akan
diadvokasi.
Pengaturan
kelompok kerja untuk mencapai suatu tujuan harus dilaksanakan secara
terstruktur dan terorganisasi. Untuk mencapai tujuan advokasi harus dirancang
pesan kepada publik secara efektif seperti media massa, kalangan hukum, pembuat
peraturan perundang-undangan dan kalangan umum.
Satu
hal yang penting dari kampanye advokasi yang efektif adalah adanya target
yang teridentifikasi secara tepat dan
strategi yang digunakan untuk menjawab setiap permasalahan. Prioritas kampanye
advokasi harus ditetapkan dengan mengidentifikasi target/sasaran dalam urutan
yang tepat. Setiap aksi yang berkelanjutan harus dibangun berdasarkan
pencapaian yang sudah diraih atau hal yang telah dikuasai.
Ada
beberapa target atau sasaran advokasi, yang didalamnya mencakup target “orang
dalam” dan “orang luar”. Advokasi “orang dalam” melibatkan:
Ø Pertemuan-pertemuan dengan pembuat
kebijakan dan staf legislatif.
Ø Pemberian analisis dan informasi
untuk Panitia Kerja ataupun Panitia Khusus di
lembaga legislatif.
Sedangkan advokasi “orang luar”
meliputi:
Ø Mempengaruhi media massa.
Ø Mengembangkan aktivitas-aktivitas
di tingkat akar rumput (grass root).
Ø Membangun koalisi.
Advokasi “Orang Dalam”
Jika
sebuah masalah diidentifikasi secara dini, hubungan advokasi biasanya dimulai
dari para pejabat publik. Kontak harus dibuat pada tingkat yang sewajarnya.
Pejabat-pejabat tingkat bawah dan menengah tidak boleh terlupakan atau
terlampaui. Ketika pejabat publik mempertimbangkan sebuah permasalahan yang
diadvokasi, itu menandakan bahwa ia sudah mulai terpengaruh. Agar upaya itu
berhasil, Komite Advokasi harus memiliki pengetahuan yang menyeluruh tentang
proses pembuatan kebijakan atau peraturan.
Kegiatan
formal dari advokasi akan melibatkan para pejabat publik dan politisi. Pertemuan
dengan pejabat publik hampir dapat dipastikan akan berlangsung lama dan panjang
dibanding pertemuan-pertemuan dengan para politisi. Oleh sebab itu Komite
Advokasi membutuhkan pertimbangan dan
persiapan untuk merajut serta merangkai hasil-hasil pertemuan tersebut sehingga
hasilnya cukup efektif mendukung kebijakan asosiasi.
Untuk
membangun dan mengembangkan hubungan panjang yang positif serta menjadi bagian
dari proses advokasi, dapat dipertimbangkan beberapa tindakan berikut:
Ø Memastikan para pejabat publik dan
politisi terkait memiliki informasi tentang apa yang telah dilakukan; siapa
yang menjadi anggota; masalah-masalah yang tengah dihadapi; dan tujuan-tujuan
agenda / agenda advokasi oleh asosiasi atau organisasi.
Ø Mengundang pejabat publik dan
politisi ke acara-acara organisasi sehingga mereka akan memiliki kesempatan
untuk bertemu dengan para anggota secara informal.
Ø Mengundang pembuat kebijakan untuk
berdiskusi, menjawab persoalan anggota pada
konferensi-konferensi, pertemuan komite-komite maupun panel-panel forum
pembuatan kebijakan yang diikuti oleh
kelompok-kelompok anggota.
Ø Menawarkan kesempatan kepada
pembuat kebijakan untuk mengunjungi dan bertemu
langsung dengan anggota organisasi dan asosiasi.
Ø Sebagai Komite Advokasi pastikan
menghadiri setiap sesi publik dan jika dimungkinkan berikan bukti-bukti yang diperlukan, pastikan
pula mereka yang memiliki pengaruh mengetahui kehadiran atau keberadaan kita.
Ø Identifikasi dan pastikan
kehadiran pejabat pemerintah ataupun badan-badan penasihat pemerintahan.
Ø Pastikan para pembuatan kebijakan
secara teratur memperoleh bahan-bahan briefing yang berkualitas, termasuk
masalah-masalah yang menjadi perhatian mereka.
Ø Pastikan bahwa pandangan-pandangan
Komite Advokasi kita diperhitungkan para pembuat kebijakan.
Advokasi “Orang Luar”
Orang
luar yang merupakan kunci dari pesan-pesan organisasi adalah media cetak dan
elektronik. Menangani pers dan reporter media elektronik secara efektif
merupakan inti dari panduan ini. Akan tetapi terdapat beberapa strategi dan
taktik penting dengan pertimbangan prestasi.
Kebanyakan
organisasi mencari peliputan media yang gratis dan tidak harus membayar media, seperti iklan. Dalam situasi
tertentu, terkadang kita harus memilih memasang iklan dengan biaya tertentu
ketika kita ingin menyampaikan pesan khusus bagi kelompok pembaca atau pengamat
tanpa intervensi editorial.
Tujuan
utama advokasi adalah memudahkan media mencari bahan berita yang diperoleh dari
anggota yang berkompeten sebagai narasumber. Pendekatan kepada media harus
strategis. Pastikan para wartawan mengetahui kegiatan yang dilakukan organisasi,
anggota organisasi, permasalahan yang dihadapi dan tujuan advokasi. Ciptakan
reputasi dengan membuat materi yang berkualitas dan berguna untuk mereka.
Lakukan siaran pers dan berikan materi publikasi lainnya.
Bersikap responsif ketika
menyampaikan informasi dan materi. Melalui pengelolaan hubungan yang positif
dan proaktif dengan pers, besar kemungkinan akan berhasil menciptakan peliputan
media yang mengesankan. Tidak hanya itu, kemungkinan akan muncul kesempatan
untuk menjadi pihak pertama yang dihubungi manakala berita penting muncul.
F. Mengidentifikasi
Pendukung Dan Penentang
Advokasi
yang berhasil juga memerlukan pemahaman yang mendalam mengenai siapa yang mendukung atau menentang isu tertentu
dan penyebabnya. Berdasarkan hal-hal pokok
dengan daya pengaruh yang telah diidentifikasi sebelumnya, staf harus
mencari tahu posisi dari pembuat kebijakan dari setiap isu. Hal ini bisa
dilakukan dengan membaca publikasi, briefing dari kantor pembuat kebijakan,
dari situs atau berbicara secara langsung dengan staf pembuat kebijakan.
Informasi ini harus diatur dengan rapi sehingga apa yang menjadi posisi
masingmasing pembuat kebijakan dapat dimengerti dengan mudah dan jelas. Jika
memungkinkan, buat tabel yang memperlihatkan kandidat yang mendukung,
menentang, dan abstain mengenai setiap isu.
Posisi pembuat kebijakan
seringkali dipengaruhi oleh kepentingan kelompok berpengaruh, maka anggota
komite advokasi perlu mengidentifikasi kelompok-kelompok berpengaruh yang
mendukung atau menentang permasalahan yang ada. Untuk setiap isu, staf perlu
untuk mencari tahu posisi masing-masing kelompok berpengaruh tersebut dan
alasannya. Hal ini termasuk dengan cara mendapatkan publikasi dan bahan-bahan
dari setiap kelompok atau, jika perlu, mengadakan pertemuan dengan perwakilan
kelompok tingkat tinggi untuk membahas isu terkait. Berdasarkan hasil riset
ini, staf komite harus membuat tabel yang menunjukkan organisasi-organisasi
yang mendukung, menentang dan abstain untuk tiap-tiap isu. Staf advokasi dengan
demikian akan mengetahui:
Ø Pembuat kebijakan penting yang
memiliki kekuatan untuk mempengaruhi keputusan mengenai permasalahan tertentu
Ø Aktor penentu yang terkait dan
berpengaruh terhadap permasalahan tersebut
Ø Arah dari kebijakan yang
ditetapkan
Ø Staf harus menggunakan informasi
ini untuk mengembangkan strategi advokasi yang efektif.
G. Rencana
Anggaran
Berdasarkan
srtategi asosiasi advokasi, anggota Komite Advokasi perlu mengalokasikan
sumber-sumber untuk memastikan bahwa upaya-upaya advokasi telah dilengkapi
dengan perangkat yang cukup agar tercapainya sebuah keberhasilan. Hal ini
memerlukan penentuan staf dan sumber dana yang diperlukan untuk mencapai setiap
sasaran advokasi dalam setiap masalah atau permasalahan utama. Pendek kata,
sebuah anggaran terperinci perlu dibuat yang memuat indikasi line item
spesifik mengenai alokasi waktu, staf dan pendanaan yang akan diberikan pada
setiap kegiatan ketika melakukan advokasi setiap permasalahan. Dengan memiliki
anggaran, Komite Advokasi akan dapat menentukan apakah:
a) Strategi mereka realistis
b) Strategi mereka perlu dimodifikasi
c) Kegiatan tertentu perlu
dihilangkan atau ditunda
d) Kegiatan tertentu dapat
ditambahkan
Komite
Advokasi perlu mengalokasikan sumber-sumber dana untuk memastikan apakah
strategi advokasi realistis, perlunya modifikasi atau tidak, mempertimbangkan
dilanjutkan/ ditunda/ ditambahankan suatu kegiatan.
Elemen-elemen dari sebuah strategi advokasi
kebijakan umum yang efektif
Ø Diseminasi atau penyebarluasan
informasi mengenai undang-undang dan peraturan-peraturan yang mempengaruhi
bisnis secara keseluruhan
Ø Terjemahkan undang-undang dan
peraturan-peraturan untuk mendidik dan melengkapi masyarakat agar benar-benar
memahami isi dan substansi UU dan peraturan tersebut.
Ø Pengaruhi arah atau bentuk
ketetapan legislatif atau peraturan
Ø Identifikasi isu-isu yang mencuat
agar sebuah bisnis dapat menentukan apakah akan mengajukan usulan
perundang-undangan dengan tindakan atau membentuk tindakan yang spesifik.
Ø Menyediakan akses kontak maupun
komunikasi yang terorganisirasi kepada para pejabat pemerintah
Ø Memberikan arahan bagi para
anggota tentang bagaimana bertindak dan menanggapi para anggota legislatf
Ø Menyediakan alat/kendaraan resmi
untuk melobi pimpinan pemerintahan tertentu.
Ø Memberikan pemahaman kepada
masyarakat, mengenai tata cara/ prosedur.
H. Evaluasi
Keberhasilan
dari setiap strategi advokasi perlu dinilai secara berkala. Hal ini membantu
memastikan bahwa sasaran dan tujuan advokasi akan diraih dalam jangka waktu
yang wajar.
Dengan
menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut ini, anggota Komite dapat menilai dengan
akurat, tentang efektif tidaknya strategi mereka dan kemudian membuat
perubahan-perubahan yang dibutuhkan.
Ø Apakah masalah ini masih relevan
dengan para anggota organisasi dan asosiasi?
Ø Apakah masalah tersebut telah
berkembang lebih lanjut?
Ø Apakah penelitian lebih lanjut
diperlukan?
Ø Apakah sasaran dan timeline
masih dapat digunakan?
Ø Apakah pokja advokasi menghargai timeline
tersebut?
Ø Apakah sasaran dan timeline
perlu direvisi?
Ø Apakah kita telah mengidentifikasi
target advokasi yang tepat?
Ø Apakah kita berhasil dalam
pencapaian target-target advokasi ini?
Ø Apakah kita memiliki pengirim
pesan/messenger yang tepat?
Ø Apakah pengirim pesan bersikap
responsif terhadap pesan-pesan kita?
Iqbal Tawakkal Pasaribu, Melihat Fenomena
Pedagang Kaki Lima Melalui Aspek Hukum, diakses pada tanggal 13 Maret
2010, dari website: http://hmi.wordpress.com.
Iqbal Tawakkal Pasaribu, Melihat Fenomena
Pedagang Kaki Lima Melalui Aspek Hukum, diakses pada tanggal 13 Maret
2010, dari website: http://hmi.wordpress.com.
Komentar